tag:blogger.com,1999:blog-39099439872521095842024-02-07T03:16:11.274-08:00aam urank bangkahabankhttp://www.blogger.com/profile/09626054388126297040noreply@blogger.comBlogger46125tag:blogger.com,1999:blog-3909943987252109584.post-11608441221941569672010-09-14T06:14:00.000-07:002010-09-14T06:16:23.586-07:00KALOR DAN CARA PERPINDAHANNYAUraian Materi<br /> Kalor<br />Pengertian Suhu, Kalor, dan Energi Dalam<br />Pengertian kalor secara sederhana adalah energi yang berpindah. Definisi dari kalor itu sendiri adalah sebagai energi yang berpindah dari benda yang bersuhu lebih tinggi ke benda yang bersuhu lebih rendah ketika kedua benda bersentuhan. <br />Kalor timbul diakibatkan oleh perbedaan suhu, maka sampai dengan pertengahan abad ke delapan belas, istilah kalor dan suhu memiliki arti yang sama. Joseph Black pada tahun 1760 merupakan orang pertama yang menyatakan perbedaan antara suhu dan kalor. Menurutnya, suhu adalah derajat panas atau dinginnya suatu benda yang diukur oleh termometer, sedangkan kalor adalah sesuatu yang mengalir dari benda panas ke benda lebih dingin untuk menyamakan suhunya. Jadi, suhu sesungguhnya adalah ukuran energi rata-rata partikel dalam suatu benda. Sedangkan dalam istilah fisika, istilah “kalor” selalu mengacu pada energi yang berpindah dari suatu benda ke benda lain karena perbedaan suhu.<br />Secara sederhana, dapat dinyatakan beda antara suhu, kalor, dan energi dalam, sebagai berikut. Suhu merepresentasikan energi kinetic satu molekul zat. Energi dalam menyatakan ukuran energi seluruh molekul dalam zat. Sedangkan kalor adalah perpindahan sebagian energi dalam dari suatu zat ke zat lain karena adanya perbedaan suhu. <br /><br /> Perpindahan Kalor dan Teori yang Menjelaskannya<br /> Teori Kalorik<br />Teori kalorik menyatakan bahwa benda bersuhu tinggi mengandung lebih banyak kalorik daripada benda bersuhu rendah. Ketika kedua benda disentuhkan, benda kaya kalorik kehilangan sebagian kaloriknya yang diberikan kepada benda miskin kalorik sampai kedua benda mencapai suhu yang sama (tercapai kesetimbangan termal).<br />Teori kalorik dapat menjelaskan pemuaian benda ketika dipanaskan dan proses hantaran kalor dalam sebuah calorimeter dengan memuaskan. Akan tetapi, teori kalorik tidak dapat menjelaskan mengapa kedua telapak tangan terasa hangat ketika menggesek-gesekkannya. Dalam kasus ini, kalor dihasilkan oleh usaha karena gesekan dan jelas menunjukkan bahwa kalor adalah salah satu bentuk energi.<br /> Teori Kinetik<br />Teori ini merupakan penyempurnaan dari teori kalorik yang tidak bisa menjelaskan fenomena yang disebutkan diatas. Ketika benda panas menyentuh benda dingin, partikel-partikel dalam benda panas menabrak partikel-partikel dalam benda dingin. Tabrakan-tabrakan ini memindahkan energi ke partikel-partikel benda dingin. Energi termal partikel-partikel benda dingin bertambah sehingga suhunya naik. Begitu partikel-partikel dalam benda dingin menjadi lebih energetic, partikel-partikel ini mulai memindahkan energinya kembali ke partikel-partikel benda panas. Pada beberapa titik, kelajuan energi dari benda panas ke benda dingin sama dengan kelajuan pemindahan energi dari bneda dingin ke benda panas. Kedua benda dikatakan mencapai kesetimbangan termal. Pada keadaan ini, suhu benda panas akan sama dengan suhu benda dingin.<br /> Sebelum simbang termal<br /> Benda Panas Benda dingin<br /> <br /><br /><br /><br /><br />Energi dipindahkan dari benda panas ke benda dingin<br /> Setelah seimbang termal<br /><br /><br /><br /> <br /><br />Ketika kesetimbangan termal tercapai, pemindahan energi diantara dua benda adalah sama.<br /> Perpindahan Kalor dan Cara Perpindahannya<br /><br /><br /><br /><br />Jika benda panas disentuhkan dengan benda dingin, tak lama kemudian suhu benda panas akan turun, sedangkan suhu benda dingin akan naik. Hal ini terjadi karena benda panas memberikan kalor kepada benda dingin dan ini juga dapat disebut sebagai perpindahan kalor.<br />Hal diatas menyimpulkan bahwa kalor berpindah dari benda bersuhu tinggi ke benda yang bersuhu lebih rendah.<br />Ada tiga cara perpindahan kalor, yaitu: 1. Konduksi, 2. Konveksi (aliran), dan 3. Radiasi (pancaran).<br /> Perpindahan Kalor secara Konduksi<br />Jika ada sebuah batang logam lalu salah satu ujungnya dipanaskan sengan nyala api sebuah lilin. Lama kelamaan ujung batang logam yang kita pegang (tidak terkena api) akan terasa hangat atau jika terlalu lama akan menjadi panas walaupun ujung batang logam tersebut tidak bersentuhan langsung dengan sumber kalor (api lilin). Pada proses perpindahan kalor dari bagian ujung yang panas ke ujung sendok yang dingin tidak terjadi perpindahan partikel-partikel dalam batang logam tersebut. Proses perpindahan kalor tanpa disertai perpindahan partikel dinamakan konduksi.<br /><br /><br /><br /><br /> <br />Gambar partikel-partikel pada ujung batang yang dipanasi bergetar lebih cepat daripada partikel-partikel pada ujung yang tidak dipanasi.<br /><br />Perpindahan kalor secara konduksi dapat terjadi dalam dua proses berikut :<br /> Pemanasan pada satu ujung zat menyebabkan partikel-partikel pada ujung itu bergetar lebih cepat dan suhunya naik, atau energi kinetiknya bertambah. Partikel-partikel yang energi kinetiknya lebih besar ini memberikan sebagian energi kinetiknya kepada partikel-partikel tetangganya melalui tumbukan sehingga partikel-partikel ini memiliki energi kinetik lebih besar. Demikian seterusnya sampai kalor mencapai ujung yang dingin (tidak dipanasi). Proses perpindahan kalor ini berlangsung lambat karena untuk memindahkan lebih banyak kalor diperlukan beda suhu yang tinggi diantara kedua ujung.<br /> Dalam logam, kalor dipindahkan melalui elektron-elektron bebas yang terdapat dalam struktur atom logam. Elektron bebas ialah elektron yang dengan mudah dapat berpindah dari satu atom ke atom yang lain. Di tempat yang dipanaskan, energi elektron-elektron bertambah besar. Oleh karena elektron bebas mudah berpindah, pertambahan energy ini dengan cepat dapat diberikan ke elektron-elektron lain yang letaknya lebih jauh melalui tumbukan. Dengan cara ini kalor berpindah lebih cepat. Oleh karena itu, logam tergolong konduktor yang sangat baik.<br /><br />Berdasarkan kemampuan menghantarkan kalor, zat dibagi atas dua golongan besar yaitu konduktor dan isolator. Konduktor ialah zat yang mudah menghantar kalor. Isolator ialah zat yang sukar menghantar kalor. <br />Adapun factor-faktor yang mempengaruhi laju konduksi kalor, diantaranya:<br /> Beda suhu, makin besar suhu maka makin cepat perpindahan kalor. ∆T = T1 – T2<br /> Ketebalan dinding permukaan benda, makin tebal dinding maka makin lambat perpindahan kalor.<br /> Luas permukaan benda, makin besar luas permukaan maka makin cepat perpindahan kalor.<br /> Konduktivitas termal zat merupakan ukuran kemampuan zat menghantarkan kalor. <br />Daya konduksi kalor dirumuskan:<br />Q/t=kA∆T/d<br /><br /> Perpindahan Kalor secara Konveksi<br />Jika kita meletakkan tangan kita diatas lilin kira-kira 10 cm, kita akan merasakan udara hangat yang naik dari nyala lilin. Ketika udara ynag dekat nyala lilin dipanasi, udara itu memuai dan massa jenisnya menjadi lebih kecil. Udara hangat dengan massa jenis lebih kecil akan naik dan tempatnya digantikan oleh udara dingin yang massanya jauh lebih besar. Proses perpindahan kalor dari suatu bagian fluida ke bagian lain fluida oleh pergerakan fluida itu sendiri dinamakan konveksi.<br /><br />Ada dua jenis konveksi, yaitu konveksi alamiah dan konveksi paksa. Contoh di atas adalah contoh konveksi alamiah. Pada konveksi alamiah, pergerakan fluida terjadi akibat perbedaan masa jenis. Bagian fliuda yang menerima kalor memuai dan masa jenisnya menjadi lebih kecil sehingga bergerak ke atas tempatnya digantikan oleh bagian fluida dingin yang jatuh ke bawah karena masa jenisnya lebih besar. Peristiwa ini mirip dengan mengapungya suatu benda karena masa jenis benda lebih kecil dari pada masa jenis zat cair.<br />Contoh-contoh konveksi dalam keseharian adalah sebagai berikut:<br /> Ketika membakar sesuatu, konveksi udara secara alami saat udara panas didekat nyala api memuai dan masa jenisnya menjadi lebih kecil. Udara dingin yang masa jenisnya lebih besar yang berada disekitar api menekan udara panas ke atas, sehingga terjadilah arus konveksi udara. Arus konveksi udara inilah yang membawa asap bergerak ke atas.<br /> Angin laut dan angin darat, yang dimanfaatkan nelayan untuk berlayar mencari ikan terjadi melalui konveksi alami udara. Pada siang hari, tanah lebih cepat menjadi panas daripada laut sehingga udara di atas daratan lebih panas daripada udara di atas laut. Oleh karena itu udara di atas daratan naik dan tempatnya digantikan oleh udara di atas laut, terjadilah angin laut. Pada malam hari, tanah lebih cepat dingin daripada laut sehingga udara di atas daratan lebih dingin daripada udara di atas laut. Oleh karena itu, udara di atas laut naik dan tempatnya digantikan oleh udara di atas daratan, terjadilah angin darat.<br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /> Contoh konveksi paksa adalah pada pengering rambut. Kipas menarik udara disekitarnya dan meniupkan udara tersebut melalui elemen pemanas. Dengan cara ini dihasilkan suatu arus konveksi paksa udara panas.<br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br />Faktor-faktor yang mempengaruhi laju kalor konveksi adalah sebagai berikut:<br />Laju kalor Q/t ketika sebuah benda panas memindahkan kalor ke fluida sekitarnya secara konveksi sebanding dengan luas permukaan benda A yang bersentuhan dengan fluida dan beda suhu ∆T di antara benda dan fluida. Secara matematis ditulis:<br /> Q/t=hA∆T<br />Dengan h adalah koefisien konveksi dengan nilai yang bergantung pada bentuk dan kedudukan permukaan, yaitu tegak, miring, mendatar, menghadap ke bawah, atau menghadap ke atas. Nilai h diperoleh dengan percobaan.<br /> Perpindahan Kalor secara Radiasi<br />Kalor dari Matahari tidak dapat melalui atmosfir secara konduksi ke bumi karena udara yang terdapat di atmosfir tergolong konduktor paling buruk. Kalor dari Matahari juga tidak dapat sampai ke Bumi melalui konveksi karena konveksi selalu diawali dengan pemanasan Bumi terlebih dahulu. Selain itu, perpindahan kalor secara konduksi atau konveksi tidak mungkin melalui ruang hampa yang terdapat diantara atmosfir Bumi dan Matahari.<br />Kalor dari Matahari dapat sampai ke Bumi melalui ruang hampa tanpa zat perantara (medium). Perpindahan kalor seperti ini disebut radiasi. Perpindahan kalor dapat melalui ruang hampa karena energi kalor dibawa dalam bentuk gelombang elektromagnetik. Jadi, radiasi atau pancaran adalah perpindahan energi kalor dalam bentuk gelombang elektromagnetik.<br />Penyerap Kalor Radiasi yang Baik dan Buruk<br />Beberapa permukaan zat menyerap kalor radiasi lebih baik daripada permukaan zat lainnya. Contohnya saja warna putih dan hitam. Warna hitam menyerap kalor lebih baik dari warna putih.<br />Ini dikarenakan: <br /> Permukaan yang hitam dan kusam adalah penyerap kalor radiasi yang baik sekaligus pemancar kalor radiasi yang baik pula;<br /> Permukaan yang putih dan mengkilap adalah penyerap kalor radiasi yang buruk sekaligus pemancar kalor yang buruk pula;<br /> Jika diinginkan agar kalor yang merambat secara radiasi berkurang, permukaan harus dilapisi suatu bahan agar mengkilap.<br /> Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Laju Kalor Radiasi<br />Pada tahun 1884, Ludwig Boltzmann menurunkan hubungan antara daya total yang dipancarkan oleh benda hitam sempurna dengan pangkat empat suhu mutlaknya. Persamaan yang didapat dikenal sebagai hukum Stefan-Boltzmann, yang berbunyi: energi yang dipancarkan oleh suatu permukaan hitam dalam bentuk radiasi kalor tiap satuan waktu (Q/t) sebanding dengan luas permukaan (A) dan sebanding dengan pangkat empat suhu mutlak permukaan itu (T4).<br />Secara matematis ditulis:<br /> Q/t= σAT4<br />Tetapan σ (sigma) dikenal sebagai tetapan Stefan-Boltzmann dan dalam satuan SI mempunyai nilai<br /> σ = 5,67 X 10-8 W m-2 K-4<br />tidak semua benda dapat dianggap sebagai banda hitam sempurna. Oleh karena itu, diperlukan sedikit penambahan faktor pengali. Maka persamaan diatas menjadi:<br /> Q/t= eσAT4<br /><br />Dengan e adalah koefisien yang disebut emisivitas. Emisivitas adalah suatu ukuran seberapa besar pemancaran radiasi kalor suatu benda dibandingkan dengan benda hitam sempurna. Nilainya terletak diantara 0 sampai 1 (0≤e≤1) dan bergantung pada jenis zat dan keadaan permukaan. e = 1 untuk benda hitam sempurna sedangkan e = 0 untuk pemantul sempurna (penyerap paling jelek).<br />Pemanfaatan Radiasi<br /> Pendiangan rumah<br /> Rumah kaca dan efek rumah kaca<br />Ketika sinar matahari mengenai kaca sebuah rumah kaca, cahaya tampak dapat menembus kaca, sedangkan ultraviolet dan inframerah dipantulkan kembali oleh kaca. Kalor radiasi cahaya tampak diserap oleh tanah dan tanaman didalam rumah kaca sehiongga tanah dan tanaman menjadi hangat. Tanah dan tanaman yang hangat dapat kita golongkan sebagai sumber yang lebih dingin dibandingkan dengan Matahari yang suhunya sangat tinggi. Tanah dan tanaman sebagai sumber kalor yang lebih dingin akan memancarkan kembali kalor yang diterimanya dalam bentuk radiasi inframerah dengan panjang gelombang lebih panjang. Energy kalor radiasi inframerah yang dipancarkan kembali ini tidak mampu menembus kaca, sebagai hasilnya energy kalor ini terperngkap di dalam rumah kaca, dan rumah kaca menjadi hangat. Suhu di dalam rumah kaca bisa tetap tinggi dibandingkan dengan suhu diluarnya. Keadaan ini membuat tanaman dapat tumbuh dengan subur.<br />Untuk mempertahankan suhu di dalam rumah kaca tetap tinggi bukanlah kalor radiasi langsung dari matahari, tetapi kalor radiasi yang dipancarkan kembali dalam bentuk radiasi inframerah yang panjang gelombangnya lebih panjang, yang terkurung didalam rumah kaca.<br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /> Panel Surya<br />Panel surya adalah suatu perangkat yang digunakan untuk menyerap radiasi dari matahari. Kalor radiasi dari matahari diserap oleh permukaan hitam dan dihantarkan secara konduks melalui logam. Bagian dalam panel dijaga agar tetap hangat kemudian sirkulasi air melalui wadah logam akan membawa kalor menjauh untuk dimanfaatkan pada sistem pemanas air domestik atau memanasi kolam renang.<br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /> <br /><br /><br /><br /><br /><span style="font-weight:bold;"><span style="font-weight:bold;"></span></span>habankhttp://www.blogger.com/profile/09626054388126297040noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-3909943987252109584.post-76701358060070880172010-06-01T06:18:00.001-07:002010-06-01T06:18:14.736-07:00MAKALAHTUGAS IPTEK<br />JURNAL INTERNASIONAL TENTANG<br />LINGKUNGAN DAN STATUS GIZI<br /><br /><br /><br /><br /><br /> <br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br />Disusun oleh :<br /><br />Ambar Wicaksono PO7131107002<br />Diah Fitri Helviana PO7131107013<br />Warih Suminar PO7131107026<br />Susiana Indri Utami PO7131106112<br /><br />GIZI REGULER III<br /><br /><br /><br />DEPARTEMEN KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA<br />POLITEKNIK KESEHATAN YOGYAKRTA<br />JURUSAN GIZI<br />2009<br /><br /><br />Nutritional Status Assessment in Semiclosed Environments: Ground-Based and Space Flight Studies in Humans1 ,2<br /><br />Scott M. Smith3, Janis E. Davis-Street*, Barbara L. Rice*, Jeannie L. Nillen*, Patricia L. Gillman* and Gladys Block{dagger}<br /><br />Life Sciences Research Laboratories, NASA Lyndon B. Johnson Space Center Houston TX 77058; * Enterprise Advisory Services Inc., Houston, TX 77058; {dagger} Epidemiology and Public Health Nutrition, University of California-Berkeley, Berkeley, CA 94720<br /><br />3To whom correspondence should be addressed. E-mail: scott.m.smith1@jsc.nasa.gov.<br /><br /><br /> ABSTRACT<br />TOP<br />ABSTRACT<br />INTRODUCTION<br />SUBJECTS AND METHODS<br />RESULTS<br />DISCUSSION<br />REFERENCES<br /> <br />Adequate nutrition is critical during long-term spaceflight, as is the ability to easily monitor dietary intake. A comprehensive nutritional status assessment profile was designed for use before, during and after flight. It included assessment of both dietary intake and biochemical markers of nutritional status. A spaceflight food-frequency questionnaire (FFQ) was developed to evaluate intake of key nutrients during spaceflight. The nutritional status assessment protocol was evaluated during two ground-based closed-chamber studies (60 and 91 d; n = 4/study), and was implemented for two astronauts during 4-mo stays on the Mir space station. Ground-based studies indicated that the FFQ, administered daily or weekly, adequately estimated intake of key nutrients. Chamber subjects maintained prechamber energy intake and body weight. Astronauts tended to eat 40-50% of WHO-predicted energy requirements, and lost >10% of preflight body mass. Serum ferritin levels were lower after the chamber stays, despite adequate iron intake. Red blood cell folate concentrations were increased after the chamber studies. Vitamin D stores were decreased by > 40% on chamber egress and after spaceflight. Mir crew members had decreased levels of most nutritional indices, but these are difficult to interpret given the insufficient energy intake and loss of body mass. Spaceflight food systems can provide adequate intake of macronutrients, although, as expected, micronutrient intake is a concern for any closed or semiclosed food system. These data demonstrate the utility and importance of nutritional status assessment during spaceflight and of the FFQ during extended-duration spaceflight.<br /><br />KEY WORDS: • weightlessness • food-frequency questionnaire • dietary intake • humans<br /><br /><br /> INTRODUCTION<br />TOP<br />ABSTRACT<br />INTRODUCTION<br />SUBJECTS AND METHODS<br />RESULTS<br />DISCUSSION<br />REFERENCES<br /> <br />Nutrition is a critical concern for extended-duration space missions (1Citation ,2)Citation and is critical to maintaining crew health, safety and productivity. Monitoring of nutritional status before, during and after long (>30 d) space missions will help provide optimal nutritional support of astronauts.<br /><br />Loss of body weight is a primary consequence of altered nutrition and is frequently observed during spaceflight (1Citation ,2)Citation . Other current dietary concerns for spaceflight include excessive intakes of sodium and iron, and insufficient intakes of water and vitamin D (1Citation ,2)Citation . Additionally, long-term dependence on closed or semiclosed food systems increases the likelihood of inadequate intakes of key nutrients. This is a significant concern for extended-duration space missions, either in low Earth orbit (e.g., International Space Station) or beyond (e.g., missions to Mars).<br /><br />Dietary intake during spaceflight is often inadequate, with crew members typically consuming 60–70% of predicted energy requirements (1Citation ,2)Citation . The ability to identify crew members who are not eating or drinking enough while on orbit is necessary to mitigate undernutrition. Spaceflight research often includes detailed recording of all foods consumed. Although this yields extremely accurate data, this method requires considerable time and effort, and thus is not suitable for routine medical monitoring during spaceflight.<br /><br />Many of the physiologic changes that occur during flight have nutritional implications (2)Citation . Loss of bone and muscle tissue, fluid shifts (3)Citation and hematologic alterations (e.g., reduced RBC mass) occur in astronauts. Environmental factors such as radiation also play an important role in the ability of humans to live and work in space.<br /><br />To ensure adequate nutritional support for astronauts, we developed a comprehensive nutritional assessment profile. It includes pre- and postflight assessment of a battery of biochemical markers of nutritional status, and a limited in-flight protocol, including dietary intake assessment and body mass measurement. The ground-based assessments were intended to be comprehensive (covering essentially all nutritional components, e.g., body composition, musculoskeletal status, vitamins or minerals). Due to resource constraints (e.g., crew time, freezer volume) on orbit, the in-flight assessment was limited to a dietary intake assessment and body mass determinations. The dietary intake assessment was implemented in the form of a food-frequency questionnaire (FFQ).4 The FFQ was designed to provide a quick and easy, yet reasonably accurate method for crew members to provide dietary intake information to the ground. It was targeted at specific nutrients (energy, protein, fluid, sodium, iron and calcium) to reduce complexity of the questionnaire.<br /><br />We report here results from two types of studies, i.e., ground-based, semiclosed chamber studies (60- and 91-d durations) and spaceflight studies of astronauts residing on the Russian Mir space station (~4-mo durations). The ground studies had the following two key objectives: 1) to assess nutritional status of crew members consuming a space-like food system, and 2) to validate and use an FFQ designed specifically for use with semiclosed spaceflight food systems. The flight studies reported here represent the initial implementation of this nutritional assessment protocol.<br /><br /><br /> SUBJECTS AND METHODS<br />TOP<br />ABSTRACT<br />INTRODUCTION<br />SUBJECTS AND METHODS<br />RESULTS<br />DISCUSSION<br />REFERENCES<br /> <br />Two types of studies were conducted, i.e., ground-based, semiclosed chamber studies and flight studies aboard the Mir space station. The semiclosed environment of each provided unique opportunities to examine the effect of a limited food system on dietary intake and nutritional status and to assess and implement means of monitoring dietary intake.<br /><br />Environment<br /><br /> Chamber studies. Two ground-based studies that involved prolonged (60- and 91-d) stays in an enclosed chamber facility at the NASA Johnson Space Center in Houston were conducted. The cylindrical chamber was 20 ft (6.1 m) in diameter, with three levels, namely, a work/galley area, a mechanical area and living quarters. The primary objective of studies with this chamber was to test regenerative air and water system technology for use on potential planetary missions. A group of ~20 "supplemental" projects was included to maximize return from habitation of the semiclosed chamber environment. These projects tested objectives relevant to spaceflight or confinement, and included psychological studies, in situ training assessments, and sleep and behavioral studies. We report here the results of one such "supplemental" study, which was designed to assess the nutritional effect of a semiclosed space-like food system and validate a dietary intake questionnaire for semiclosed food systems.<br /><br /> Flight studies. These studies were conducted with two astronauts on missions to Mir as part of the NASA Mir Science Program. The missions included launch from and return to Earth on board a U.S. space shuttle and residence for ~4 mo on Mir.<br /><br />Subjects<br /><br /> Chamber studies. Subjects for the 60-d study were 1 woman and 3 men; subjects for the 91-d study were 2 women and 2 men. The ages of the 5 male subjects ranged from 26 to 36 y, and prechamber body mass ranged from 56.8 to 83.4 kg [body mass index (BMI) = 23.0 ± 3.4 kg/m2, mean ± SD]. The ages of the 3 female subjects ranged from 28 to 41 y, and prechamber body mass ranged from 57.4 to 69.4 kg (BMI = 22.4 ± 3.3 kg/m2). All subjects were required to pass an Air Force Class III physical examination for clearance to participate in the study.<br /><br /> Flight studies. Two men aged 40 to 54 y with preflight body mass in the range from 70.5 to 88.6 kg participated in these studies. These ranges reflect data for all male astronauts (n = 6) who resided on Mir as part of the NASA Mir Science Program (see subject confidentiality, below).<br /><br /> Subject confidentiality. Because the number of subjects in these studies is small and their participation in the chamber studies and NASA Mir missions has been highly publicized, additional restrictions are required to maintain subject confidentiality. Specifically, data from the chamber studies are not presented by gender because only one woman participated in the 60-d study. Only two crew members participated in the flight studies. Because individual results are reported here, details of individual subject characteristics are minimized, and data in the figures have been truncated for one subject to eliminate identification of subjects based on flight duration.<br /><br />All procedures for both the ground-based and flight studies were reviewed by the Johnson Space Center Institutional Review Board to ensure ethical use of human subjects. Informed consent was obtained from all subjects.<br /><br />Food systems<br /><br /> Chamber studies. The food system for the 60-d study was designed to be similar to that planned for use on the International Space Station. Commercial products comparable to foods on the International Space Station Daily Menu Food List were located in local grocery stores and incorporated into a standardized menu that included fresh, frozen and thermostabilized items. Energy requirements were calculated for each subject based on the WHO equation (4)Citation , adjusted for moderate activity (specifically 1.7 for men, 1.6 for women). Macronutrient contents of the standardized menu were calculated using the Daily Nutritional Requirements for Spaceflight (2Citation ,5)Citation .<br /><br />A 20-d cycle menu was repeated throughout each chamber test period. Although only foods from the menu were allowed, subjects were not required to eat exactly the planned menu. The menu was adjusted only when an item could not be supplied due to seasonal availability or some other reason. Food preparation equipment for this study consisted of two microwave ovens. A side-by-side refrigerator/freezer was available for food storage.<br /><br />The food system for the 91-d study was developed in a similar manner, but it was designed to be similar to that planned for use on a planetary (e.g., Moon, Mars) base. Accordingly, during the 91-d study, the 20-d cycle menu consisted of a 50% vegetarian diet, defined as <=4 servings of meat/wk. Additionally, an experimental diet was used for 10 d of the 91-d study (d 31–40). It consisted entirely of food items that could be produced in a regenerative food system.<br /><br />During the 91-d study, food preparation equipment included a combination microwave/convection oven, a bread-making machine, a blender and a portable stove-top burner. A side-by-side refrigerator/freezer was also available for food storage.<br /><br /> Flight studies. The food system used on board Mir consisted of about half U.S. space foods and half Russian space foods (6)Citation . Because refrigeration was not available for food items, all foods were shelf-stable—dehydrated, thermostabilized (e.g., canned) or in natural form. Although a 6-d cycle menu was planned, actual eating patterns during flight rarely followed the scheduled menu. About once per mission, a cargo vehicle arrived with a limited number of fresh food items (e.g., fruits, vegetables). These items typically are edible for <1 wk.<br /><br />Dietary intake assessment<br /><br /> Chamber studies. Before entering the chamber, the subjects completed a standard dietary assessment questionnaire (7)Citation to assess their usual diet over the past year. During their chamber stay, subjects completed a specialized FFQ (described below) to assess intake over 24-h (24-h FFQ) or 7-d (7-d FFQ) periods. The 24-h FFQ was administered 3 times/wk during wk 4 and 7 of the 60-d study, and wk 1, 4, 6, 9 and 12 of the 91-d study. The 7-d FFQ was administered once per week during wk 1, 3, 6 and 8 of the 60-d study, and wk 2, 5, 8, 10 and 13 of the 91-d study. Five-day weighed food records were completed for wk 2 and 5 of the 60-d study and wk 3, 7 and 11 of the 91-d study. During the weighed record sessions, subjects were provided a digital scale and log book, and were instructed to weigh and record all food, fluids, vitamin and mineral supplements, and medicines consumed. A research dietitian (B.L.R.) met with the subjects before the prechamber data collection session to provide training for all diet intake assessment methods.<br /><br />Three of the 60-d chamber subjects reported occasional use of vitamin and mineral supplements, and one 91-d study subject reported daily supplement use. Intake data herein represent total nutrient intake from the foods consumed as well as supplements.<br /><br /> Flight studies. About 6 mo before flight, crew members completed the same standard dietary assessment questionnaire (7)Citation as the chamber subjects. During the flight, crew members filled out a specialized spaceflight FFQ (see below) once per week, and the data were transmitted to mission control in Moscow via telemetry. The files were then encrypted, and sent to the NASA Johnson Space Center in Houston. A nutrient estimation algorithm was applied to the data, and the resulting nutrient intake information was reported to the flight surgeon.<br /><br />One subject reported use of a vitamin A, C and E supplement during the preflight study period. During flight, the other subject reported occasional use of a multivitamin and mineral supplement. The intake data presented herein include total nutrient intake from both food and supplements.<br /><br />Food-frequency questionnaire (FFQ)<br /><br /> Chamber studies. The FFQ used in the chamber was constructed by one of the authors (G.B.) using the key nutrient contents of the >200 food items on the menu list. Nutrient data for all foods (except milk and dried cereals for the 60-d study, see below) were obtained using the Nutrition Data System (NDS-R, Version 4.01/29, developed by the Nutrition Coordinating Center, University of Minnesota, Minneapolis, MN, Food and Nutrient Database 29 released Dec. 1996). For the 60-d study, nutrients in milk and dried cereal were obtained using values provided by Block et al. (7)Citation . Specific nutrients targeted by the FFQ were energy, protein, calcium, sodium, iron and water. Two versions of the chamber FFQ were presented, one asking about dietary intake for the past 24 h, the other asking about the past 7 d. Questionnaire responses for these ground-based studies were handwritten.<br /><br /> Flight studies. The spaceflight FFQ, based on the key nutrient contents of the food items available from the U.S. and Russian space food lists, was constructed by one of the authors (G.B.). Nutrient content of foods was obtained via proximate analysis performed by the NASA Johnson Space Center Water and Food Analytical Laboratory. Nutrients studied were energy, protein, calcium, sodium, iron and water. A computerized FFQ was developed and was included on the laptop computers on board Mir. Completion of this questionnaire required ~10 min/wk.<br /><br />Biochemical assessment of nutritional status (chamber and flight studies)<br /><br />A complete biochemical nutritional assessment profile was developed for use with crew members before and after extended-duration space missions. This profile was intended to be comprehensive and to provide information on virtually all aspects of nutritional status (e.g., body composition, bone and muscle markers, vitamins, minerals). Due to technical (e.g., tests not operational at the time) and manuscript length limitations, not all tests are reported herein. A comprehensive data set from these studies will be published in a future NASA technical memorandum.<br /><br />Most analytical determinations were completed using standard, commercial techniques. Serum total protein (3.0% CV), calcium (3.0% CV), cholesterol (4.5% CV), triglycerides (4.5% CV), electrolytes (sodium, 1.5% CV; potassium, 3.0% CV; chloride, 3.0% CV), aspartate aminotransferase (5.3% CV), alanine aminotransferase (5.3% CV) and total alkaline phosphatase (5.3% CV) were analyzed using a Beckman SYNCHRON CX7 automated clinical chemistry system (Beckman Coulter, Brea, CA). Serum albumin (<5.0% CV) and transthyretin (1.5% CV) were analyzed using the Beckman Appraise and Array 360 instruments, respectively (Beckman Coulter). Urine creatinine (4.5% CV) was analyzed on the Beckman CX3 system (Beckman Coulter).<br /><br />Hemoglobin (<1.5% CV), hematocrit (calculated) and mean corpuscular volume (< 2% CV) were determined using a Coulter MaxM instrument (Beckman Coulter). Serum ferritin (<10% CV) and transferrin (3.63% CV) were analyzed using the Beckman Access and Array 360 instruments, respectively (Beckman Coulter). Transferrin receptors (5.7% CV) were measured using a commercially available ELISA (Ramco Laboratories, Houston, TX). RBC folate (6.4% CV) was measured using a commercially available radioreceptor assay (Diagnostic Products, Los Angeles, CA).<br /><br />For the 60-d study and the flight studies, ferritin iron content was also determined by a modified version of the procedure developed by Herbert et al. (8)Citation . Briefly, the iron content of ferritin was determined after separation of ferritin from other iron-containing proteins. This was accomplished by the immunoprecipitation of serum ferritin with rabbit antihuman polyclonal antibody (Accurate Scientific, Westbury, NY) bound to immobilized rProtein A cross-linked to agarose beads (RepliGen, Cambridge, MA). Iron was released from the ferritin by digestion with 1 mol/L HNO3 (GFS Chemicals, Columbus, OH) in a 75°C water bath. The hydrolysate was then diluted with deionized water (Milli-Q UF Water System, Millipore Corp., Bedford, MA) and analyzed for iron content by an Elan 6000 inductively coupled plasma mass spectrometer (Perkin Elmer, Norwalk, CT) equipped with a microconcentric nebulizer (Cetac Technologies, Omaha, NE). The intra-assay CV for this assay was 9.3%, and the interassay CV was 10.5%.<br /><br />Ionized calcium (1.5% CV) was determined using ion-sensitive electrode techniques (i-STAT, Princeton, NJ). Serum intact parathyroid hormone (5.85% CV) was measured by RIA (Nichols Institute Diagnostics, San Juan Capistrano, CA). Vitamin D metabolites 25-hydroxyvitamin D (9.1% CV) and 1,25-dihydroxyvitamin D (16.2% CV) were also determined using commercially available kits (DiaSorin, Stillwater, MN). Bone-specific alkaline phosphatase (5.6% CV) was measured by ELISA (Metra Biosystems, Palo Alto, CA).<br /><br />RBC superoxide dismutase (<9% CV), glutathione peroxidase (<9% CV) and serum oxygen-radical absorbance capacity (<7% CV) were measured spectrophotometrically using commercially available kits (Randox Laboratories, Crumlin, Antrim, UK). HPLC techniques (9)Citation were used to determine 8-hydroxy-2'-deoxyguanosine (5.13% CV) in urine.<br /><br />Biosample collection<br /><br /> Chamber studies. Blood samples were collected before (entry - 6 d) and after (egress + 4 d) the 60-d test. For the 91-d study, blood samples were collected before (entry - 9 d), twice during [immediately before and after the 10-d regenerative food system test, i.e., chamber d 30 (CD30) and 40], and after (egress + 4 d) the chamber stay. Urine was collected for 48 h before, every day during and 2 d after the chamber studies. Pre- and postchamber urine collections began on the day of blood collection. All urine voids were collected during the chamber studies, but few analytes were measured in all samples. However, complete urine analysis was conducted once (on CD32) during the 60-d chamber study and 3 times during the 91-d chamber study (CD30, CD40, CD60).<br /><br />Blood samples from fasting subjects were collected immediately after awakening, at the same time of day, to minimize the effect of diurnal changes in endocrine and biochemical markers. For the 60-d chamber study, a total of 52 mL of blood was collected over ~70 d; for the 91-d chamber study, a total of 98 mL of blood was collected over ~100 d.<br /><br />All urine samples were collected as individual voids. During the chamber studies, urine samples were stored in a refrigerator in the chamber and were transferred to the outside in one of the 2 or 3 daily exchanges of equipment and other material through an airlock. Urine samples were processed in the laboratory daily as follows: 24-h pools were created, and aliquots were either analyzed immediately or frozen for batch analysis upon completion of the study.<br /><br /> Flight studies. The nutritional assessment protocol was conducted twice before flight (~6 mo and 2 wk before launch), and within hours of landing after the flight. Blood samples were collected before (twice) and after the flight; urine was collected over two 48-h periods before and one 48-h period after the flight.<br /><br />Blood samples were collected by standard phlebotomy techniques. With the exception of samples collected on the day of landing, all blood samples were collected in the morning after an 8-h fast. Blood samples were processed for individual analytes and stored at -20°C until analysis. Before and after flight, urine voids were collected into individual containers and stored with ice packs or refrigerated until processing, which occurred within 24 h of collection. Twenty-four-hour pools were created, and aliquots were prepared and stored at -20°C until analysis.<br /><br />Body mass<br /><br />Pre- and postflight body mass measurements of astronauts and all body mass measurements for the chamber studies were performed using a calibrated scale. During flight, body mass was determined biweekly using the Mir body mass measuring device. Pre- and postchamber and pre- and postflight anthropometric measurements were also completed, although those data are not reported here.<br /><br />Statistical analysis<br /><br /> Chamber studies. Data are expressed as means ± SD, except in cases in which data represent means of means, for which SEM is used (see table footnotes for indications). Dietary data were analyzed using repeated-measures ANOVA. The class variable was assessment tool (24-h FFQ, 7-d FFQ, weighed records), and the dependent variables were the nutrients. Post-hoc Tukey tests were performed to assess specific differences between sessions. Significance was assigned to differences of P < 0.05. Statistical analyses were performed using SigmaStat (SPSS, Chicago, IL). Prechamber dietary intake data are presented, but these were not included in the statistical analyses because the differences between prechamber and in-chamber intakes were not the primary research question.<br /><br />Biochemical analyte data for the 60-d study were analyzed using paired t tests, except when in-chamber analyses were available. In these cases, and for the 91-d chamber study, data were analyzed using repeated-measures ANOVA. The class variable was study phase (prechamber, in-chamber, postchamber phases), and dependent variables were the indices measured. This analysis identified effects of the semiclosed food system on indices of nutritional status. Because of the repeated-measures design of this study, each subject served as his or her own control. Data from the RBC transketolase assay for thiamin status were not subjected to statistical analysis because this assay is qualitative rather than quantitative.<br /><br /> Flight studies. Because only two crew members participated in the flight studies, statistical analyses were not performed on these data. Data from individual subjects are presented.habankhttp://www.blogger.com/profile/09626054388126297040noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-3909943987252109584.post-35545969792748155532010-06-01T06:17:00.001-07:002010-06-01T06:17:43.465-07:00MAKALAHTUGAS IPTEK<br />JURNAL INTERNASIONAL<br />PENGETAHUAN DAN SIKAP IBU<br />DENGAN STATUS GIZI BALITA<br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br />Disusun Oleh :<br />1. Anggita Brilian R PO 7131107003<br />2. Diah Kusuma Ningrum PO 7131107014<br />3. Rahmasari Utami PO 7131107032<br />4. Sevia Wahyuningrum PO 7131107033<br /><br /><br />DEPARTEMEN KESEHATAN REPUBLIK INDOENSIA <br />POLITEKNIK KESEHATAN YOGYAKARTA <br />JURUSAN GIZI <br />2009<br />Pengetahuan dan Sikap Ibu Mengenai Kelangsungan Hidup Masa Anak-anak<br /><br />PENGARANG<br />Pantat. Prof. Thamer Kadum Yousif Al Hilfy <br />MBChB/FICMS <br />Athraa Essa/MSC <br /><br />ABSTRAK <br />Latar belakang: <br />Sejak akhir konflik di Irak pada April 2003 dan dimulainya fungsi sistem kesehatan, yang terdiri 1200 PHCC yang kira untuk menyediakan layanan kesehatan kepada masyarakat, yang masih merupakan Angka Kematian Ibu (AKI) adalah 244/100.000 kelahiran hidup; Mortalitas anak (MR) <5 tahun adalah 131/1000 kelahiran hidup dan bayi MR 108/1000 kelahiran hidup. Angka-angka ini menunjukkan dampak dari pelayanan kesehatan yang tidak memadai pada kehidupan ibu dan anak, juga di beberapa bagian, pengetahuan sikap dan praktek ibu terhadap layanan yang diberikan dapat memainkan peran yang besar dalam angka-angka tinggi ini.<br />Penerima manfaat langsung akan masyarakat luas, terutama ibu-ibu yang menghadiri pusat PHC mencari pelayanan kesehatan yang ideal untuk kepentingan keluarga. Para petugas kesehatan di pusat-pusat PHC yang tepat akan mendapatkan umpan balik dari hasil penelitian ini, ke arah yang lebih baik menyediakan layanan kesehatan bagi ibu dan anak-anak mereka (1).<br />Manfaat tidak langsung akan kesehatan para pembuat kebijakan di tingkat tinggi di pemerintahan, direktur umum obat pencegah di Kementerian Pendidikan Tinggi dan penelitian ilmiah, dan organisasi non-pemerintah pemimpin masyarakat.<br /><br />Tujuan: <br />Untuk mengevaluasi pengetahuan, praktik dan sikap ibu terhadap kelangsungan hidup masa anak-anak.<br />Tujuan: <br />1. Identifikasi hubungan antara karakteristik ibu dan anak-anak bertahan hidup.<br />2. Mengenali hubungan antara pelayanan perawatan ibu dan anak-anak bertahan hidup. <br />Menjelaskan hubungan antara penyediaan pelayanan anak usia dan kelangsungan hidup, status gizi dan menyusui, pemantauan pertumbuhan, penyakit pernapasan, diare, dan status imunisasi. <br /><br />Metodologi: <br />Sebuah studi kohort penampang silang pada sampel yang dipilih secara acak ibu yang mempunyai anak kurang dari 2 tahun, menghadiri pusat-pusat perawatan kesehatan primer (PHCCs) di kota Tikrit dari Oktober 2004 hingga akhir Juni 2005 adalah termasuk dalam kajian ini.<br />Sebuah kuesioner khusus dipersipkan untuk tujuan ini, mewawancarai ibu yang mempunyai anak kurang dari 2 tahun, menghadiri PHCCs ini.<br /><br />Hasil: <br />Kami menemukan bahwa mayoritas para ibu ibu rumah tangga (82,3%), kelompok umur terutama antara 25-34 tahun (86,9%). Hanya sekitar 31% adalah berpendidikan tinggi. Kebanyakan sampel ibu percaya bahwa ASI adalah makanan terbaik bagi bayi mereka , dan mengakui bahwa ASI memiliki banyak keuntungan untuk bayi, ibu dan keluarga mereka. Hanya sekitar 45% dari para ibu memiliki kebiasaan positif terhadap menyusui. ASI eksklusif adalah rendah di antara ibu menyusui (28,9%). Sekitar 35,2% ibu tidak tahu tentang apa makanan pelengkap yang harus ditambahkan dalam berbagai kelompok usia anak. <br />Anak-anak yang tidak punya kartu pemantauan pertumbuhan berjumlah 24,2% dan hanya 49,2% dari kartu ibu ibu itu. Sekitar 82,8% ibu-ibu yang diteliti tertunda luar PHC janji yang diberikan oleh pekerja untuk kunjungan rutin mereka, yang mencerminkan kepentingan mereka yang miskin dan ketidakpedulian ibu ini untuk layanan PHC. <br />Kesimpulan: <br />Pengetahuan dan praktek ibu itu, umumnya, tidak memuaskan terhadap penyakit diare dan perawatan antenatal, sementara pengetahuan ibu tentang tanda-tanda risiko ARI sekitar 65%. <br />Hasil ini menunjukkan bahwa promosi payudara ibu menyusui dan mendidik tentang pengetahuan dan praktik yang benar mengenai perawatan perinatal dan penyakit diare bagi anak-anak, dianjurkan. <br /><br /><br /><br /><br />PENDAHULUAN<br />Perawatan kesehatan primer (PHC) menyediakan layanan kesehatan dasar bagi individu, keluarga, kelompok rentan, dan masyarakat pada umumnya. Perawatan kesehatan primer (PHC) adalah pendekatan pertama mencari publik untuk perawatan medis, preventif dan kuratif. Ini adalah tanggung jawab masyarakat jaringan luas dari pusat-pusat kesehatan dan unit, dan mungkin kadang-kadang menjangkau orang-orang dalam komunitas mereka (1). <br />Perawatan kesehatan dasar sangat penting perawatan kesehatan berdasarkan ilmiah dan praktis metode dapat diterima secara sosial, dan teknologi membuat diakses secara universal individu dan keluarga di masyarakat melalui partisipasi penuh mereka, dan pada biaya yang masyarakat dan negara mampu mempertahankan pada setiap tahap pembangunan mereka di masyarakat. Ini adalah kontak tingkat pertama individu, keluarga dan masyarakat, dengan sistem kesehatan nasional, membawa perawatan kesehatan sedekat mungkin dengan tempat orang tinggal dan bekerja, dan merupakan elemen pertama dari proses perawatan kesehatan berkelanjutan (2) . Deklarasi berlangsung untuk menentukan perawatan kesehatan dasar termasuk pencegahan, promosi kesehatan, kuratif, dan rehabilitasi layanan. <br />Pekerjaan gerakan kesehatan perempuan penting dalam menetapkan arah kebijakan kesehatan. Itu adalah gerakan perempuan yang memelopori pendekatan politik untuk kesehatan dan perawatan kesehatan, membawa mereka dari domain pribadi ke ranah politik, pemahaman bahwa "kendali atas tubuh kita sendiri" akan mustahil tanpa perubahan sosial dan ekonomi (3 ). <br />Ini, untuk kami, adalah yang paling sangat membebaskan feminis pengertian dan pemahaman bahwa penindasan secara sosial kita, dan bukan biologis, ditahbiskan untuk bertindak atas pemahaman ini adalah untuk meminta lebih dari "kendali atas tubuh kita sendiri", itu adalah untuk meminta dan perjuangan untuk, kontrol atas pilihan sosial yang tersedia bagi kita, dan kontrol atas semua lembaga-lembaga masyarakat yang sekarang mendefinisikan pilihan ini (4). <br />Berbeda dengan deklarasi Alma Ata, Kesehatan Kanada telah menentukan perawatan kesehatan primer sebagai "titik kontak pertama untuk Kanada dengan sistem kesehatan, sering kali melalui dokter keluarga" (5). <br />Definisi ini, menyegarkan dalam keringkasan & kesederhanaan, daun terjawab pertanyaan-pertanyaan penting, termasuk apa yang merupakan komponen penting dari perawatan kesehatan primer. <br />Lain di mana, Kesehatan Kanada telah membuat komitmen yang kuat untuk memahami pentingnya determinan non-medis kesehatan dan penanggulangan praktek keterampilan; layanan kesehatan; dukungan sosial jaringan; gender dan denting. Komitmen tanggal kembali ke laporan tahun 1979 saat itu Menteri Kesehatan federal, Mare Lapland, A New Perspective di Kanada Kesehatan (6). Kesehatan Kanada juga memiliki komitmen untuk mengungkapkan kedua analisis berbasis jender dan strategi Kesehatan perempuan. Analisis Jender berbasis kebijakan dan konsep Exploring dalam Gender dan Kesehatan. <br />Setiap mereformasi sistem perawatan kesehatan dasar harus mencakup berbagai macam layanan perawatan kesehatan reproduksi dan pengiriman mereka harus diorganisir dalam cara-cara yang mengenali perempuan yang mempromosikan keberagaman dan otonomi perempuan, pengendalian dan kesehatan. <br />Kedua ada ketentuan lebih umum di kalangan wanita seperti kanker payudara, gangguan makan, depresi dan luka-luka yang diakibatkan diri (7). <br /><br />KESEHATAN IBU DAN ANAK<br />Ibu dan anak-anak adalah kelompok rentan yang memerlukan perawatan khusus melalui perawatan ibu; untuk menikah perempuan di masa melahirkan anak, terutama yang hamil dan menyusui, dan melalui penitipan anak; untuk anak-anak di bawah lima tahun (bayi dan anak-anak prasekolah. (1). <br />Ibu kelompok rentan yang membutuhkan program-program kesehatan ibu khusus, karena: <br />• Mereka berisiko morbiditas (bahaya kesehatan) dan kematian selama kehamilan, persalinan dan puerperium, dan yang sebagian besar dapat dicegah dan dikontrol melalui perawatan ibu. <br />• Kesehatan ibu merupakan kebutuhan dasar kesehatan janin dan hasil yang menguntungkan kehamilan. <br />• Ibu yang bertanggung jawab untuk promosi kesehatan dan budaya anak-anak, dan kesejahteraan keluarga, sehingga harus sehat, dan sadar persyaratan kesehatan (1). <br />Di negara-negara berkembang, lebih dari 500.000 wanita meninggal setiap tahun dari komplikasi yang berkaitan dengan kehamilan dan kelahiran anak. Banyak perempuan lain menderita kehamilan dan komplikasi yang terkait dengan pengiriman, yang dihasilkan dalam jangka panjang masalah kesehatan. Kematian seorang wanita saat melahirkan sering berarti kematian untuk bayi yang baru lahir, dan kematian dan cacat diterjemahkan menjadi emosional, sosial, dan ekonomi bagi perempuan kesulitan anak-anak yang lebih tua, seluruh keluarga mereka, dan bahkan masyarakat (8). <br />Ibu dan kematian bayi dapat dicegah dengan memastikan bahwa kualitas tinggi ibu dan bayi baru lahir dapat diakses perawatan kesehatan dan komplikasi kesehatan ibu diakui, dirujuk, dan dirawat oleh ahli kesehatan, atau mereka mencari perawatan terhalang oleh hambatan-hambatan budaya seperti status perempuan dalam keluarga dan dalam masyarakat. Mereka mungkin menunda pengobatan mereka sendiri ketika sakit, agar dapat membayar untuk merawat anggota keluarga, atau mereka mungkin tidak berusaha peduli sama sekali (7). <br />Di Irak, sebuah studi tentang distribusi frekuensi pendidikan kehamilan, oleh staf PHCC pada aspek kesehatan ibu yang berbeda, menunjukkan bahwa pendidikan tentang pentingnya ASI adalah 48,71%, sedangkan faktor-faktor berisiko pada kehamilan dan persalinan 40,95%, dan bimbingan oleh dokter atau farmasi tentang penggunaan obat-obatan, ditemukan di 90,1% (9). (Tabel (I))<br /><br />METODOLOGI<br />Desain dari Studi: <br />Studi ini merupakan studi kohort lintas seksi, dan dilakukan selama periode dari Oktober 2004 sampai akhir Juni 2005. <br />Karakteristik sosio-demografis: <br />Kajian ini dilakukan di pusat-pusat PHC Kota Tikrit, yang melayani sebagian besar masyarakat yang berbeda tingkat ekonomi sosial. Cluster sampling digunakan Kota Tikrit membagi ke dalam 5 sektor (Al-Alam, Ibnu-Sinaa, Alrazee, Ibnu-bergegas, dan Al-Rbidaa PHCC). <br />Pemerintahan Salahaldeen memiliki perkiraan populasi (1162490). Mewakili kota Tikrit (159.721) dari jumlah penduduk. Dari penduduk kota Tikrit, 20% di kelompok usia reproduksi (15-45) tahun, dan satu lagi 20% dari penduduk di bawah usia 5 tahun (71). <br />Study Groups: <br />Random sampling dari masing-masing PHCC diambil dari Oktober 2004 hingga akhir Juni 2005, dengan mewawancarai wanita yang mengunjungi PHCC untuk Ibu dan Anak pelayanan kesehatan yang memiliki anak kurang dari 2 tahun. Ukuran sampel adalah 5% dari wanita dalam kelompok usia reproduksi, setara dengan sekitar 760. Lima PHCCs dipilih. <br />Kunjungan harian dilakukan oleh penyidik sendiri. Dalam setiap hari, salah satu PHCCs dikunjungi selama jangka waktu 6 bulan. Wawancara dengan setiap wanita yang mengunjungi pusat-pusat dilakukan secara terpisah dan dengan privasi lengkap, sehingga jawaban (terutama tentang pendapat mereka) kurang dipengaruhi oleh mendengar jawaban dari orang lain. Setiap pertanyaan diajukan dalam bahasa yang sederhana. Sejumlah perempuan yang diwawancarai 760 dari semua pusat. <br /><br /><br />Sumber perawatan kesehatan: <br />Seperti dalam PHCCs di Irak, pusat-pusat di Kota Tikrit menyediakan paket komprehensif layanan kesehatan primer. Ada 5 PHCCs di kota Tikrit, dan mereka semua memberikan perawatan kehamilan dan kesehatan anak ibu, dan satu (1) rumah sakit umum utama dan (2) rumah sakit kecil, dan ada beberapa klinik asuransi kesehatan dan banyak klinik-klinik swasta. <br />Penekanan utama adalah pada perawatan kesehatan ibu dan anak, kesehatan sekolah, perawatan kuratif dan penyakit menular. <br />Di antara program-program yang memiliki prioritas tinggi adalah program perluasan imunisasi (EPI), terapi rehidrasi oral (ORT) untuk mengendalikan penyakit diare, dan manajemen kasus penyakit pernapasan akut. <br />Perintis Studi dan Pretest: <br />Sebuah uji coba skala kecil studi ini dilakukan pada sampel dari 30 kasus termasuk bayi dengan orangtua mereka, untuk mengidentifikasi daerah-daerah ambiguitas dalam kuesioner dan untuk memiliki sebuah gagasan tentang waktu yang diperlukan dan lainnya poin praktis sebelum studi akhir diluncurkan. <br />Pengembangan Kuesioner dan Pengumpulan Data: <br />Kuesioner dikembangkan untuk mengumpulkan informasi berikut dan variabel dari semua yang terlibat perempuan (studi populasi, lihat lampiran): <br />Kuesioner yang berkaitan dengan: <br />1. Pendidikan / pekerjaan ibu.<br />2. Menyusui / Nutrisi. <br />3. Pemantauan pertumbuhan. <br />4. Penyakit diare. <br />5. Infeksi saluran pernafasan akut-ARI (penyakit pernafasan). <br />6. Imunisasi. <br />7. Penitipan anak. <br />Analisis Statistik: <br />Data yang dikumpulkan di (760) ibu dan bayi mereka dipelajari, dan teknik statistik konvensional yang diterapkan ke data dalam studi persentase distribusi berdasarkan frekuensi, grafik batang, diagram lingkaran dan tabel representasi.<br /><br /><br /><br />HASIL<br />Dari data yang dikumpulkan secara acak dari 5 pusat kesehatan di kota Tikrit, data yang dikumpulkan sesuai dengan kuesioner pra-set seprai, 760 ibu-ibu menghadiri ke PHC di mana dikenai survei. <br />Hasil studi menunjukkan bahwa sebagian besar anak-anak ditimbang 85,79% pada kunjungan pendaftaran, sementara 14,21% tidak dicatat (Tabel 1). Kekecewaan ibu adalah tinggi (82,89%) sementara mereka yang menghadiri satu waktu hanya 17,11% (Tabel 2)<br />Tabel 1. Distribution of study sample according to the weights recorded at registration <br />Berat badan No % <br />tercatat 652 85.79 <br />tidak tercatat 108 14.21 <br />total 760 100.00 <br /><br />Table 2. Distribution of study sample according to their attendance of appointments <br />Attendance to appointment No % <br />at time 130 17.11 <br />delayed 630 82.89 <br />total total 760 100.00 <br />Hasil studi menunjukkan tertinggi persen dari ibu ibu rumah tangga (86,89%) berada di dalam kelompok umur 25-34 tahun, sedangkan tertinggi persen ibu-ibu bekerja (33,87%) adalah dalam kelompok usia (35-44) tahun (Tabel 3 ). Para ibu yang sedang menghadiri pendidikan tinggi di 31% saja, sedangkan tertinggi persen memiliki pendidikan menengah 50% (Tabel 4).<br /><br /><br />Table 3. The relationship between age of mother and their work status<br />Mother age group Work status Total women at age group % of total<br /> Housewife % of age group Employed % of age group <br />12-24 180 71.43 72 28.57 252 33.16<br />25-34 334 86.98 50 13.02 384 50.53<br />35-44 82 66.13 42 33.87 124 16.32<br />Total 596 78.42 164 21.58 760 100.0<br />Significant (P value < 0.05)<br />Table 4. Distribution of study sample according to mothers' education<br />mother education No. %<br />cannot read and write 54 7.11<br />read and write (primary) 90 11.84<br />intermediate & secondary 380 50.00<br />University & post graduate 236 31.05<br />Total 760 100.00<br /><br />Hasil anak-anak menurut jenis makan menunjukkan bahwa sebagian besar bayi menyusui 44,74%, 35,53% adalah botol pakan dan 19,74% adalah campuran makan. (Tabel 5)<br />Table 5. Distribution of women according to type of feeding of their infants<br />Type of feeding No. %<br />breast fed 340 44.74<br />bottle fed 270 35.53<br />mixed 150 19.74<br />total 760 100.00<br />Para ibu yang menyusui anak-anak mereka selama satu jam pertama setelah melahirkan itu hanya 30,26% dan ibu yang menyusui mulai 1-8 jam setelah melahirkan adalah 31,84% (Tabel 6). Yang paling umum disajikan makanan tambahan untuk bayi dari 1-2 tahun adalah madu atau gula 92% (Tabel 7).<br />Table 6. First time mothers who breast-fed their children <br />Time of starting breast feeding No. %<br />During 1st hour after delivery 230 30.26<br />From 1-8 hours after delivery 242 31.84<br />More than 8 hours 238 31.32<br />Don't remember 50 6.58<br />Total 760 100.00<br /><br />Table 7. Type of extra-food presented to the babies aged 1-2 years<br />Type yes no Total no. of cases<br /> No. % No. % <br />water / herbal teas 259 78.48 71 21.52 330<br />semi-solid food ( gruel porridge or semolina) 330 76.74 100 23.26 330<br />fruits or juices 300 69.77 130 30.23 330<br />carrot squash, mango or papaya 232 53.95 198 46.05 330<br />leafy green vegetables (spinach) 216 50.23 214 49.77 330<br />meat or fish 190 44.19 240 55.81 330<br />lentil peanuts or beans 240 55.81 190 44.19 330<br />eggs or yogurts 342 79.53 88 20.47 330<br />honey or adding sugar 396 92.09 34 7.91 330<br />adding fat or oil 260 60.47 170 39.53 330<br /><br />Para ibu yang tahu bahwa menghindari susu botol akan tetap menyusui bayi mereka adalah 35,26%, sementara orang-orang yang percaya bahwa ASI eksklusif adalah perilaku yang benar agar mereka tetap menyusui, merupakan sekitar 28,95% (Tabel 8). <br />Hasil penelitian menunjukkan bahwa 43,95% memberi makanan kaya zat besi untuk bayi mereka, sementara 35,26% tidak tahu sama sekali tentang apa yang harus ditambahkan sesuai dengan usia anak (Tabel 9).<br /><br /><br /><br /><br />Table 8. Type of extra-food presented to the babies aged 1-2 years<br />Attitude No %<br />Does not know 132 17.37<br />exclusive breast feeding 220 28.95<br />avoid bottle feeding 268 35.26<br />frequent sucking to stimulate production 140 18.42<br />Totals 760 100.00<br /> <br />Table 9. Type of additional foods<br />Knowledge regarding food type No. %<br />Does not know 268 35.26<br />add oil to food 158 20.79<br />give food rich in Iron 334 43.95<br />Totals 760 100.00<br /><br /><br /><br /><br /><br />Hasil penelitian menunjukkan bahwa hanya 2,1% dari ibu-ibu mengetahui peran vitamin. A dan makanan apa yang mengandung bahwa vitamin (Tabel 10).<br />Table 10. Mother knowledge about the importance of Vitamin A<br />Question They know Does not know Total<br /> No. % No. % <br />Which Vitamin prevent night blindness? 16 2.11 744 97.89 760<br />Which types of food contain Vitamin A? 16 2.11 744 97.89 760<br /> <br /> <br /><br /><br />Bukti diare selama dua minggu terakhir di antara anak-anak, adalah 47,37% <br />(Table 11) . Hasil penelitian menunjukkan bahwa tinggi ibu persen (37,63%) berhenti menyusui sama sekali selama diare (Tabel 12). Sekitar 38,89% ibu memberi cairan lebih dari biasanya selama diare, sedangkan 11.11% dari mereka berhenti sama sekali <br />(Table 13) . <br />Table 11. Evidence of diarrhoea during the last two weeks among infants<br />Evidence of diarrhoea No %<br />Present 360 47.37<br />Absent 400 52.63<br />Totals 760 100.00<br /><br />Table 12. Attitude towards breastfeeding during diarrhoea<br />Evidence of breast feeding No. %<br />more than usual 156 20.53<br />same as usual 134 17.63<br />less than usual 30 3.95<br />stopped completely 286 37.63<br />child does not breast feed 26 3.42<br />does not know 128 16.84<br />totals 760 100.00<br /><br />Table 13. Provision of fluid during diarrhoea<br />Provision of fluid No. %<br />more than usual 140 38.89<br />same as usual 90 25.00<br />less than usual 60 16.67<br />stopped completely 40 11.11<br />exclusive breast feeding 30 8.33<br />totals 360 100.00<br /><br /><br />Hasil juga menunjukkan bahwa sekitar separuh dari ibu-ibu memberikan antibiotik atau ante-obat diare selama diare (52,78%), sementara 16.67% memberikan Rehidrasi Oral Therapy (ORT) hanya (Table14). Yang tinggi persen (95%) dari ibu-ibu mencari nasihat medis untuk anak-anak mereka (Tabel 15) dan tertinggi persen ibu dalam studi pergi ke rumah sakit umum - 44,44% (Tabel 16).<br />Table 14. Type of treatment during diarrhoea<br /> Type of treatment No. %<br />nothing 18 5.00<br />ORT 60 16.67<br />sugar-salt solution 22 6.11<br />cereal based ORT 30 8.33<br />infusion or other fluids 40 11.11<br />Anti-diarrhoeal medicine or antibiotics 190 52.78<br />total 360 100.00<br /><br />Table 15. Evidence of seeking advice and/or treatment for the diarrhoea<br />Evidence of seeking advice No. %<br />Present 342 95.00<br />Absent 18 5.00<br />total 360 100.00<br /><br />Table 16. Source of advice and/or treatment for the diarrhoea<br />Source of advice No. %<br />General Hospital 152 44.44<br />Health center/clinic 100 29.24<br />Private clinic/ doctor 46 13.45<br />Pharmacy 20 5.85<br />Village health worker 10 2.92<br />Traditional healer 6 1.75<br />Relatives and friends 8 2.34<br />Total 342 100.00<br /><br /> <br /> <br /> <br /> <br />Sebagian besar ibu mencari nasehat atau pengobatan untuk anak ketika sakit yang sulit bernapas, dan sebagian besar ibu-ibu membawa anak mereka ke rumah sakit umum 24,5% dan 30% untuk pusat kesehatan (Tabel 17).<br />Table 17. Source of advice and/or treatment when child is suffering from difficult breathing<br />Source of advice No. %<br />General hospital 187 42.50<br />Health center 132 30.00<br />Private clinic 42 9.50<br />Pharmacy 27 6.10<br />Village health worker 18 4.09<br />Traditional healer 12 2.72<br />Traditional birth attendant 6 1.36<br />Relatives and friends 16 3.63<br />Total 440 100.00<br /> <br /> <br /> <br />Hasilnya menunjukkan bahwa hanya sekitar 18,4% dari ibu-ibu tahu persis jumlah vaksin toksoid tetanus diperlukan selama kehamilan (Tabel 18). <br />Sebagian besar anak-anak telah diimunisasi, sekitar 82%, sementara 4% tidak tahu apakah anak-anak telah diimunisasi sama sekali (Tabel 19).<br />Table 18. Knowledge of the number of immunizations the pregnant women needs for protection<br /> Knowledge No. %<br />one 172 22.63<br />two 140 18.42<br />more than two 110 14.47<br />none 194 25.53<br />does not know 144 18.95<br />total 760 100.00<br /><br /><br />Table 19. Presence of immunization card for the child<br /> Presence of card No. %<br />Available 630 82.89<br />Not Available 130 17.11<br />Total 760 100.00<br /><br />Hasilnya menunjukkan bahwa hanya 49,2% ibu memiliki kartu ibu (Table20), dan bahwa hanya 43,8% ibu-ibu yang memiliki kartu ibu yang divaksinasi dua kali, terhadap tetanus selama kehamilan (Tabel 21).<br />Table 20. Presence of Maternal card<br />Presence of card No. %<br />Present 374 49.21<br />Absent 386 50.79<br />Total 760 100.00<br /><br />Table 21. Number of Tetanus Toxoid vaccination in the maternal card<br />Times No. %<br />one 190 50.80<br />two 164 43.85<br />none 20 5.35<br />total 374 100.00<br /><br />Sekitar 95% ibu-ibu memiliki ruang untuk mencatat kunjungan kehamilan di kartu ibu (Tabel 22), dan hanya 38% ibu memiliki satu kunjungan antenatal dicatat dalam kartu mereka (Tabel 23). Hanya 17,9% sedang hamil (Tabel 24).<br />Table 22. Presence of space to record antenatal care visits<br />Presence No. %<br />yes 356 95.19<br />no 18 4.81<br />total 374 100.00<br /><br />Table 23. Evidence of recording mother's antenatal visit<br />Evidence No. %<br />one 136 38.20<br />two or more 218 61.24<br />none 2 0.56<br />total 356 100.00<br /><br />Table 24. Evidence of current pregnancy<br /> Evidence No. %<br />Present 136 17.89<br />Absent 624 82.11<br />total 760 100.00<br /><br />Sekitar 54% ibu-ibu berharap untuk menjadi hamil dalam 2 tahun berikutnya (Table25). Penggunaan kontrasepsi adalah 86,84% (Tabel 26). Sekitar 33% ibu-ibu yang diteliti pergi ke PHCC pada trimester terakhir kehamilan (Tabel 27). <br />Table 25. Evidence of desire to become pregnant in the next 2 years<br /> Evidence No. %<br />Present 340 54.48%<br />Absent 225 36%<br />Does not know 59 9.5%<br />total 624 100.00<br /><br />Table 26. Usage of methods to avoid pregnancy (contraception)<br />Usage of contraceptives No. %<br />Present 264 86.84<br />Absent 40 13.16<br />total 304 100.00<br />Table 27. First time of visiting health professional after getting pregnant<br /> Type No. %<br />first trimester 1-3 months 154 20.26<br />middle of pregnancy 4-6 months 234 30.79<br />last trimester 7-9 months 250 32.89<br />no need to see health professional 64 8.42<br />does not now 58 7.63<br />total 760 100.00<br />Hasil penelitian menunjukkan bahwa 24,2% ibu tidak tahu makanan apa yang baik bagi wanita untuk mencegah anemia (Tabel 28).<br />Table 28. Knowledge of types of food that are beneficial for pregnant women to prevent anaemia<br /> Knowledge of type of food No. %<br />Does not know 184 24.21<br />Proteins rich in iron (egg, fish, meat) 340 44.74<br />Leafy green vegetables 236 31.05<br />total 760 100.00<br />Para ibu yang tahu jawaban yang benar mengenai berat badan selama kehamilan adalah 22,89% (Tabel 29).<br />Table 29. Knowledge of how much weight a women should gain during pregnancy<br />Knowledge of weight No. %<br />10-12 kg. 174 22.89<br />gain weight of the baby 374 49.21<br />does not know 212 27.89<br />total 760 100.00<br /> <br /> <br /><br />DISKUSI<br />Sejak tahun 1960-an, kehidupan keluarga program-program di negara-negara maju telah menghasilkan hasil yang positif dalam hal peningkatan baik pengetahuan tentang perkembangan anak dan orangtua-anak keterampilan interaksi antara keluarga, serta mengubah sikap orangtua. Program-program tersebut juga telah ditemukan untuk meningkatkan kemungkinan bahwa orangtua remaja akan kembali ke sekolah dan memperoleh pendidikan yang lebih tinggi secara signifikan. Sebagai perbandingan, ibu-ibu remaja yang belum mengikuti kelas mengasuh anak telah ditemukan untuk menunjukkan lebih banyak dependensi, isolasi yang lebih besar, kurang minat dalam kegiatan-kegiatan, lebih stres membesarkan anak-anak mereka, dan lebih banyak harapan yang tidak realistis dari anak-anak mereka (72). <br /><br />Studi Distribusi Contoh: <br />Data yang dikumpulkan telah menunjukkan bahwa mayoritas para ibu ibu rumah tangga 82,3%, dengan sebagian besar dari mereka pada kelompok umur 25-34 tahun (yakni 86,9%). Hanya sekitar 31% dari mereka mempunyai pendidikan tinggi. Data-data ini diharapkan di negara kita, terutama di provinsi kami, dan sebuah kelaziman kebiasaan pedesaan terlihat di sini-khususnya mereka yang peduli dengan perempuan yang bekerja dan meninggalkan sekolah pada awal periode kehidupan akademik. <br />Sekitar 82,8% dari ibu-ibu yang diteliti tertunda luar PHC janji yang diberikan oleh pekerja untuk kunjungan rutin mereka, yang mungkin mencerminkan = mereka minat miskin dan ketidakpedulian ibu-ibu untuk layanan PHC. Situasi politik juga dapat memainkan peran. <br />Pengetahuan dan Sikap Menyusui <br />Data dari 86 negara menunjukkan bahwa terdapat perbedaan yang sangat besar dalam praktek menyusui antar negara, antara kelompok-kelompok penduduk di dalam kabupaten, dan dalam kelompok-kelompok yang berbeda selama periode waktu (73). Sebuah tren menurun dalam menyusui telah dicatat secara luas di berbagai negara di Timur Tengah, terutama di daerah perkotaan di mana ibu-ibu dengan mengangkat status sosial ekonomi resor untuk botol-cukup makan awal (74). <br />Dalam studi saat ini, sebagian besar ibu-ibu mencicipi percaya bahwa ASI adalah makanan terbaik bagi bayi-bayi mereka dan tahu bahwa ASI memiliki banyak keuntungan untuk bayi, ibu dan keluarga, tetapi hanya sekitar 45% dari ibu-ibu memiliki sikap positif terhadap pemberian ASI, dan hanya 30% dari para ibu menyusui anak-anak mereka selama satu jam pertama kehidupan. Grover et al (75) di India juga menemukan bahwa meskipun mayoritas responden memiliki pengetahuan yang baik terhadap pemberian ASI, persentase menyusui dalam studi ini juga lebih rendah dari seharusnya, dan hanya sekitar 9,1% dari mereka disusui anak-anak mereka selama satu jam pertama kehidupan. Promosi menyusui adalah salah satu intervensi penting untuk mengurangi kematian bayi dan meningkatkan perkembangan bayi di seluruh dunia (76), dengan demikian penting untuk mendorong ibu untuk mulai menyusui sedini mungkin. Hal ini melihat dalam studi yang kami saat ini sekitar 62% ibu-ibu mulai menyusui bayinya dalam 8 jam pertama setelah melahirkan, yang setuju dengan apa Skema (77) di Libya melihat di ruang kerjanya (yaitu 65%). <br />Dalam penelitian ini, tingkat pemberian ASI eksklusif sangat rendah di antara ibu menyusui (yakni 28,9%). Li et al (76) dalam sebuah penelitian di Thailand juga memperhatikan tingkat yang relatif rendah pemberian ASI eksklusif di kalangan ibu-ibu di bawah penelitian dibandingkan dengan total jumlah ibu menyusui. Antenatal rencana untuk menyusui eksklusif dan menyusui bayi yang baru lahir di rumah sakit setelah lahir mungkin memainkan peran kunci dalam masa pemberian ASI eksklusif. Temuan ini menunjukkan pentingnya penguatan pralahir pelaksanaan pendidikan kesehatan tentang menyusui (76). <br />ASI eksklusif selama enam bulan ini semakin banyak diperlihatkan untuk menjadi pusat kesehatan bayi dan bahkan kesehatan ibu karena dampaknya pada jarak kelahiran. Penelitian sebelumnya telah terlalu sering didasarkan pada definisi yang tidak memadai pemberian ASI eksklusif, dan dengan demikian telah meremehkan pentingnya. Bahkan pemberian air glukosa segera setelah melahirkan atau memberi makan air komplementer, tidak diperlukan dan praktek-praktek berbahaya (78). <br />Penggunaan botol menyusui membuat kegagalan lebih mungkin untuk sejumlah alasan, termasuk puting kebingungan bagi bayi. Dalam studi saat ini, sekitar 35% dari ibu-ibu tahu bahwa susu botol menghindari mempromosikan pemeliharaan mereka praktek menyusui. Suplemen yang diberikan oleh cangkir tidak memenuhi kebutuhan mengisap bayi, dan ini dapat menjelaskan mengapa secara tradisional makanan pendamping ASI dari usia dini lebih mudah untuk mempertahankan bersama terus menyusui dari botol-menyusui tampaknya (79). <br />Pelengkap makanan termasuk semua makanan yang diberikan kepada anak selain susu. Jangka waktu komplementer makanan adalah sangat penting untuk kesehatan dan kesejahteraan anak. Di satu pihak, sebelum 6 bulan, ASI menawarkan perlindungan umum untuk anak-anak dari penyakit diare dan infeksi lain. Selain itu, penundaan pengenalan makanan lain menawarkan beberapa perlindungan (77) <br />Di sisi lain, setelah 4-6 bulan, pertumbuhan tidak dapat dipertahankan pada ASI saja. Menurut WHO, International Pediatric Association dan badan-badan lain, pengenalan makanan pelengkap harus dimulai pada usia 4-6 bulan (77). <br />Lebih dari 35,7% ibu-ibu dalam penelitian ini adalah menambah makanan pelengkap dari 4 bulan lebih awal dari kehidupan anak, dibandingkan dengan 17,9% dicatat oleh Skema (77) di Libya dan 87,9% dilihat oleh Saowakontha (80) di desa Thailand. Sekitar 58,6% ibu-ibu dalam penelitian ini adalah memperkenalkan suplemen sebelum usia 6 bulan, sedangkan Al-Sekait (81) telah disebutkan bahwa studi di Sudan menunjukkan sekitar 76% -91% dari ibu-ibu ada memperkenalkan suplemen sebelum usia 6 bulan. Perbedaan tinggi ini menunjukkan kesenjangan besar antara pengetahuan dan sikap ibu-ibu di daerah-daerah berbeda dari negara-negara berkembang komplementer mengenai makanan dan usaha besar yang harus dilakukan untuk mengatasi latar belakang miskin ini para ibu di wilayah ini, termasuk negara kita. <br />Tujuan dari makanan komplementer adalah mentransfer anak dari ASI ke makanan keluarga. Makanan pelengkap praktik telah disurvei di sebagian besar negara-negara Arab (82,83). Pola umum dalam studi ini sebagian besar sama seperti dalam strata sosial ekonomi yang sesuai. <br />Air, jus, semisolid makanan, telur, dan menambahkan gula dan madu merupakan suplemen yang paling umum diberikan untuk anak-anak oleh ibu-ibu dalam studi saat ini, yang setuju dengan apa yang Shembesh melihat di Libya (77), Serenius di Arab Saudi (82), dan apa Patwardan di Timur Tengah telah dilakukan (84). <br />Pengaruh budaya memainkan peran utama dalam keputusan tentang makanan yang harus diperkenalkan dan pada usia berapa (82). Sekitar 35,2% dari ibu-ibu dalam studi saat ini tidak tahu tentang apa yang harus ditambahkan tepat untuk anak di usianya, tetapi mereka mengikuti saran perempuan yang lebih tua dalam keluarga atau teman-teman mereka. Sebuah pertanyaan sederhana tentang peran vitamin A dan makanan apa yang mengandung bahwa vitamin menunjukkan bahwa hanya 2,1% dari ibu-ibu tahu jawaban yang benar, yang memberikan kita petunjuk tentang latar belakang miskin. <br />Pertumbuhan Monitoring <br />Studi baru-baru ini mengevaluasi efektivitas program pemantauan pertumbuhan telah diteliti pendidikan mereka dan kemampuan pencegahan. Pendukung mengklaim bahwa pemantauan pertumbuhan dapat efektif jika masyarakat dan ibu-ibu lebih aktif terlibat dalam proses penimbangan dan pengukuran, dan jika teknologi ini dipahami oleh semua sebagai bantuan untuk pencegahan penyakit dan promosi kesehatan bukan sebagai "kuratif" prosedur. Yang lain berpendapat bahwa teori ini jarang mungkin untuk dilaksanakan. Cara-cara di mana pemantauan pertumbuhan preventif dapat dimungkinkan masih dalam eksplorasi, mengingat bahwa alasan seperti itu sangat tertanam "kuratif" pemantauan pertumbuhan harapan tidak sepenuhnya dipahami. Pemahaman tersebut memerlukan analisis pemantauan pertumbuhan dalam konteks Gobi (pemantauan pertumbuhan, terapi rehidrasi oral, menyusui, dan imunisasi) kerangka kelangsungan hidup anak (85). <br />Setelah ini pentingnya pemantauan pertumbuhan anak-anak, persentase anak-anak (24,3%) dengan tidak ada pertumbuhan kartu pemantauan, dan persentase anak-anak (14,2%) yang tidak ditimbang sama sekali selama 4 bulan terakhir usia mereka dianggap tinggi persentase. <br />Pengetahuan Ibu dan Sikap Mengenai Diare <br />Wabah diare terus berkembang, mengakibatkan lebih dari 3 juta kematian (86). Dalam studi saat ini, sekitar setengah dari ibu mengatakan bahwa anak-anak mereka memiliki diare selama dua minggu terakhir, yang menunjukkan kepada kita seberapa besar masalah dalam masyarakat kita, terutama di musim panas. <br />Menurut pedoman WHO untuk pengelolaan diare, anti-diare, anti-amuba dan anti-bacterials memiliki peran kecil (87). Walaupun demikian, terlalu sering menggunakan agen antimikroba telah dilaporkan untuk pengelolaan kondisi diare (88). Dalam studi saat ini, walaupun sekitar 96% dari ibu mencari nasihat medis untuk anak-anak mereka dengan diare dari tenaga medis, sekitar 53% dari anak-anak mereka mengambil antimikroba untuk perawatan. Ini menunjukkan penyalahgunaan lebar antimikroba ini oleh personel medis, yang mengarah pada gilirannya untuk bertahap lonjong dalam penggunaan terapi rehidrasi oral (ORT) dari waktu ke waktu. Dalam studi saat ini, penggantian fluida untuk anak-anak dengan diare hanya dipraktekkan oleh 38,9% ibu dengan benar, yang sesuai dengan apa yang Datta et al (89) ditemukan di India (yaitu hanya sekitar 40% dari ibu yang benar memberikan ORT untuk anak-anak mereka). <br />Pendidikan kesehatan masyarakat adalah sangat penting untuk manajemen kasus yang efektif, karena memiliki potensi untuk membangun hubungan yang produktif antara layanan kesehatan dan masyarakat, untuk meningkatkan kemampuan keluarga untuk mengenali tanda-tanda bahaya diare pada anak-anak dan untuk mendorong tepat dan perawatan awal mencari perilaku (90). Sekitar 13% ibu tidak tahu apa tanda-tanda diare memerlukan perhatian medis; lainnya mencari nasihat medis segera setelah anak-anak mereka demam atau muntah. <br />Pendidikan kesehatan yang efektif hanya dapat diberikan atas dasar pemahaman yang akurat yang berlaku pengetahuan, sikap dan praktek masyarakat (90). Studi ini menunjukkan bahwa pengetahuan dan sikap ibu tidak memuaskan, karena sekitar 44% ibu-ibu yang membawa anak mereka ke rumah sakit umum segera setelah mereka melihat episode diare, dan hanya sekitar 16% dari para ibu yang memberikan lebih banyak cairan untuk mereka anak-anak, sementara kurang dari 6% itu sering memberikan makanan kecil untuk anak-anak mereka. Anehnya, sekitar 17% ibu-ibu bahkan tidak tahu apa yang harus dilakukan setelah anak-anak mereka sembuh dari diare. <br />Pengetahuan dan Sikap Ibu Tentang ARI: <br />Pengendalian infeksi pernafasan akut (ISPA) adalah besar masalah kesehatan masyarakat di negara-negara berkembang. Anak penyakit pernafasan adalah salah satu masalah besar yang mempengaruhi anak-anak di Irak dalam kelompok studi. Ini juga mengonsumsi lebih besar dari anggaran pemerintah di sektor kesehatan primer. Pelaksanaan manajemen kasus protokol memerlukan partisipasi masyarakat untuk mengurangi morbiditas dan kematian dari ARI. Program pendidikan kesehatan hanya dapat efektif bila didesain untuk memperhitungkan pengetahuan yang berlaku, sikap dan praktek (KAP) masyarakat terhadap ARI pada anak-anak mereka (91). <br />Dalam studi saat ini, ibu mengatakan bahwa lebih dari 52% dari anak-anak mereka menderita batuk dan / atau sulit bernapas dalam dua minggu terakhir. Persentase tinggi ini menunjukkan besarnya masalah ini di kota Tikrit. Semua ibu menyadari kedua gejala, tetapi ketika mereka yang positif "batuk" jawaban yang ditanya tentang perkembangan selanjutnya sulit bernapas selama sakit, delapan belas wanita (yaitu 4,5%) tidak tahu, dan 12% wanita bahkan tidak mencari nasihat medis untuk anak-anak mereka sulit bernapas, yang sesuai dengan apa yang Simiyu (91) di Kenya ditemukan, di ibu-ibu memiliki pengetahuan yang baik dalam bentuk ringan ARI tetapi tidak bentuk-bentuk yang parah. <br />Hal itu juga melihat bahwa sekitar 7% dari ibu-ibu meminta nasihat bagi anak-anak sakit mereka dari personil non-medis, dan sekitar 14,7% tidak tahu gejala-gejala utama yang seharusnya membuat mereka membawa anak-anak mereka ke rumah sakit, yang menunjukkan pengetahuan mereka yang miskin dan / atau sikap mengenai kondisi serius anak-anak mereka. Penting untuk memahami bahwa rendahnya pemanfaatan layanan kesehatan bagi ARI moderat dapat mengakibatkan kematian yang tinggi terus tertunda karena sakit parah identifikasi anak-anak. <br />KAP ARI Sebuah survei di Irak pada 1995 (92) mengungkapkan bahwa 46% dari total 900 sampel ibu tertutup, bisa mendeteksi tanda-tanda risiko infeksi ARI terkait, dengan penelitian ini menunjukkan jumlah yang lebih tinggi (sekitar 65%), yang mungkin , karena diagnosis yang lebih baik dan manajemen yang lebih baik, yang dapat menyebabkan meningkatkan pengetahuan ibu tentang ARI. <br />Namun, metode pengobatan pada 71% masih percaya pada penggunaan antibiotik dan 64% kembali ke obat batuk. Di Utara Irak, survei dilakukan di tiga Governorat Utara pada bulan Desember 1994 dengan 30-klaster survei imunisasi. Survei menunjukkan bahwa ibu tidak sepenuhnya menyadari tanda-tanda dan gejala awal infeksi pernapasan pada anak-anak mereka dan kapan harus mencari nasihat medis, seperti terlihat dalam keterbatasan pengetahuan mereka tentang pernapasan cepat sebagai indikasi ARI. Namun, pengetahuan mereka tentang pernapasan sulit sebagai indikator infeksi pernafasan akut dan menghubungkan bahwa dengan prognosis kesehatan anak-anak mereka, adalah baik (92). <br />Pengetahuan dan Sikap Ibu Tentang Imunisasi<br />Immunization is a timely step for prevention of mortality and morbidity due to communicable diseases in the 0-5 year age group. The delivery system of immunization has many inherent problems to which an addition may be made by the people themselves, with their prejudices, carelessness and apathy (93) . In the current study, a small percentage of mothers (ie 4%) were not vaccinating their children -or do not know if their children have received immunization at all, in spite of all the programs held for vaccinating young children, which emphasizes what we have mentioned above. <br />Anehnya, sekitar seperempat dari ibu-ibu tidak tahu mengapa imunisasi diberikan kepada para ibu selama kehamilan; orang lain memberikan jawaban berbeda. Juga, hanya sekitar 18,4% dari ibu-ibu tahu jawaban yang benar tentang tahap-tahap imunisasi terhadap tetanus. El-sherbini (94) di Mesir juga menemukan bahwa sekitar 25,5% ibu tidak memiliki dasar dan penting pengetahuan tentang perawatan kehamilan. Meningkatkan ibu 'pengetahuan tentang tetanus adalah penting untuk meningkatkan cakupan tetanus toksoid. Selain itu, kehamilan akan menyebabkan kontak dengan sumber-sumber tetanus toksoid dan karenanya meningkatkan kemungkinan memiliki imunisasi (95). <br />Dua pertanyaan diajukan mengenai ketersediaan ruang di kartu ibu mereka, untuk merekam peristiwa-peristiwa seperti itu, dan jumlah vaksinasi tetanus kali dilaporkan dalam kartu itu. Meskipun ada ruang untuk mencatat informasi ini, (sekitar 96% dari kartu) , hanya 43,8% dari mereka adalah ibu vaksinasi dilaporkan dua kali, yang juga menunjukkan pengetahuan dan sikap buruk tentang imunisasi toksoid tetanus. <br />Pengetahuan dan Sikap Ibu Tentang Kehamilan dan Keluarga Berencana: <br />In the current study, about 17.9% of mothers were pregnant, and 54.5% of the remaining wish to be pregnant in the next two years. Also, about 13% of females who don't want to be pregnant or who have not decided yet to be pregnant in the next two years, are not currently using contraceptive methods to avoid pregnancy. These percentages show us the poor family planning of these females. <br />In the current study, a low level of knowledge and attitude regarding family planning was found, in contrast to what Aja et al (96) in Nigeria found, The findings in their study showed a high awareness level with a moderately positive attitude, and generally a low level of practice. <br />Mengenai kunjungan perawatan kehamilan, sekitar 38% dari ibu hanya memiliki satu kehamilan kunjungan selama kehamilan terakhir, dan 2 (yaitu 0,5%) perempuan tidak punya kunjungan sama sekali. This explains the poor knowledge and attitude of mothers towards the benefits of maternal care, especially if we know that about one-third (33%) of the mothers under study attend PHC centers at the last trimester of pregnancy and not before. <br />As an example of mothers' poor knowledge, about 22.9% of mothers know that (10 -12 kg) will be gained during pregnancy, the remaining either don't know or gave a wrong response. Also, about 24% of mothers don't know what food is good for women to prevent anaemia during pregnancy; even the answers about the question regarding the amount of food taken and whether it changed during pregnancy, was disappointing. <br /><br />Mengingat fakta-fakta ini, adalah penting untuk menilai pengetahuan dan sikap dari populasi wanita yang berbeda mengenai isu-isu yang berkaitan dengan kesehatan ibu dan anak. Hal ini akan memungkinkan kita untuk menerapkan program-program yang sesuai untuk meningkatkan kesehatan perempuan dan anak-anak, dan memerangi penyebaran beberapa penyakit menular.<br /><br />KESIMPULAN DAN SARAN<br />Kesimpulan: <br />1. Only about 31% of these mothers attended high education academies. <br />2. About 82.8% were delayed beyond their appointment given by PHC workers for their routine visits, which reflected their indifference and poor interest towards PHC services. <br />3. The knowledge and attitude of mothers is, generally, not satisfactory regarding diarroheal disease for their children. <br />4. Sekitar 65% ibu-ibu dalam studi kami memiliki pengetahuan yang baik tentang tanda-tanda ini dibandingkan dengan 46% pada tahun 1995. <br />5. Poor knowledge and attitude of mothers concerning immunization against tetanus, and also regarding antenatal care. <br />Saran:<br />1. To Ministry of Health- Directory of Health Education: <br />• Promotion of breast-feeding among mothers through educating them about beneficial effects by periodic conferences. <br />• Educating the mothers about the best KAP regarding ARI, diarrhoeal disease, and perinatal care through multiple periodic conferences and mass media. <br />2. To our Colleagues in Medical Colleges: Further studies should be held to evaluate the practices of mothers regarding childhood survival. <br /><br /><br /><br /><br />REFERENSI <br />1. Khalil IF. Community Medicine: Non communicable Diseases, Biostatistics, Demography, and Health Education. Vol.2. Cairo, Cairo University/Public Health Dept., 2005. <br />2. Armstrong P. The context for Health Care Reform in Canada. In: Armstrong P. Exposing Privatization: Women and Health Care Reform in Canada. Aurora, Garamond press, 2001: pp. 11-48. <br />3. Armstrong P, and Armstrong H. Wasting away: The Undermining of Canadian Health care. Toronto, Oxford University press, 1996. <br />4. Benoit C, Caroll D, Lawr L, and Chaudhry M. Marginalized Voices from the Downtown Eastside: Aborginal Women Speak about their Health Experiences. Toronto, National Network on Environments and Women's Health, 2001. (online) Available at: http://www.yorku.ca/nnewh/english/ nnewhind.html <br /><br />5. Armstrong P. Reading Romanow: The Implications of the final Report of the commission on the future of Health Care in Canada for Women, 2003. (online) Available at: http://www.cewh-cesf.ca/healthreform/publications/summary/reading_romanow.html <br /><br />6. Benoit C, Carroll D, Laer L, and Chaudhry M. Marginalized Voices from the Downtown Eastside: Aboriginal Women Speak About Their Health Experiences. Toronto: National Network on Environments and Women's Health, 2001. (online) Available at: http://www.yorku.ca/nnewh/english/nnewhind.html <br /><br />7. Browne A, Fiske J, and Thomas G. First Nations Women's Encounters with Mainstream Health Care Services and Systems. Vancouver, Center of Excellence for Women's Health, 2000. (online) Available at: http://www.bccewh.bc.ca/Pages/pubspdflist.htm <br /><br />8. Canadian Institute for Health Information. Canada's Health Care Providers, 2001. (online) Available at: http://secure.cihi.ca/cihiweb/dispPage.jsp?cw_page=Ar_35_E <br /><br />9. Al-Kumait TM, Wafaa A, Khalil I. Evaluation of mother care in PHCC in Tikrit. Tikrit Med Journal 2004, 10(1): 38-42. <br />10. American Academy of Family Physicians. Policy and Advocacy- AAFP Polices on Health issues: Breastfeeding (position paper), 2005. (online) available at: http://www.aafp.org/x6633.xml <br /><br />11. Frantz K. Baby's position at the breast and it's relationship to sucking problems. Presented at LLLI conference, 1983 and 1985. (Medline) <br />12. Moon J. and Humenik S. Breast engorgement: contributing variables and variables amenable to nursing intervention. JOGNN, 1989; 18(4): 309-15. <br />13. De Carvalho M, et al. Frequency of breastfeeding and serum bilirubin concentration. Am J Dis Child, 1982; 136: 737-38. <br />14. Chua S, et al. Influence of breastfeeding and nipple stimulation on postpartum uterine activity. Br Job Gyn, 1994; 101: 804-05. <br />15. Yamauchi Y and Yamanouchi H. Breastfeeding frequency during the first 24 hours after birth in full-term neonates. Pediatrics, 1990; 86: 171-75. <br />16. Woolridge M, Fisher A, and Colic C. Overfeeding and symptoms of lactose malabsorption in the breast- fed baby: a possible artifact of feed management. Lancet, 1988; 2(8605): 382-84. <br />17. Righard L, et al. Breastfeeding patterns: comparing the effects on infant behavior and maternal satisfaction of using one or two breast. Birth, 1993; 20(4): 182-85. <br />18. Woolridge M, et al. Do changes in pattern of breast usage alter the baby's nutrition intake? Lancet, 1990; 336: 395-97. <br />19. Ny lander G, et al. Unsupplemented breastfeeding in the maternity ward. Acta Obst Gyn Scand, 1991; 70: 205-09. <br />20. Kurinij N and Shiono P. Early formula supplementation of breastfeeding. Pediatrics, 1991; 88: 745. <br />21. Glover J and Sandilands M. Supplementation of breastfeeding infant and weight loss in hospital. J Hum Lact, 1990; 6: 163-66. <br />22. Houston MJ, et al. The effect of extrafluid intake by breast-fed babies in hospital on duration of breastfeeding. J Ped Gastro Nutr, 1984; 1: 42- 48. <br />23. Kuhr M, and Peneth N. Feeding practices and early neonatal jaundice. J Ped Gastro Nutr, 1982; 1(4): 485-488. <br />24. Nicoll A, et al. Supplementary feeding and jaundice in newborns. Acta Pediatr Scand, 1982; 7(12): 759-61. <br />25. Host A, et al. Prospective studies of cow's milk allergy in exclusively breastfed infants. Acta Pediatr Scand, 1988; 77: 663-70. <br />26. Neifert m, and collegues and co-workers. Nipple confusion: toward a formal definition. J Pediatr, 1995; 126 (6): 125-29. <br />27. Newman J. Breastfeeding problems associated with early introduction of bottles and pacifiers. J Hum Lact, 1990; 6(2): 59-63. <br />28. Cronenwett L, et al. Single daily bottle use in the early weeks postpartum and breastfeeding outcomes. Pediatrics, 1992; 90(5): 760- 66. <br />29. Cohen R, et al. Effects of age introduction of complementary foods on infant breast milk intake, total energy intake, and growth: a randomised intervention study on Hoduras. Lancet, 1994; 344: 288-93. <br />30. Smith M, and Lifshitz F. Excess fruit juice consumption as a contributing factor in non organic failure to thrive. Pediatrics, 1994; 93(2): 438-43. <br />31. Sullivan S, Birch L. Infant Dietary Experience and Acceptance of Solid Foods. Pediatrics, 1994; 93(2): 271-77. <br />32. Taylor B. Transient IgA Deficiency and Pathogenesis of Infantile Atopy. Lancet, 1973; 2: 111-13. <br />33. Vuori E. The effect of Dietary Intake of Copper, Iron, Manganese, and Zinc on the Trace Element Content of Human Milk. Am J Clin Nutr, 1980; 33: 227-31. <br />34. Duncan B. Exclusive Breast-feeding for at Least four Months Protects against Otitis Media. Pediatrics, 1993; 91(5): 867-72. <br />35. Siimes M. Exclusive Breast-feeding for Nine Months: Risk of Iron deficiency. J Pediatr, 1984; 104: 196-99. <br />36. Hanna NN. Feeding patterns of children under 2 years old in salahuddin goverurate: A community based study. Tikrit Med journal 2004; 10(2): 16-21. <br />37. WHO, expanded program on immunization: global status report, weekly epidemiological record 1988; 60(34): 26-3. Grant JP. The state of world's children. UK: oxford University press, 1996: 68-9. <br />38. Henderson RH. Immunization update: recent recommendation from the WHO expanded program on immunization, contact, no. 82, cmc, Geneva. December 1999: 10-14. <br />39. Modore DV, Johnson CL, Phipps DC, et al. Safety and immunologic response to vaccines. Pediatrics. Pediatrics. 1997; 85: 331-7. <br />40. Peter G. Childhood immunizations. N Eng J Med, 1992; 327: 1794-1800. <br />41. Centers for Disease Control and Prevention. Health Informations for International Travel, 2001-2002. Atlanta, US Department of Health and Human Services, Public Health Services, 2001. <br />42. DeMarzo S. Initial Weight loss and Return to Birth Weight Criteria for Breastfed Infats: Challenging the "rules of thumb". Am J Dis Child, 1991; 145: 402. <br />43. Cohen R. Determinants of growth from Birth to 12 Months Breastfed Honduran Infants in Relation to Age of Introduction of Complementary foods. Pediatrics, 1995; 96(3): 504-10. <br />44. Stern D. The interpersonal world of the infant. New York, Basic Books, 1985. <br />45. Ainsworth MDS, Blehar MC, Water E, et al. Patterns of attachment: A psychological study of the strange situation. Hillsdale, Erlbaum, 1988. <br />46. Dewey k. Growth of Breastfed and formula-fed Infants from 0-18 Months: the DARLING study. Pediatrics, 1992; 89(6): 1035-41. <br />47. Dewey K. Growth Patterns of Breastfed Infants in affluent (US) and poor (Peru) Communities: Implications for timing of Complementary Feeding. AM J Clin Nutr, 1992; 56: 1012-18. <br />48. Douglas RM. The Cinderella of Communicable Diseases, in Acute Respiratory Infections in Childhood. Sydney, International Workshop Publication of University of Adelaide, 1985; 201-9 <br />49. WHO/ CDR. Introduction- Outpatient Management of Young Children with ARI. Geneva, WHO, 1995. <br />50. World Health Organization (WHO). Report on ARI. Geneva, WHO, 1995. <br />51. WHO/ ARI. Management of the Young Child with an Acute Respiratory Infections. Geneva, WHO: Supervising Skills, 1991. <br />52. Todd Jk. Infectious disease. In: Behrman RE, Kliegman RM, and Jenson HB, et al. Nelson textbook of Pediatrics. 16th ed. China , WB Saunders Company, 2000; pp. 976-1100. <br />53. Stansfiled SK, Shepard DS. Acute Respiratory Infections. In: Jamison DT, Mosley HW, and Measham AR, et al. Disease Control Priorities in Developing Countries. New York, Oxford University Press Publication, 1993; pp. 67-90. <br />54. Klugman KP. Childhood HIV Infection and Bacterial Pneumonia. International Journal of Tuberculosis and Lung Disease, 2001; 1: 15. <br />55. Kong XT, Fang HT, and Jiang GQ. Treatment of Acute Bronchiolitis in Chinese Herbs. Archives of Diseases of Childhood, 1993; 68: 468-71. <br />56. ARI Newsletter. Cigarette Smokers: A risk factors. Severing the National ARI Control Program of Egypt, 1985; 5: 3-13. <br />57. Ministry of Health (Iraq). ARI Control Program. Iraq, MOH, 2003. <br />58. WHO/ARI. Acute Respiratory Infections in Children: Facts and Figures on Acute Respiratory Infections in Children. Geneva, WHO, 1990. <br />59. Michel G, Caroline R, and Harry C. The Magnitude of Mortality from Acute Respiratory Infections In Children Under 5 Years in Developing Countries. World Health Statistics, 1992; 45: 33-45. <br />60. Wiiliams BG, Gouws E, Boschi PC, et al. Infectious Disease: Estimate of Worldwide Distribution of Child Deaths from Acute Respiratory Infections. International Publication, 2002; 25-32. <br />61. Bashour HN, Rogerr HW, and Thomas F. A community- based Study of Acute Respiratory Infection Among Preschool Children in Syria. J Trop Pediatr, 1994; 40: 207-11. <br />62. WHO/ CDR. Out Patient Management of Young Children with ARI. Epidemiology and Etiology of Acute Respiratory Infections, 1995. <br />63. Riley I. Etiology of Acute Respiratory Infections in Children in Developing countries. In: Douglas R, Kirdy E. Acute respiratory Infection in Childhood. Sydney, International Workshop Publication, 1985; 33-41. <br />64. Murray CJ, and Lopez AD. Global Comparative Assessments in the Health Sector: Disease Burden, Expenditures and Interventions Packages. Geneva, WHO, 1994; 230-241. <br />65. Schwartz B. Potential Intervention for the prevention of Childhood Pneumonia in Developing Countries: The etiology and Epidemiology of Acute Lower Respiratory Infections Among Young Children in Developing Countries. Pediatr Inf Dis J, 1995; 6: 73-82. <br />66. Al-Jassar NF. Clinic-epidemiological study of Acute Respiratory Infections (ARI) in Childrren Under 5 years of Age. The Iraqi Journal of Medical Science, 1994; 10: 200-7 <br />67. Singh MP, and Nayar SI. Magnitude of Acute Respiratory Infection in Children Undeer 5 Years. J Comm Dis, 1996; 28: 273-8. <br />68. Fisher PR. Travel with Infant and Children. Infect Dis Clin North Am, 1998; 12: 355-68. <br />69. Barwick Rs, Levy DA, Craun Gf, et al. Surveillance for Water Born Disease Outbreak- Unites States, 1997-1998. MMWR Morbiid Mortal Wkly Rep, 2000; 49: 1-35. <br />70. Center for Disease Control and Prevention. Diagnosis and Management of Food- born Illnesses: A Primer for Physicians. MMWR Morbid Mortal Wkly Rep, 2001; 50: 1-69. <br />71. ????? ????? ??? ? ???? ???? ????? ????? / ??? ??????? ??????? ???????? ???????? ?????? ?????? ???????- ??????? <br />72. Coren, E., Barlow, J., & Stewart-Brown, S. The effectiveness of individual and group-based parenting programmes in improving outcomes for teenage mothers and their children: A systematic review [Electronic version]. Journal of Adolescence, 2003; 26: 79-103. <br />73. Omer MI. Breastfeeding and weaning in sudan. Journal of tropical Pediatrics, 1987; 33: 2-12. <br />74. Balo NN, Shembesh NM, and Singh R. Maternal characteristics and infant and young child feeding in Benghazi. Eastern Mediterranean Health Journal, 1997; 2(3): 432-9. <br />75. Grover VL; Chhabra P; Aggarwal OP; Vijay L Grover; Pragti Chhabra. Knowledge, attitude and practices of Breastfeeding in a rural area of east Delhi. Health and population- perspectives and issues, 1997; 20(2): 49-56 <br />76. Li Y, Kong L, Hotta M, Wongkhomthong SA, Ushijima H. Breast-feeding in Bangkok, Thailand: current status, maternal knowledge, attitude and social support. Pediatr Int, 1999; 41(6): 648-54. <br />77. Shembesh NM, Balo NN, and Singh R. Breastfeeding and weaning pattern in Benghazi, Libyan Arab Jamahiriya. Eastern Mediterranean Health Journal. 1997; 3(2): 251-57. <br />78. Almroth, S. and Bidinger, PD. No need for water supplementation for exclusively breast-fed infants under hot and arid conditions. Transactions of the Royal Society of Tropical Hygiene and Medicine, 1990; 84:602-604. <br />79. Greiner, T. The planning, implementation and evaluation of a project to protect, support and promote breastfeeding in the Yemen Arab Republic. Ph.D. Ph.D. Dissertation. Ithaca, NY: Cornell University, 1983. <br />80. Saowakontha S, Chantraphosri V, Kampor P, et al. Breast feeding behavior and supplementary food pattern of villagers in Udon Thani Province, northeast Thailand. Southeast Asia J Trop Med Public Health, 1995; 26(1): 73-7. <br />81. Al-Sekait MA. A study of the factors influencing breast-feeding patterns in Saudi Arabia. Saudi medical journal. 1988, 9(6): 596-601. <br />82. Serenius F et al. Patterns of breast-feeding and weaning in Saudi Arabia. Acta paediatrica, 1988, 346: 121-9. <br />83. Popkin BM, Bilsborrow RF, Akin JS. Breast-feeding patterns in low income countries. Science, 1982, 218:1088-93. <br />84. Patwardhan VN, Darby WJ. Infant feeding practice. In: The state of nutrition in the Arab Middle East. Nashville: Vanderbilt University Press, 1972, 182-91. <br />85. Behague D. Growth monitoring and the promotion of breastfeeding. Soc Sci Med, 1993; 37(12): 1565- 78. <br />86. Mini S, Monika O. Diarrhea Prevention Through Food Safety Education. Indian J Pediatr, 2004; 71: 879-882. <br />87. World Health Organization (WHO). The rational use of drugs in management of acute diarrhoea in children. WHO, Geneva, 1990. <br />88. Granich R, Cantwell MF, Long K, Maldonado Y and Parsonnet J. Patterns of health seeking behavior during episodes of childhood diarrhea: a study of Tzotzil - speaking Mayans in the highlands of Chiapas, Mexico. Soc Sci Med. 1999; 48: 489-95. <br />89. Datta V, John R, Singh VP, Chaturvedi P. Maternal knowledge, attitude and practices towards diarrhea and oral rehydration therapy in rural Maharashtra. Indian J Pediatr, 2001; 68(12): 1153. <br />90. Rehan HS, Gautam K, Gurung K. Mothers Needs to Know More Reading Management of Childhood Acute Diarrhea. Indian J Prev Soc Med, 2003; 34(1): pp.2. <br />91. Simiyu De, wafula EM, Ndwati RW. Mothers' knowledge, attitudes and practices regarding acute respiratory infections in children in Baringo District, Kenya. East Afr Med J, 2003; 80(6): 303-7. <br />92. The Iraq Action Coalition. The Status of Children and Women in Iraq: A Situation Report. UNICEF, September 1995. (Medline) <br />93. Sing KK, Mathew MM, Bhalerao VR. Impact of community-based immunization services. J Postgrad Med 1986;32:131-3. <br />94. El-Sherbini AF, El-Torky MA, Ashmawy AA, Abdel-Hamed HS. Assessment of knowledge, attitudes and practices of expectant mothers in relation to antenatal care in Assiut governorate. J Egypt Public Health Assoc, 1993; 68(5-6): 539-65. <br />95. Manjunath U, Pareek RP. Maternal knowledge and perceptions aboutthe routine immunization programme--a study in a semiurban area in Rajasthan. Indian J Med Sci 2003;57:158-163. <br />96. Aja GN, Nwangwa MA, Egwn IN. Knowledge, attitude and practice of family planning in rural communities in Nigeria. Asia Pap J Public Health, 1995; 8(2): 85-90.<br /><br /><br />Sumber : http://www.mejfm.com/journal/Jan2007/mother-child.htmhabankhttp://www.blogger.com/profile/09626054388126297040noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-3909943987252109584.post-82604165383781776232010-06-01T06:16:00.000-07:002010-06-01T06:17:06.760-07:00MAKALAHTUGAS IPTEK<br />JURNAL KESEHATAN INTERNASIONAL <br />EKONOMI DAN STATUS GIZI<br /> <br /><br /><br /><br /><br /><br /> <br /><br />Disusun Oleh :<br />1. Asri Yekti Palestri ( PO 7131107006 )<br />2. Marlinda Prihantari ( PO 7131107024 )<br />3. Muthoharoh ( PO 7131107025 )<br />4. Destri Wiji Lestari ( PO 7131106086 )<br /><br />REGULER TINGKAT III<br /><br />DEPARTEMEN KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA<br />POLITEKNIK KESEHATAN YOGYAKARTA<br />JURUSAN GIZI<br />2009<br />The Influence Of Maternal Socio-Economic And Nutritional Status On Foetal Malnutrition In Nigeria<br /><br />• A multilevel analysis of the effect of household wealth inequality on under-five child under-nutrition: Evidence from the 2003 Nigeria Demographic and Health Survey <br />• Intestinal Parasitism In Rural And Urban Areas Of North Central Nigeria: An Update <br />• Pattern Of Depression And Family Support In A Nigerian Family Practice Population <br />• Anthropometric Measure And Sexual Dimorphism In Young Adult Nigerians Resident In Calabar <br />• Personal Dosimeter Use In Australian Nuclear Medicine Practice<br /><br />Olusegun Joseph Adebami FWACP <br />Department Paediatrics and Child Health<br />Ladoke Akintola University of Technology Teaching Hospital<br /><br />Gabriel Ademola Oyedeji FWACP, FRCP <br />Department of Paediatrics and Child Health<br />Obafemi Awolowo University Teaching Hospitals Complex<br /><br />Joshua Owa Aderinsola FWACP, FNMCPaed <br />Department of Paediatrics and Child Health<br />Obafemi Awolowo University Teaching Hospitals Complex<br /><br />Citation: O. J. Adebami, G. A. Oyedeji & J. O. Aderinsola : The Influence Of Maternal Socio-Economic And Nutritional Status On Foetal Malnutrition In Nigeria. . The Internet Journal of Third World Medicine. 2007 Volume 4 Number 1<br /><br />Table of Contents<br />• Introduction<br />• Methods<br />• Results<br />• Babies, Sexes, Places of antenat<br />• Social Classes of Mothers<br />• Maternal Nutritional Status<br />• Education of Mothers <br />• Occupations of Mothers <br />• Discussion<br />• Corresponding Address<br /><br />Abstract<br />Objective: To determine the role of maternal socio-economic and nutritional status in the aetiology of foetal malnutrition in Nigeria. Patients and Methods: This was a prospective study of the records of consecutive mothers who delivered singleton, term, live babies between January and August 2001 at the Wesley Guild Hospital, Ilesa, Nigeria. The socio-economic classes of the parents were determined; also the nutritional status of the mothers was determined using the body mass index (BMI). Foetal malnutrition/wasting was diagnosed using Clinical Assessment of Foetal Nutritional Status (CANS) and the score (CANSCORE) as adapted by Metcoff. 1 Babies were classified into those with foetal malnutrition (FM) and those without FM. The two groups were compared. Results: Of the 473 studied, 89 [18.8%] had FM. The BMI of the mothers ranged between 16.47 and 44.15 kg/m 2 . Twenty-five (5.4%) of the 473 mothers had low BMI (< 18.5 kg/m 2 ). The prevalence of low BMI (< 18.5 kg/m 2 ) was significantly higher among mothers whose infants had FM than in controls (72% versus 28%, χ 2 = 49.3 p = 0.0000). Significantly higher proportions of babies with foetal malnutrition were delivered by mothers of lower social groups (class IV and V) χ 2 = 7.6 p = 0.002. Thus, significantly greater numbers of babies with foetal malnutrition were delivered by mothers of the lower social group occupations for example petty trading (χ 2 =5.2, p< 0.02), subsistence farming (χ 2 = 7.0, p<0.01), messengers and similar unskilled labour jobs (χ 2 =5.2, p<0.02) compared with the higher social group occupation mothers. Conclusion: Improvement in the socio-economic and nutritional status of mothers is likely to reduce the prevalence of FM in Nigeria.<br /><br />Introduction<br />Clinical evidence of wasting in a newborn, known as foetal malnutrition (FM) indicates failure to acquire the normal quantum of or loss of fat and muscle mass during intrauterine growth. 1 Perinatal problems and/or central nervous system sequelae are known to occur in babies with FM whether they are appropriate for gestational age (AGA) or small for gestational age (SGA). 1 Adverse conditions like poverty, undernutrition, infections and infestations may promote unsatisfactory pregnancy outcome. 2,3<br />Contributions of environmental factors to the aetiology of foetal malnutrition are varied and difficult to quantify but no doubt are influential on foetal growth. Previous reports have shown evidence of direct relationship between maternal physical work and birth outcome. 4,5 In relation to gestational age, pregnancy is divided into three trimesters of about 13 weeks with each trimester having a distinct pattern of growth. 1 The last trimester is characterized by rapid foetal growth. The most rapid period of normal foetal growth is in between 12 and 36 weeks gestation. Between 32 and 36 weeks, the rate of foetal weight gain reaches its peak at 200 to 225 grams per week and declines thereafter. 1 The aim of the present study was to examine the role of maternal socio-economic class and nutrition in the development of foetal malnutrition in Nigeria. The study was conducted at the maternity and neonatal units of the Wesley Guild Hospital (WGH), Ilesa, Southwestern Nigeria. This is the main referral health institution providing general and specialist Paediatrics and maternity services to the semi-urban Ijesa community of Osun State in Southwestern Nigeria.<br /><br />Methods<br />Maternal data including name, age, hospital number, date of last menstrual period (LMP), parity, place of antenatal care (ANC), number of clinic attendances, total duration of pregnancy, duration of pregnancy at booking, maternal height, booking weight and the last weight before delivery were obtained and entered into a research proforma designed for the study.. Nutritional status of the mother was determined by calculating the body mass index (BMI). 6 The socio-economic classes of the parents were derived from the occupation and the educational levels attained by both parents as described by Oyedeji. 7 <br />Each baby was weighed nude and gestational age assessed using Dubowitz score. 8 The diagnosis of foetal malnutrition was made using a simple, rapid and quantifiable method called Clinical Assessment of Foetal Nutritional Status (CANS) and the score (CANSCORE) adapted by Metcoff. 1 CANSCORE consists of nine ‘superficial' readily detectable signs of fetal malnutrition. This was based on inspection and hands–on estimates of loss of subcutaneous tissue and muscles. Hairs, Cheeks, Neck and Chin, Arms, Back, Buttock, Legs, Chest and abdomen were examined thus and then scored. The range of score for each varied between 1 and 4. Maximum score of 4 was awarded to each parameter with no evidence of malnutrition and lowest score of 1 was awarded to parameter with the worst evidence of malnutrition. The total rating of the nine CANS sign is the CANSCORE for the subject. The CANSCORE ranges between 9 (lowest) and 36 (highest). Babies with CANSCORE below 25 were diagnosed as having FM. Babies with CANSCORE of 25 and above were regarded as normal. Mothers of babies who had no sign of FM were used as controls and the findings in cases and controls were compared.<br /><br />Results<br />Babies, Sexes, Places of antenatal care and Delivery<br />Four hundred and seventy three [473] term, singleton, live babies were studied. There were 246 [52.0%] males and 227 [48.0%] females giving a male: female ratio of 1.08:1. Gender distribution was similar in all the gestational age groups (p = 0.49). The mean gestational age for males was similar to that of females (39.11 ± 1.35 weeks versus 39.01± 1.39 weeks, t = 0.8, df = 1, p = 0.71). The distribution of mean weight and mean length of males and females in relation to gestational age is shown in Table I. The overall mean weight for the males was significantly higher than that of the females (p = 0.00001). Eighty-nine [18.8%] of the 473 babies studied fulfilled the criteria for the diagnosis of FM. The distribution of foetal malnutrition in relation to gestational age and sex is shown in Table II. Forty-three (17.5%) males and 46 [20.3%] females had features of FM, giving a male: female ratio of 1:1.09 among babies with FM. This was not a significant departure from the overall male/female ratio of 1.08:1 (p = 0.75).<br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /> Table 1: Mean weight and length of 473 babies in relation to gestational age.<br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /> Table 2: Distribution of foetal malnutrition in relation to gestational age and sex.<br /><br />Among the 473 mothers, 394 had antenatal care in various health units. These were in the Wesley Guild Hospital (321), maternity centres (32), primary health centres (25), other government hospitals (6), and private clinics (10). Twenty-two (27.8%) of the 79 mothers who did not have antenatal care had babies with FM compared with 67 (17.0%) of 394 babies of mothers who received antenatal care (χ 2 p< 0.025).<br /><br />Social Classes of Mothers<br />There were 34 mothers in social class I and 95 in class II whilst 123 were in class III; one hundred and forty five in class V and 76 in class V. Fifty (22.6%) of the babies of the 221 mothers in lower social classes IV and V had FM compared with 39 (15.5%) of the babies of the 252 mothers in social class I, II and III (χ 2 p= 0.047). Thus, 50 (56.2%) of the entire 89 babies with FM were delivered by 221 mothers in lower social classes IV and V and the remaining 39 by the 252 mothers in the higher social classes I to III. There was no baby with FM in social class I.<br /><br />Maternal Nutritional Status<br />Table III shows the comparison of maternal Body mass index (BMI) in relation to whether the babies had or did not have FM. The BMI of the mothers varied between 16.47 and 44.15 kg/m 2 Significantly higher proportion of mothers of babies with FM than of controls had BMI <18.5 kg/m 2 (χ 2 = 49.3 p<0.0001). Also, lower proportion of mothers with BMI in the overweight range (BMI greater than 25 kg/m 2 ) had babies with FM (χ 2 =19.4, p<0.0005).<br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br />Table 3: Comparison of maternal Body mass index (BMI) in relation to whether the babies had or did not have FM.<br /><br />Education of Mothers<br />Table IV shows the distribution of the babies in relation to the educational levels attained by their mothers. The prevalence of FM increased with decreasing educational levels among the mothers of babies with FM .Thus, 20(22.5%) of babies with FM belong to the mothers without formal education.<br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br />Table 4: The distribution of babies with or without FM in relation to education of the mothers.<br /><br />Occupations of Mothers<br />Table V shows the occupation of the mothers and the prevalence of FM. The main occupations were teaching, trading, public services, farming, tailoring and hairdressing. The occupations which were significantly associated with the development of FM were the lower social classes ones like petty trading (χ 2 =5.2, p< 0.02), farming (χ 2 =7.0, p<0.01) and being messengers (house-maids, cleaners, messengers in private small- scale establishments), (χ 2 =5.2, p<0.02). Mothers who engaged in large scale businesses and the professionals had significantly lower proportions of babies with FM.<br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br />Table 5: The distribution of babies with or without FM in relation to occupation of the mothers<br /><br />Discussion<br />The overall prevalence of fetal malnutrition (FM) in the present study was 18.8%. This is higher than 10.9% observed by Metcoff 1 (1994) in America but similar to the 19.6% in an Indian study 9 which used the CANSCORE method also used in the present study. The differences in the prevalence rates of FM in these communities may be due to differences in the nutritional status in communities of study. <br />Foetal malnutrition (FM), results from intrauterine difficulties in the baby and may lead to high risk delivery and perinatal problems. 1,9,10,11 It is known to affect body composition and impair brain development and behaviour in experimental animals. Cohort studies years after birth have revealed that babies with FM have significantly lower intelligence quotient (IQ) scores and performance than well-nourished infants. 11,12 Foetal malnutrition has also been found to be a predisposing factor to the development of handicaps, including spastic diplegia, seizures, visual problems, learning disabilities or mental retardation at a later years. 12,13<br />Mothers who engaged in low social group occupations viz: farming, messenger work and petty trading had significantly higher proportion of babies with FM. Often two or more adverse factors associated with lower social class may coexist. For example, the role of low socioeconomic status is intertwined with those of ignorance, the use of crude and energy sapping methods of farming, low nutritional status, inadequate rest and prolonged standing. <br />Maternal Body mass index of less than 18.5 kg/m 2 was associated with FM in the present study (p<0.0001). Low maternal BMI is caused by chronically low energy intake due to inadequate food supply at the household level. 10 Previous reports about foetal malnutrition have suggested multiple factors responsible for its aetiology. 9,11 Thus, direct relationship has been demonstrated between physical work and birth outcome. 4,14 Manual workers and mothers working standing most of the time have a higher chance of delivering SGA babies. 4 On the average, a baby born at 28 weeks gestation weighs about 1000 grams. Between 28 weeks and 40 weeks [the third trimester], the baby triples its weight. This is evidence that considerable body growth takes place during this period. 1 This however is the period when most mothers becomes busier at work after the body has adjusted to the initial symptoms of hormonal changes in pregnancy. <br />The effect of prolonged standing on the baby has been hypothesized to be a result of diversion of blood from the feto-placental unit to the active muscles during strenuous movement/activity or reduction in venous return and blood volume during standing. 4,5 Prolonged and strenuous work may also affect the nutritional intake of the mothers because many may be too busy to have adequate rest and nutrition. This may partly explain why FM was generally found to be significantly commoner among the mothers in low social class (p<0.05) in the present study. <br />There is agreement among workers that maternal undernutrition is one of the causative factors of FM. 10,15 Improving maternal nutritional status in situations of poverty and starvation will therefore improve foetal outcome and reduce the prevalence of FM. 10 We note that, dietary supplementation during pregnancy has been shown to be highly effective in improving pregnancy outcomes and reducing perinatal mortality. 15 Also, it has been shown that some mothers who smoked during pregnancy but received nutritional supplementation from mid-pregnancy period had babies who were significantly heavier than babies of smokers who were not supplemented. 4 Improvement in values of BMI has been used as an index to monitor improvement in the nutritional status of pregnant mothers undergoing such dietary supplementation. 16 Aaron et al 17 similarly reported good pregnancy outcome when food supplementation during pregnancy was carried out in the rural villages of Guatemala. Chronic infusions of glucose and / or amino acids given to pregnant women to augment impaired foetal growth or nutrients added to the amniotic fluid have been shown to have apparent improvement of foetal growth. 1,16 It is therefore believed that food supplementation (as a foetal survival strategy), may be of immense benefit to the foetuses at risk of FM. 18,19 For better results, appropriate actions to improve maternal nutrition should be commenced early by improving the nutrition of the female child and adolescent. 21 Nonetheless, FM may be encountered among some high social class mothers in executive positions who work to the last days to their time of delivery, it is much commoner among babies of the low social class and illiterate mothers.<br />In order to reduce the prevalence of FM in African societies, the improvement of the socio-economic and nutritional status of women, female education, improved agricultural practices and assistance to pregnant mothers should receive much better attention than at present.<br /><br />Corresponding Address<br />Dr. Olusegun Joseph Adebami <br />Department Paediatrics and Child Health,<br />Ladoke Akintola University of Technology Teaching Hospital,<br />Osogbo, Nigeria<br />E-mail: [segunadebami@yahoo.com] <br />Telephone: +2348037115347<br /><br />References<br />1. Metcoff J. Clinical assessment of nutritional status at birth. Fetal malnutrition and SGA are not synonymous. Pediatr Clin North Am 1994; 41: 875 - 91 (s)<br />2. Ebrahim GJ. Perinatal Priorities in Developing Countries. In: Paediatrics Practice in Developing Countries. London, Macmillian Press 1987; 194-202. (s)<br />3. Dawodu A. Neonatology in developing countries: Problems, practices and prospects.Ann Trop Paediatr 1998; 78: 573 - 79. (s)<br />4. Tafari N, Naeye RL and Gobezie A. Effects of maternal undernutrition and heavy physical work during pregnancy on birth weight. Br J Obstet Gynaecol 1980; 87: 222-26. (s)<br />5. Lenore JL, Jose V, Edgar K and Mercedes-de O. The effect of maternal work on fetal growth and duration of pregnancy: a prospective study. Br J Obstet Gynaecol; 1990; 97: 62 -70. (s)<br />6. World Health Organization consultation on obesity. Classification according to Body Mass Index [BMI]. Geneva; 1997: 6. (s)<br />7. Oyedeji GA. Socio-economic and cultural background of hospitalized children in Ilesa. Nig J Paediatr 1985; 12: 111-117. (s)<br />8. Dubowitz LMS, Dubowitz V and Goldberg C. Clinical Assessment of gestational age in the newborn infant. J Pediatr 1970; 77: 1-10. (s)<br />9. Jayant D and Rajkumar J. Study of the prevalence and high risk factors for fetal malnutrition in term newborns. Ann Trop Paediatr 1999; 19: 273 - 77 (s)<br />10. World Health Organization. The Newborn infant. In: World Health Organization Physical Status: The use and interpretation of Anthropometry. Report of a WHO Expert Committee. WHO Technical Report Services 1995; 854: 121-158. (s)<br />11. Scott KK and Usher RH. Epiphyseal development in fetal malnutrition syndrome. N Engl J Med 1964; 270: 822-24 (s)<br />12. Hill RM, Verniaud WM, Deter RL, Tennyson LM, Rettig GM, Zion TE et al. The effects of intrauterine malnutrition on the term infants. A 14-year progressive study. Acta Paediatr Scand 1984; 73: 482-487. (s)<br />13. Wynn M and Wynn A. The importance of nutrition around the time of the fetus at different stages of gestation. In: Bateman EC (ed). Applied Nutrition. London, Libby, 1981: 12-19. (s)<br />14. Oni GA. The effects of maternal age, education and parity on birth weight in a Nigerian community: The comparison of results from bivariate and multivariate analyses. J Trop Pediatr 1986; 32: 295-300. (s)<br />15. Sana Mc, Andrew MP, Timothy JC, et al. Effects on birth weight and perinatal mortality of maternal dietary supplements in rural Gambia: 5 year randomised controlled trial. BMJ 1997; 315: 786-790. (s)<br />16. Harding JE and Charlton V. Treatment of the growth - retarded fetus by augmentation of the substrate supply. Semin Perinatol 1989; 13: 211-223. (s)<br />17. Aaron L, Jean-Pierre, Herman D, Robert EK, Charles Y and Reynaldo M. Effects of food supplementation during pregnancy on birthweight. Pediatrics 1975; 56: 508-19. (s)<br />18. Apte SV and Iyengar L. Composition of the human fetus. Br J Nutr 1972; 27:305-312. (s)<br />19. Scott KK and Usher RH. Fetal malnutrition: Its incidence, causes and effects. Am J Obstet Gynaecol 1966;94: 951-63 (s)<br />20. World Health Organization. Pregnant and Lactating Women. In: World Health Organization Physical Status: The use and interpretation of Anthropometry. Report of a WHO Expert Committee. WHO Technical Report Services 1995; 854: 37-120. (s)<br /><br /><br /><br />Sumber : (http://www.ispub.com/journal/the_internet_journal_of_third_world_medicine/volume _4_number_1_53/article/the_influence_of_maternal_socio_economic_and_nutritional_status_on_foetal_malnutrition_in_nigeria.html)<br /><br /> (Diambil : Tanggal 08 September 2009, 10:36)habankhttp://www.blogger.com/profile/09626054388126297040noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-3909943987252109584.post-49192401480836169632010-06-01T06:15:00.000-07:002010-06-01T06:16:27.614-07:00MAKALAHTUGAS IPTEK<br />JURNAL INTERNASIONAL<br />PENYAKIT DAN STATUS GIZI<br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br />Disusun oleh :<br />Kelompok 7<br />ANJARISA HONESTRI (PO 7131107004 )<br />DWI YUNIARTI (PO 7131107016 )<br />ISFAH YUSRIYANTI (PO 7131107021 )<br />TSANIATUN KHASANAH (PO 7131107038 )<br /> <br /><br /><br />GIZI REGULER III<br /><br /><br /><br />DEPARTEMEN KESEHATAN RI<br />POLITEKNIK KESEHATAN YOGYAKARTA<br />JURUSAN GIZI<br />2009<br />Rekayasa sosial budaya terhadap perubahan perilaku diet dalam upaya mengatasi permasalahan gizi buruk di Indonesia<br />Oleh : Widya Ayu Puspita, SKM.,M.Kes<br /><br />Salah satu masalah sosial yang dihadapi Indonesia adalah rendahnya status gizi masyarakat. Hal ini mudah dilihat, misalnya dari berbagai masalah gizi, seperti kurang gizi, anemia gizi besi, gangguan akibat kekurangan yodium, dan kurang vitamin A. Rendahnya status gizi jelas berdampak pada kualitas sumber daya manusia. Oleh karena, status gizi memengaruhi kecerdasan, daya tahan tubuh terhadap penyakit, kematian bayi, kematian ibu, dan produktivitas kerja.<br />Program gizi yang kini telah diimplementasikan oleh pemerintah mempunyai beberapa sasaran. Pertama, menurunkan prevalensi gizi kurang pada anak balita menjadi 20 persen. Kedua, menurunkan prevalensi gangguan akibat kurang yodium (GAKY) pada anak menjadi kurang dari 5 persen. Ketiga, menurunkan anemia gizi besi pada ibu hamil menjadi 40 persen. Keempat, tidak ditemukannya kekurangan vitamin A (KVA) klinis pada anak balita dan ibu hamil. Kelima, meningkatkan jumlah rumah tangga yang mengonsumsi garam beryodium menjadi 90 persen. Keenam, tercapainya konsumsi gizi seimbang dengan rata-rata konsumsi energi sebesar 2.200 kkal per kapita per hari dan protein 50 gram per kapita per hari.<br />Indonesia harus menelan ”pil pahit” karena hanya sebagian kecil dari penduduknya yang kebutuhan gizinya tercukupi. National Socio-Economic Survey (Susenas) mencatat, pada tahun 1989 saja ada lebih dari empat juta penderita gizi buruk adalah anak-anak di bawah usia dua tahun. Padahal menurut ahli gizi, 80 persen proses pembentukan otak berlangsung pada usia 0-2 tahun.<br />Ada sekitar 7,6 juta anak balita mengalami kekurangan gizi akibat kekurangan kalori protein. Itu data yang dihimpun Susenas empat tahun lalu. Bukan tidak mungkin saat ini jumlahnya meningkat tajam karena krisis ekonomi yang berkepanjangan ditambah dengan masalah pangan yang sulit didapat. Bahkan menurut United Nations Children’s Fund (Unicef) saat ini ada sekitar 40 persen anak Indonesia di bawah usia lima tahun (balita) menderita gizi buruk. Seorang anak yang pada usia balita kekurangan gizi akan mempunyai Intellegent Quotient (IQ) lebih rendah 13-15 poin dari anak lain pada saat memasuki sekolah. Perkembangan otak anak usia balita sangat ditentukan oleh faktor makanan yang dikonsumsi. Zat gizi seperti protein, zat besi, berbagai vitamin, termasuk asam lemak omega 3 adalah pendukung kecerdasan otak anak. Zat-zat itu bisa didapat dari makanan sehari-hari seperti ikan, telur, susu, sayur-sayuran, kacang-kacangan, dan sebagainya. Singkatnya, pola makan seorang anak haruslah bervariasi, tidak hanya satu atau dua jenis saja.<br />Dari diskusi terbatas pada Oktober 2005 di Bappenas, terungkap bahwa pada tahun 2003 prevalensi gizi kurang dan buruk adalah 27,5 persen, mengindikasikan belum tercapainya sasaran (20 persen). Yang menarik, data Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas) ini agak jauh berbeda dengan data Survei Kesehatan Rumah Tangga (SKRT) 2001-2004. Dengan menggunakan acuan BB/U (berat badan menurut umur), SKRT 2001 menemukan prevalensi gizi kurang sebesar 22,5 persen dan gizi buruk 8,5 persen. Adapun data Susenas menunjukkan prevalensi gizi kurang 19,8 persen dan gizi buruk 6,3 persen. Karena itu, diperlukan harmonisasi data dengan memerhatikan keunggulan dan kelemahan pelaksanaan masing-masing survei. Hasil survei nasional tahun 1980, 1990, 1996/1998, dan 2003 menunjukkan penurunan prevalensi GAKY yang cukup berarti. Pada tahun 1980, prevalensi GAKY pada anak usia sekolah adalah 30 persen, lalu turun menjadi 27,9 (1990), selanjutnya menjadi 9,8 persen (1996/1998). Survei tahun 2003 menunjukkan, prevalensi ini sedikit meningkat menjadi 11,1 persen.<br />Usaha-usaha menurunkan prevalensi GAKY mungkin dapat dikatakan sudah on the right track. Pencapaian target GAKY biasanya terkait cakupan konsumsi garam beryodium di rumah tangga. Rumah tangga yang mengonsumsi garam beryodium secara cukup, hingga tahun 2003 adalah 73.2 persen. Jika dibandingkan dengan target tahun 2004 sebesar 90 persen, maka pencapaian sasaran adalah 81,3 persen.<br />Prevalensi anemia gizi besi (AGB) pada ibu hamil turun dari 50,9 persen (1995) menjadi 40,1 persen (2001). Dengan sasaran yang ingin dicapai 40 persen, maka pencapaian target adalah sebesar 99,75 persen. Intervensi yang dilakukan saat ini masih berkisar pada suplementasi atau pemberian tablet besi. Strategi lain masih belum dioptimalkan seperti fortifikasi besi pada makanan serta penyuluhan.<br />Banyak wanita hamil yang menderita anemia karena kebutuhan zat gizi umumnya meningkat, tetapi konsumsi makanannya tidak memenuhi syarat gizi. Selain konsumsi makanan yang tidak cukup, kondisi anemia juga diperburuk oleh kehamilan berulang dalam waktu singkat. Cadangan gizi yang belum pulih akhirnya terkuras untuk keperluan janin yang dikandung berikutnya. Itulah sebabnya, pengaturan jarak kehamilan menjadi penting untuk diperhatikan sehingga ibu siap hamil kembali tanpa harus menguras cadangan gizi.<br /><br />Meski dinyatakan bebas xerophthalmia (kurang vitamin A) pada tahun 1992, di Indonesia masih dijumpai 50 persen dari anak balita mempunyai serum retinol kurang dari 20 mcg/100 ml. Tingginya proporsi anak balita dengan serum retinol kurang dari 20 mcg/100 ml disertai pola makanan anak balita yang belum seimbang menyebabkan anak balita di Indonesia berisiko dan menjadi amat tergantung kapsul vitamin A dosis tinggi, terutama pada daerah-daerah dengan tingkat kemiskinan tinggi.<br />Masalah kekurangan vitamin A adalah bentuk kelaparan tak kentara yang sering lepas dari perhatian para pengambil kebijakan. WHO memperkirakan, pada tahun 1995 lebih kurang 250 juta anak balita di seluruh dunia menderita kurang vitamin A, 3 juta di antaranya dengan gejala kerusakan mata yang menuju kebutaan. Kira-kira 10 persen kasus orang buta di negara berkembang disebabkan kekurangan vitamin A.<br />Mereka yang buta karena kurang vitamin A sekitar 70 persennya meninggal dalam waktu satu tahun. Hasil penelitian Tarwotjo, Muhilal, dan Sommer di Sumatera tahun 1980-an yang dipublikasikan di berbagai jurnal internasional mengungkap kaitan kekurangan vitamin A dengan mortalitas dan morbiditas.<br />Angka kematian bayi terkait erat status gizi anak. Anak-anak penderita gizi kurang umumnya memiliki kekebalan tubuh yang rendah dan hal ini menjadikan dirinya rawan terhadap infeksi yang dapat menyebabkan kematian. Penyakit infeksi yang senantiasa mengintai bayi adalah diare dan infeksi saluran pernapasan.<br />Dalam hal angka kematian bayi, Indonesia (31/1.000 kelahiran) hanya lebih baik dibandingkan dengan Kamboja (97/1.000) dan Laos (82/1.000). Jika dibandingkan dengan negara-negara lain, kita masih tertinggal. Singapura dan Malaysia memiliki angka kematian bayi amat rendah, masing-masing 3 dan 7 per 1.000 kelahiran. Ini menunjukkan besarnya perhatian negara itu terhadap masalah gizi dan kesehatan yang dihadapi anak-anak.<br />Berdasarkan pada Susenas 2002, konsumsi kalori rata-rata penduduk 1.985 kkal dan 54,4 gram protein. Angka ini mendekati sasaran yang ditetapkan pemerintah. Namun, ketidakseimbangan di wilayah masih terjadi karena banyak penduduk mengonsumsi kurang dari 70 persen dari kecukupan gizi yang dianjurkan. Ini mengindikasikan, isu ketahanan pangan masih perlu diwaspadai.<br />Pada tahun 1997, WHO Expert Consultation on Obesity memperingatkan tentang meningkatnya masalah kegemukan dan obesitas di berbagai belahan dunia. Jika tidak ada tindakan untuk mengatasi masalah pandemik ini, jutaan manusia di negara maju maupun berkembang akan menghadapi risiko noncommunicable diseases (NCDs) seperti penyakit jantung koroner, hipertensi, dan stroke.<br />Disadari, banyak negara tidak memiliki data akurat mengenai masalah kegemukan dan obesitas di kalangan penduduknya. Hal ini disebabkan kurangnya prioritas untuk memahami masalah kesehatan yang amat serius ini. Apalagi negara-negara berkembang lebih memfokuskan diri pada dimensi masalah gizi kurang.<br />Berbagai indikator gizi itu menunjukkan, masih banyak pekerjaan yang harus dilakukan untuk memperbaiki kualitas SDM kita. Persoalan kualitas SDM masih ditambah masalah-masalah moral, kejujuran, kedisiplinan yang menjadikan bangsa Indonesia sulit bersaing dengan bangsa-bangsa lain. Disadari pula bahwa gizi buruk bukan hanya merupakan masalah kesehatan saja, tapi juga terkait dengan aspek ekonomi, sosial, budaya, dan politik. Sebagai landasan bersama dalam mengembangkan program-program lintas sektor yang melibatkan institusi non Pemerintah dan masyarakat secara konkrit, Kementrian Koordinator Bidang Kesejahteraan Rakyat bekerja sama dengan berbagai sektor telah menyusun Pedoman Umum Program Aksi Nasional Pengembangan Kabupaten/Kota Percontohan dalam Upaya Peningkatan Derajat Kesehatan. <br />Diposkan oleh andhika akbar di 3:16 PM <br />http://paud-usia-dini.blogspot.com/2008/06/rekayasa-sosial-budaya-terhadap.htmlhabankhttp://www.blogger.com/profile/09626054388126297040noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-3909943987252109584.post-74202900751241193052010-06-01T06:14:00.000-07:002010-06-01T06:15:37.524-07:00MAKALAHBAB I<br />PENDAHULUAN<br />Kasus stroke meningkat di Negara maju seperti Amerika dimana kegemukan dan junk food telah mewabah. Berdasarkan data statistik di Amerika, setiap tahun terjadi 750.000 kasus stroke baru di Amerika. Data tersebut menunjukan bahwa setiap 45 menit, ada satu orang di Amerika yang terkena serangan stroke.<br />Menurut Yayasan Stroke Indonesia (Yastroki), terdapat kecenderungan meningkatnya jumlah penyandang stroke di Indonesia dalam dasawarsa terakhir. Kecenderungannya menyerang generasi muda yang masih produktif. Hal ini akan berdampak terhadap menurunnya tingkat produktifitas serta dapat mengakibatkan terganggunya sosial ekonomi keluarga.<br />Tidak dapat dipungkiri bahwa peningkatan jumlah penderita stroke di Indonesia identik dengan wabah kegemukan akibat pola makan kaya lemak atau kolesterol yang melanda di seluruh dunia, tak terkecuali Indonesia.<br />Stroke di Indonesia merupakan penyakit nomor tiga yang mematikan setelah jantung dan kanker. Menurut servai tahun 2004, strole merupakan pembunuh no.1 di RS Pemerintah di seluruh penjuru Indonesia. Diperkirakan ada 500.000 penduduk yang terkena stroke, dari jumlah tersebut sepertiganya bisa kembali, sepertiga lainnya mengalami gangguan fungsional ringan sampai sedang dan sepertiga mengalami gangguan fungsional berat yang mengharuskan penderita terus menerus di tempat tidur.<br />Stroke termasuk penyakit serebrovaskuler ( pembuluh darah otak ) yang di tandai dengan kematian jaringan otak ( infark serebral ) yang terjadi kerena berkurangnya aliran darah dan oksigen ke otak. World Health Organization (WHO) mendefinisikan bahwa stroke adalah gejala-gejala deficit fungsi susunan saraf yang diakibatkan oleh penyakit pembuluh darah otak dan bukan oleh yang lain dari itu.<br /><br /><br /><br />A. PENGERTIAN STROKE<br />Stroke adalah kekurangan darah segar yang disebabkan oleh gangguan suplai darah pada sebagian otak misalnya terdapatnya timbunan plak atau pecahnya arteri (Soeharto, Iman 2001). Sedangkan menurut dr. Novie Cicielia memberikan batasan definisi stroke yaitu gangguan fungsi otak yang terjadi dengan cepat (tiba-tiba) dan berlangsung lebih dari 24 jam karena gangguan suplai darah ke otak. Gangguan suplai darah ini dapat berupa iskemia (kekurangan suplai darah) yang di akibatkan oleh thrombosis atau emboli dan pecahnya pembuluh darah ( peradangan) otak. Gangguan suplai darah ini dapat mengakibatkan kerusakan sel-sel otak, karena tidak mendapatkan oksigen dan nutrisi yang dibuthkan, sebagai akibatnya, daerah otak yang terlibat mengalami gangguan fungsi yang dapat berupa kelumpuhan separo anggota tubuh, gangguan untukmengerti dan mengucapkan perkataan, gangguan penglihatan pada salah satu mata atau kedua mata.<br /><br />B. ETIOLOGI dan PATOFISIOLOGI<br />Stroke dibagi menjadi dua jenis yaitu stroke iskemik maupun stroke hemorragik. <br />1. Stroke Iskhemik <br />Stroke iskemik menurut soeharto (2007) adalh bentuk ekstrem dari iskemik yang menyebabkan kematian sel-sel otak yang tidak dapat pulih. Kerusakan ini disebut infark otak. Etiologi pada stroke iskemik yaitu aliran darah ke otak terhenti karena aterosklerosis (penumpukan kolesterol pada dinding pembuluh darah) atau bekuan darah yang telah menyumbat. Penumpukan plak yang menyebabkan stroke iskemik berada dalam dinding pembuluh darah arteri di leher dan kepala, sedangkan apabila berada pada pembuluh koroner menyebabkan penyakit jantung koroner. Stroke iskemik apat dibedakan menjadi Trombotik dan embolik. Darah yang menggumpal di dalam pembuluh arteri di otak dapat menybabkan stroke trombolik. Sedangkan serpihan plak yang berjalan-jalan dari jantung atau arteri lain yang mengarah ke otak dapat menyebabkan stroke embolik. Oleh karena itu, bagi seseorang dengan penyakit jantung koroner, risiko mengalami stroke meningkat karena embolus dari jantung yang kurang berfungsi dengan baik dan terbawa oleh aliran darah ke otak. Hampir sebagian besar pasien atau sebesar 83% mengalami stroke jenis ini. <br />2. Stroke Hemoragi<br />Pada stroke hemorgi, pembuluh darah pecah sehingga menghambat aliran darah yang normal dan darah merembes ke dalam suatu daerah di otak dan merusaknya. Hampir 70 persen kasus stroke hemorrhagik terjadi pada penderita hipertensi. Pada stroke iskemik, penyumbatan bisa terjadi di sepanjang jalur pembuluh darah arteri yang menuju ke otak. Darah ke otak disuplai oleh dua arteria karotis interna dan dua arteri vertebralis. Arteri-arteri ini merupakan cabang dari lengkung aorta jantung. Terdapat dua jenis utama pada stroke yang mengeluarkan darah : (intracerebral hemorrhage dan (subarachnoid hemorrhage. Gangguan lain yang meliputi pendarahan di dalam tengkorak termasuk epidural dan hematomas subdural, yang biasanya disebabkan oleh luka kepala. Gangguan ini menyebabkan gejala yang berbeda dan tidak dipertimbangkan sebagai stroke.<br />Suatu ateroma (endapan lemak) bisa terbentuk di dalam pembuluh darah arteri karotis sehingga menyebabkan berkurangnya aliran darah. Keadaan ini sangat serius karena setiap pembuluh darah arteri karotis dalam keadaan normal memberikan darah ke sebagian besar otak. Endapan lemak juga bisa terlepas dari dinding arteri dan mengalir di dalam darah, kemudian menyumbat arteri yang lebih kecil. Pembuluh darah arteri karotis dan arteri vertebralis beserta percabangannya bisa juga tersumbat karena adanya bekuan darah yang berasal dari tempat lain, misalnya dari jantung atau satu katupnya. Stroke semacam ini disebut emboli serebral (emboli = sumbatan, serebral = pembuluh darah otak) yang paling sering terjadi pada penderita yang baru menjalani pembedahan jantung dan penderita kelainan katup jantung atau gangguan irama jantung (terutama fibrilasi atrium). Emboli lemak jarang menyebabkan stroke. Emboli lemak terbentuk jika lemak dari sumsum tulang yang pecah dilepaskan ke dalam aliran darah dan akhirnya bergabung di dalam sebuah arteri. <br />Stroke juga bisa terjadi bila suatu peradangan atau infeksi menyebabkan penyempitan pembuluh darah yang menuju ke otak. Obat-obatan (misalnya kokain dan amfetamin) juga bisa mempersempit pembuluh darah di otak dan menyebabkan stroke. Penurunan tekanan darah yang tiba-tiba bisa menyebabkan berkurangnya aliran darah ke otak, yang biasanya menyebabkan seseorang pingsan. Stroke bisa terjadi jika tekanan darah rendahnya sangat berat dan menahun. Hal ini terjadi jika seseorang mengalami kehilangan darah yang banyak karena cedera atau pembedahan, serangan jantung atau irama jantung yang abnormal.<br />C. FAKTOR RESIKO STROKE<br />Penyakit atau keadaan yang menyebabkan atau memperparah stroke disebut dengan Faktor Risiko Stroke. Penyakit tersebut di atas antara lain Hipertensi, Penyakit Jantung, Diabetes Mellitus, Hiperlipidemia (peninggian kadar lipid dalam darah). Keadaan yang dapat menyebabkan stroke adalah usia lanjut, obesitas, merokok, suku bangsa (negro/spanyol), jenis kelamin (pria), kurang olah raga. Usia merupakan faktor risiko stroke, semakin tua usia maka risiko terkena strokenya pun semakin tinggi. Namun, sekarang kaum usia produktif perlu waspada terhadap ancaman stroke. Pada usia produktif, stroke dapat menyerang terutama pada mereka yang gemar mengkonsumsi makanan berlemak dan narkoba (walau belum memiliki angka yang pasti). Life style alias gaya hidup selalu menjadi kambing hitam berbagai penyakit yang menyerang usia produktif. Generasi muda sering menerapkan pola makan yang tidak sehat dengan seringnya mengkonsumsi makanan siap saji yang sarat dengan lemak dan kolesterol tapi rendah serat. <br />D. GEJALA STROKE<br />Sebagian besar kasus stroke terjadi secara mendadak, sangat cepat dan menyebabkan kerusakan otak dalam beberapa menit (completed stroke). Kemudian stroke menjadi bertambah buruk dalam beberapa jam sampai 1-2 hari akibat bertambah luasnya jaringan otak yang mati (stroke in evolution). Perkembangan penyakit biasanya (tetapi tidak selalu) diselingi dengan periode stabil, dimana perluasan jaringan yang mati berhenti sementara atau terjadi beberapa perbaikan. Gejala stroke yang muncul pun tergantung dari bagian otak yang terkena.<br />Membaca isyarat stroke dapat dilakukan dengan mengamati beberapa gejala stroke berikut: <br />1. Muncul tanda- tanda kehilangan rasa atau lemah pada muka, bahu, atau kaki, terutama bila hanya terjadi pada separuh tubuh.<br />2. Kelemahan atau kelumpuhan lengan atau tungkai atau salah satu sisi tubuh.<br />3. Hilangnya sebagian penglihatan atau pendengaran.<br />4. Penglihatan ganda.<br />5. Pusing.<br />6. Bicara tidak jelas (rero). <br />7. Sulit memikirkan atau mengucapkan kata-kata yang tepat.<br />8. Tidak mampu mengenali bagian dari tubuh.<br />9. Pergerakan yang tidak biasa.<br />10. Hilangnya pengendalian terhadap kandung kemih.<br />11. Ketidakseimbangan dan terjatuh.<br />12. Pingsan.<br />Kelainan neurologis yang terjadi akibat serangan stroke bisa lebih berat atau lebih luas, berhubungan dengan koma atau stupor dan sifatnya menetap. Selain itu, stroke bisa menyebabkan depresi atau ketidakmampuan untuk mengendalikan emosi. Stroke juga bisa menyebabkan edema atau pembengkakan otak. Hal ini berbahaya karena ruang dalam tengkorak sangat terbatas. Tekanan yang timbul bisa lebih jauh merusak jaringan otak dan memperburuk kelainan neurologis, meskipun strokenya sendiri tidak bertambah luas.<br />E. Mendiagnosis Stroke<br />Diagnosis stroke biasanya ditegakkan berdasarkan perjalanan penyakit dan hasil pemeriksaan fisik. Pemeriksaan fisik dapat membantu menentukan lokasi kerusakan pada otak. Ada dua jenis teknik pemeriksaan imaging (pencitraan) untuk mengevaluasi kasus stroke atau penyakit pembuluh darah otak (Cerebrovascular Disease/CVD), yaitu Computed Tomography (CT scan) dan Magnetic Resonance Imaging (MRI). CT scan diketahui sebagai pendeteksi imaging yang paling mudah, cepat dan relatif murah untuk kasus stroke. Namun dalam beberapa hal, CT scan kurang sensitif dibanding dengan MRI, misalnya pada kasus stroke hiperakut. Untuk memperkuat diagnosis biasanya dilakukan pemeriksaan CT scan atau MRI. Kedua pemeriksaan tersebut juga bisa membantu menentukan penyebab dari stroke, apakah perdarahan atau tumor otak. Kadang dilakukan angiografi yaitu penentuan susunan pembuluh darah/getah bening melalui kapilaroskopi atau fluoroskopi.<br />F. PENANGANAN STROKE<br />1. Terapi dan pengobatan<br />Jika mengalami serangan stroke, segera dilakukan pemeriksaan untuk menentukan apakah penyebabnya bekuan darah atau perdarahan yang tidak bisa diatasi dengan obat penghancur bekuan darah. Penelitian terakhir menunjukkan bahwa kelumpuhan dan gejala lainnya bisa dicegah atau dipulihkan jika recombinant tissue plasminogen activator (RTPA) atau streptokinase yang berfungsi menghancurkan bekuan darah diberikan dalam waktu 3 jam setelah timbulnya stroke. Antikoagulan juga biasanya tidak diberikan kepada penderita tekanan darah tinggi dan tidak pernah diberikan kepada penderita dengan perdarahan otak karena akan menambah risiko terjadinya perdarahan ke dalam otak.<br />Penderita stroke biasanya diberikan oksigen dan dipasang infus untuk memasukkan cairan dan zat makanan. Pada stroke in evolution diberikan antikoagulan (misalnya heparin), tetapi obat ini tidak diberikan jika telah terjadi completed stroke. Pada completed stroke, beberapa jaringan otak telah mati. Memperbaiki aliran darah ke daerah tersebut tidak akan dapat mengembalikan fungsinya. Karena itu biasanya tidak dilakukan pembedahan. Pengangkatan sumbatan pembuluh darah yang dilakukan setelah stroke ringan atau transient ischemic attack, ternyata bisa mengurangi risiko terjadinya stroke di masa yang akan datang. Sekitar 24,5% pasien mengalami stroke berulang. Untuk mengurangi pembengkakan dan tekanan di dalam otak pada penderita stroke akut, biasanya diberikan manitol atau kortikosteroid. Penderita stroke yang sangat berat mungkin memerlukan respirator (alat bantu bernapas) untuk mempertahankan pernafasan yang adekuat. Di samping itu, perlu perhatian khusus kepada fungsi kandung kemih, saluran pencernaan dan kulit (untuk mencegah timbulnya luka di kulit karena penekanan). Stroke biasanya tidak berdiri sendiri, sehingga bila ada kelainan fisiologis yang menyertai harus diobati misalnya gagal jantung, irama jantung yang tidak teratur, tekanan darah tinggi dan infeksi paru-paru. Setelah serangan stroke, biasanya terjadi perubahan suasana hati (terutama depresi), yang bisa diatasi dengan obat-obatan atau terapi psikis.<br />2. Diit Penyakit stroke<br />Selain pengobatan dan terapi, pasien dengan penyakit stroke juga memerlukan diit yang tepat untuk mengatasi keadaannya. Tujuan diberikannya diit penyakit stroke menurut Almatsier (2005) adalah untuk :<br />1) Memberikan makanan secukupnya untuk memenuhi kebutuhan gizi pasien <br />2) Memperbaiki keadaan Stroke, seperti disfagia, pneumonia, kelainan ginjal, dan dekubitus.<br />3) Mempertahankan keseimbangan cairan dan elektrolit.<br />Sedangkan syarat-syarat diit adalah :<br />1) Energi cukup, yaitu 25-45 kkal/BB. Pada fase akut energi diberikan 1100-1500 kkal/hari.<br />2) Protein cukup, yaitu 0,8-1 g/kgBB. Apabila pasien dalam keadaan gizi kurang, protein diberikan 1,2-1,5 g/kgBB. Apabila penyakit disertai komplikasi Gagal Ginjal Kronik (GGK), protein diberikan rendah yaitu 0,6 g/kgBB.<br />3) Lemak cukup, yaitu 20-25% dari kebutuhan energi total. Utamakan sumber lemak tidak jenuh ganda, batasi sumber lemak yaitu < 10% dari kebutuhan energi total. Kolesterol dibatasi < 300 mg.<br />4) Karbohidrat cukup, yaitu 60-70 % dari kebutuhan energi total. Untuk pasien dengan Diabetes Mellitus diutamakan karbihidrat kompleks.<br />5) Vitamin cukup, terutama vitamin A, riboflavin, B6, asam folat, B12, C dan E.<br />6) Mineral cukup, terutama kalsium, magnesium dan kalium. Penggunaan natrium dibatasi dengan memberikan garam dapur maksimal 1 ½ sendok teh/ hari (setera dengan ± 5 gram garam dapur atau 2 g natrium).<br />7) Serat cukup, intik membantu menurunkan kadar kolesterol darah dan mencegah konstipasi.<br />8) Cairan cukup, yaitu 6-8 gelas/hari, kecuali pada keadaan edema dan asites, cairan dibatasi. Minuman hendaknya diberikan setelah selesai makan agar porsi makanan dapat dihabiskan. Cairan dapat dikentalkan dengan gel atau guracol.<br />9) Bentuk makanan disesuaikan dengan keadaan pasien.<br />10) Makanan diberikan dalam porsi kecil dan sering.<br /><br />3. PENGEMBANGAN TEKNOLOGI PENGOBATAN STROKE<br />Berbagai carapun dilakukan untuk mencegah dan mengobati penyakit stroke, misalnya dengan melakukan terapi stroke. Ilmuwan bioteknologi kini tengah mengembangkan pemanfataan stem cell (sel punca) sebagai salah satu cara untuk untuk mengobati berbagai penyakit yang dianggap tidak mudah disembuhkan seperti penyakit stroke, jantung diabetes dan sebagainya. Menurut Dr Arief Budi Witarto, peneliti bioteknologi dari LIPI, pemanfaatan stem cell dalam pengobatan klinis sangat memungkinkan. Karena teknologi stem cell mempunyai kemampuan untuk merubah menjadi berbagai jenis sel sehingga dapat berfungsi menggantikan sel yang rusak. “Uji klinis kini sudah mulai dilakukan di beberapa negara untuk mengobati bermacam penyakit,” ujar Arief Budi Witarto dalam Diskusi Ilmiah “Perkembangan Bioteknologi Terkini”, hasil kerjasama Fakultas Biologi UGM dan Yayasan Biooteknologi Indonesia (YMBI), di ruang seminar Fakultas Biologi, Sabtu. Selain Witarto, hadir peneliti bioteknologi perikanan UGM, Dr Ir Murwantoko MSi.<br />Riset mengenai stem cell sudah dilakukan sejak 1998 dan pada 2005 dilaporkan keberhasilannya meng-klon sel embrio manusia. Di 2007, dari hasil riset diketahui ilmuwan juga berhasil menciptakan sel punca dari sel dewasa dengan penambahan faktor-faktor protein tertentu. Bahkan di Korea, sejak 2005 telah dilakukan uji klinis terapi sel punca menggunakan sumber sel punca dewasa dari sumsum tulang belakang untuk pengobatan stroke dengan hasil begitu memuaskan. “Di Indonesia, tahun ini telah dilakukan pengobatan penyakit jantung menggunakan stem cell. Hasilnya cukup baik,” jelasnya. Meski demikian menurut Witarto, penelitian pengembangan stem cell dalam pengobatan masih memerlukan banyak penelitian lebih lanjut dalam mengungkap mekanisme perubahan sel tersebut. Sehingga dirinya berharap agar para peneliti muda di Indonesia tertantang untuk dapat terlibat aktif dalam penelitian dan pemanfaaatan teknologi baru ini. <br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br />DAFTAR PUSTAKA<br /><br />Petch, Michael.1995. Penyakit Jantung.Archan: Jakarta<br />Soeharto, iman.2001. Serangan Jantung dan Stroke. Gramedia Pustaka Utama : Jakarta<br />Soeharto, iman.2004. Serangan Jantung dan Stroke. Gramedia Pustaka Utama : Jakarta<br />http:// www.medicastore.com/stroke<br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /> <br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br />BAB I<br />PENDAHULUAN<br />Kasus stroke meningkat di Negara maju seperti Amerika dimana kegemukan dan junk food telah mewabah. Berdasarkan data statistik di Amerika, setiap tahun terjadi 750.000 kasus stroke baru di Amerika. Data tersebut menunjukan bahwa setiap 45 menit, ada satu orang di Amerika yang terkena serangan stroke.<br />Menurut Yayasan Stroke Indonesia (Yastroki), terdapat kecenderungan meningkatnya jumlah penyandang stroke di Indonesia dalam dasawarsa terakhir. Kecenderungannya menyerang generasi muda yang masih produktif. Hal ini akan berdampak terhadap menurunnya tingkat produktifitas serta dapat mengakibatkan terganggunya sosial ekonomi keluarga.<br />Tidak dapat dipungkiri bahwa peningkatan jumlah penderita stroke di Indonesia identik dengan wabah kegemukan akibat pola makan kaya lemak atau kolesterol yang melanda di seluruh dunia, tak terkecuali Indonesia.<br />Stroke di Indonesia merupakan penyakit nomor tiga yang mematikan setelah jantung dan kanker. Menurut servai tahun 2004, strole merupakan pembunuh no.1 di RS Pemerintah di seluruh penjuru Indonesia. Diperkirakan ada 500.000 penduduk yang terkena stroke, dari jumlah tersebut sepertiganya bisa kembali, sepertiga lainnya mengalami gangguan fungsional ringan sampai sedang dan sepertiga mengalami gangguan fungsional berat yang mengharuskan penderita terus menerus di tempat tidur.<br />Stroke termasuk penyakit serebrovaskuler ( pembuluh darah otak ) yang di tandai dengan kematian jaringan otak ( infark serebral ) yang terjadi kerena berkurangnya aliran darah dan oksigen ke otak. World Health Organization (WHO) mendefinisikan bahwa stroke adalah gejala-gejala deficit fungsi susunan saraf yang diakibatkan oleh penyakit pembuluh darah otak dan bukan oleh yang lain dari itu.<br /><br /><br /><br />A. PENGERTIAN STROKE<br />Stroke adalah kekurangan darah segar yang disebabkan oleh gangguan suplai darah pada sebagian otak misalnya terdapatnya timbunan plak atau pecahnya arteri (Soeharto, Iman 2001). Sedangkan menurut dr. Novie Cicielia memberikan batasan definisi stroke yaitu gangguan fungsi otak yang terjadi dengan cepat (tiba-tiba) dan berlangsung lebih dari 24 jam karena gangguan suplai darah ke otak. Gangguan suplai darah ini dapat berupa iskemia (kekurangan suplai darah) yang di akibatkan oleh thrombosis atau emboli dan pecahnya pembuluh darah ( peradangan) otak. Gangguan suplai darah ini dapat mengakibatkan kerusakan sel-sel otak, karena tidak mendapatkan oksigen dan nutrisi yang dibuthkan, sebagai akibatnya, daerah otak yang terlibat mengalami gangguan fungsi yang dapat berupa kelumpuhan separo anggota tubuh, gangguan untukmengerti dan mengucapkan perkataan, gangguan penglihatan pada salah satu mata atau kedua mata.<br /><br />B. ETIOLOGI dan PATOFISIOLOGI<br />Stroke dibagi menjadi dua jenis yaitu stroke iskemik maupun stroke hemorragik. <br />1. Stroke Iskhemik <br />Stroke iskemik menurut soeharto (2007) adalh bentuk ekstrem dari iskemik yang menyebabkan kematian sel-sel otak yang tidak dapat pulih. Kerusakan ini disebut infark otak. Etiologi pada stroke iskemik yaitu aliran darah ke otak terhenti karena aterosklerosis (penumpukan kolesterol pada dinding pembuluh darah) atau bekuan darah yang telah menyumbat. Penumpukan plak yang menyebabkan stroke iskemik berada dalam dinding pembuluh darah arteri di leher dan kepala, sedangkan apabila berada pada pembuluh koroner menyebabkan penyakit jantung koroner. Stroke iskemik apat dibedakan menjadi Trombotik dan embolik. Darah yang menggumpal di dalam pembuluh arteri di otak dapat menybabkan stroke trombolik. Sedangkan serpihan plak yang berjalan-jalan dari jantung atau arteri lain yang mengarah ke otak dapat menyebabkan stroke embolik. Oleh karena itu, bagi seseorang dengan penyakit jantung koroner, risiko mengalami stroke meningkat karena embolus dari jantung yang kurang berfungsi dengan baik dan terbawa oleh aliran darah ke otak. Hampir sebagian besar pasien atau sebesar 83% mengalami stroke jenis ini. <br />2. Stroke Hemoragi<br />Pada stroke hemorgi, pembuluh darah pecah sehingga menghambat aliran darah yang normal dan darah merembes ke dalam suatu daerah di otak dan merusaknya. Hampir 70 persen kasus stroke hemorrhagik terjadi pada penderita hipertensi. Pada stroke iskemik, penyumbatan bisa terjadi di sepanjang jalur pembuluh darah arteri yang menuju ke otak. Darah ke otak disuplai oleh dua arteria karotis interna dan dua arteri vertebralis. Arteri-arteri ini merupakan cabang dari lengkung aorta jantung. Terdapat dua jenis utama pada stroke yang mengeluarkan darah : (intracerebral hemorrhage dan (subarachnoid hemorrhage. Gangguan lain yang meliputi pendarahan di dalam tengkorak termasuk epidural dan hematomas subdural, yang biasanya disebabkan oleh luka kepala. Gangguan ini menyebabkan gejala yang berbeda dan tidak dipertimbangkan sebagai stroke.<br />Suatu ateroma (endapan lemak) bisa terbentuk di dalam pembuluh darah arteri karotis sehingga menyebabkan berkurangnya aliran darah. Keadaan ini sangat serius karena setiap pembuluh darah arteri karotis dalam keadaan normal memberikan darah ke sebagian besar otak. Endapan lemak juga bisa terlepas dari dinding arteri dan mengalir di dalam darah, kemudian menyumbat arteri yang lebih kecil. Pembuluh darah arteri karotis dan arteri vertebralis beserta percabangannya bisa juga tersumbat karena adanya bekuan darah yang berasal dari tempat lain, misalnya dari jantung atau satu katupnya. Stroke semacam ini disebut emboli serebral (emboli = sumbatan, serebral = pembuluh darah otak) yang paling sering terjadi pada penderita yang baru menjalani pembedahan jantung dan penderita kelainan katup jantung atau gangguan irama jantung (terutama fibrilasi atrium). Emboli lemak jarang menyebabkan stroke. Emboli lemak terbentuk jika lemak dari sumsum tulang yang pecah dilepaskan ke dalam aliran darah dan akhirnya bergabung di dalam sebuah arteri. <br />Stroke juga bisa terjadi bila suatu peradangan atau infeksi menyebabkan penyempitan pembuluh darah yang menuju ke otak. Obat-obatan (misalnya kokain dan amfetamin) juga bisa mempersempit pembuluh darah di otak dan menyebabkan stroke. Penurunan tekanan darah yang tiba-tiba bisa menyebabkan berkurangnya aliran darah ke otak, yang biasanya menyebabkan seseorang pingsan. Stroke bisa terjadi jika tekanan darah rendahnya sangat berat dan menahun. Hal ini terjadi jika seseorang mengalami kehilangan darah yang banyak karena cedera atau pembedahan, serangan jantung atau irama jantung yang abnormal.<br />C. FAKTOR RESIKO STROKE<br />Penyakit atau keadaan yang menyebabkan atau memperparah stroke disebut dengan Faktor Risiko Stroke. Penyakit tersebut di atas antara lain Hipertensi, Penyakit Jantung, Diabetes Mellitus, Hiperlipidemia (peninggian kadar lipid dalam darah). Keadaan yang dapat menyebabkan stroke adalah usia lanjut, obesitas, merokok, suku bangsa (negro/spanyol), jenis kelamin (pria), kurang olah raga. Usia merupakan faktor risiko stroke, semakin tua usia maka risiko terkena strokenya pun semakin tinggi. Namun, sekarang kaum usia produktif perlu waspada terhadap ancaman stroke. Pada usia produktif, stroke dapat menyerang terutama pada mereka yang gemar mengkonsumsi makanan berlemak dan narkoba (walau belum memiliki angka yang pasti). Life style alias gaya hidup selalu menjadi kambing hitam berbagai penyakit yang menyerang usia produktif. Generasi muda sering menerapkan pola makan yang tidak sehat dengan seringnya mengkonsumsi makanan siap saji yang sarat dengan lemak dan kolesterol tapi rendah serat. <br />D. GEJALA STROKE<br />Sebagian besar kasus stroke terjadi secara mendadak, sangat cepat dan menyebabkan kerusakan otak dalam beberapa menit (completed stroke). Kemudian stroke menjadi bertambah buruk dalam beberapa jam sampai 1-2 hari akibat bertambah luasnya jaringan otak yang mati (stroke in evolution). Perkembangan penyakit biasanya (tetapi tidak selalu) diselingi dengan periode stabil, dimana perluasan jaringan yang mati berhenti sementara atau terjadi beberapa perbaikan. Gejala stroke yang muncul pun tergantung dari bagian otak yang terkena.<br />Membaca isyarat stroke dapat dilakukan dengan mengamati beberapa gejala stroke berikut: <br />1. Muncul tanda- tanda kehilangan rasa atau lemah pada muka, bahu, atau kaki, terutama bila hanya terjadi pada separuh tubuh.<br />2. Kelemahan atau kelumpuhan lengan atau tungkai atau salah satu sisi tubuh.<br />3. Hilangnya sebagian penglihatan atau pendengaran.<br />4. Penglihatan ganda.<br />5. Pusing.<br />6. Bicara tidak jelas (rero). <br />7. Sulit memikirkan atau mengucapkan kata-kata yang tepat.<br />8. Tidak mampu mengenali bagian dari tubuh.<br />9. Pergerakan yang tidak biasa.<br />10. Hilangnya pengendalian terhadap kandung kemih.<br />11. Ketidakseimbangan dan terjatuh.<br />12. Pingsan.<br />Kelainan neurologis yang terjadi akibat serangan stroke bisa lebih berat atau lebih luas, berhubungan dengan koma atau stupor dan sifatnya menetap. Selain itu, stroke bisa menyebabkan depresi atau ketidakmampuan untuk mengendalikan emosi. Stroke juga bisa menyebabkan edema atau pembengkakan otak. Hal ini berbahaya karena ruang dalam tengkorak sangat terbatas. Tekanan yang timbul bisa lebih jauh merusak jaringan otak dan memperburuk kelainan neurologis, meskipun strokenya sendiri tidak bertambah luas.<br />E. Mendiagnosis Stroke<br />Diagnosis stroke biasanya ditegakkan berdasarkan perjalanan penyakit dan hasil pemeriksaan fisik. Pemeriksaan fisik dapat membantu menentukan lokasi kerusakan pada otak. Ada dua jenis teknik pemeriksaan imaging (pencitraan) untuk mengevaluasi kasus stroke atau penyakit pembuluh darah otak (Cerebrovascular Disease/CVD), yaitu Computed Tomography (CT scan) dan Magnetic Resonance Imaging (MRI). CT scan diketahui sebagai pendeteksi imaging yang paling mudah, cepat dan relatif murah untuk kasus stroke. Namun dalam beberapa hal, CT scan kurang sensitif dibanding dengan MRI, misalnya pada kasus stroke hiperakut. Untuk memperkuat diagnosis biasanya dilakukan pemeriksaan CT scan atau MRI. Kedua pemeriksaan tersebut juga bisa membantu menentukan penyebab dari stroke, apakah perdarahan atau tumor otak. Kadang dilakukan angiografi yaitu penentuan susunan pembuluh darah/getah bening melalui kapilaroskopi atau fluoroskopi.<br />F. PENANGANAN STROKE<br />1. Terapi dan pengobatan<br />Jika mengalami serangan stroke, segera dilakukan pemeriksaan untuk menentukan apakah penyebabnya bekuan darah atau perdarahan yang tidak bisa diatasi dengan obat penghancur bekuan darah. Penelitian terakhir menunjukkan bahwa kelumpuhan dan gejala lainnya bisa dicegah atau dipulihkan jika recombinant tissue plasminogen activator (RTPA) atau streptokinase yang berfungsi menghancurkan bekuan darah diberikan dalam waktu 3 jam setelah timbulnya stroke. Antikoagulan juga biasanya tidak diberikan kepada penderita tekanan darah tinggi dan tidak pernah diberikan kepada penderita dengan perdarahan otak karena akan menambah risiko terjadinya perdarahan ke dalam otak.<br />Penderita stroke biasanya diberikan oksigen dan dipasang infus untuk memasukkan cairan dan zat makanan. Pada stroke in evolution diberikan antikoagulan (misalnya heparin), tetapi obat ini tidak diberikan jika telah terjadi completed stroke. Pada completed stroke, beberapa jaringan otak telah mati. Memperbaiki aliran darah ke daerah tersebut tidak akan dapat mengembalikan fungsinya. Karena itu biasanya tidak dilakukan pembedahan. Pengangkatan sumbatan pembuluh darah yang dilakukan setelah stroke ringan atau transient ischemic attack, ternyata bisa mengurangi risiko terjadinya stroke di masa yang akan datang. Sekitar 24,5% pasien mengalami stroke berulang. Untuk mengurangi pembengkakan dan tekanan di dalam otak pada penderita stroke akut, biasanya diberikan manitol atau kortikosteroid. Penderita stroke yang sangat berat mungkin memerlukan respirator (alat bantu bernapas) untuk mempertahankan pernafasan yang adekuat. Di samping itu, perlu perhatian khusus kepada fungsi kandung kemih, saluran pencernaan dan kulit (untuk mencegah timbulnya luka di kulit karena penekanan). Stroke biasanya tidak berdiri sendiri, sehingga bila ada kelainan fisiologis yang menyertai harus diobati misalnya gagal jantung, irama jantung yang tidak teratur, tekanan darah tinggi dan infeksi paru-paru. Setelah serangan stroke, biasanya terjadi perubahan suasana hati (terutama depresi), yang bisa diatasi dengan obat-obatan atau terapi psikis.<br />2. Diit Penyakit stroke<br />Selain pengobatan dan terapi, pasien dengan penyakit stroke juga memerlukan diit yang tepat untuk mengatasi keadaannya. Tujuan diberikannya diit penyakit stroke menurut Almatsier (2005) adalah untuk :<br />1) Memberikan makanan secukupnya untuk memenuhi kebutuhan gizi pasien <br />2) Memperbaiki keadaan Stroke, seperti disfagia, pneumonia, kelainan ginjal, dan dekubitus.<br />3) Mempertahankan keseimbangan cairan dan elektrolit.<br />Sedangkan syarat-syarat diit adalah :<br />1) Energi cukup, yaitu 25-45 kkal/BB. Pada fase akut energi diberikan 1100-1500 kkal/hari.<br />2) Protein cukup, yaitu 0,8-1 g/kgBB. Apabila pasien dalam keadaan gizi kurang, protein diberikan 1,2-1,5 g/kgBB. Apabila penyakit disertai komplikasi Gagal Ginjal Kronik (GGK), protein diberikan rendah yaitu 0,6 g/kgBB.<br />3) Lemak cukup, yaitu 20-25% dari kebutuhan energi total. Utamakan sumber lemak tidak jenuh ganda, batasi sumber lemak yaitu < 10% dari kebutuhan energi total. Kolesterol dibatasi < 300 mg.<br />4) Karbohidrat cukup, yaitu 60-70 % dari kebutuhan energi total. Untuk pasien dengan Diabetes Mellitus diutamakan karbihidrat kompleks.<br />5) Vitamin cukup, terutama vitamin A, riboflavin, B6, asam folat, B12, C dan E.<br />6) Mineral cukup, terutama kalsium, magnesium dan kalium. Penggunaan natrium dibatasi dengan memberikan garam dapur maksimal 1 ½ sendok teh/ hari (setera dengan ± 5 gram garam dapur atau 2 g natrium).<br />7) Serat cukup, intik membantu menurunkan kadar kolesterol darah dan mencegah konstipasi.<br />8) Cairan cukup, yaitu 6-8 gelas/hari, kecuali pada keadaan edema dan asites, cairan dibatasi. Minuman hendaknya diberikan setelah selesai makan agar porsi makanan dapat dihabiskan. Cairan dapat dikentalkan dengan gel atau guracol.<br />9) Bentuk makanan disesuaikan dengan keadaan pasien.<br />10) Makanan diberikan dalam porsi kecil dan sering.<br /><br />3. PENGEMBANGAN TEKNOLOGI PENGOBATAN STROKE<br />Berbagai carapun dilakukan untuk mencegah dan mengobati penyakit stroke, misalnya dengan melakukan terapi stroke. Ilmuwan bioteknologi kini tengah mengembangkan pemanfataan stem cell (sel punca) sebagai salah satu cara untuk untuk mengobati berbagai penyakit yang dianggap tidak mudah disembuhkan seperti penyakit stroke, jantung diabetes dan sebagainya. Menurut Dr Arief Budi Witarto, peneliti bioteknologi dari LIPI, pemanfaatan stem cell dalam pengobatan klinis sangat memungkinkan. Karena teknologi stem cell mempunyai kemampuan untuk merubah menjadi berbagai jenis sel sehingga dapat berfungsi menggantikan sel yang rusak. “Uji klinis kini sudah mulai dilakukan di beberapa negara untuk mengobati bermacam penyakit,” ujar Arief Budi Witarto dalam Diskusi Ilmiah “Perkembangan Bioteknologi Terkini”, hasil kerjasama Fakultas Biologi UGM dan Yayasan Biooteknologi Indonesia (YMBI), di ruang seminar Fakultas Biologi, Sabtu. Selain Witarto, hadir peneliti bioteknologi perikanan UGM, Dr Ir Murwantoko MSi.<br />Riset mengenai stem cell sudah dilakukan sejak 1998 dan pada 2005 dilaporkan keberhasilannya meng-klon sel embrio manusia. Di 2007, dari hasil riset diketahui ilmuwan juga berhasil menciptakan sel punca dari sel dewasa dengan penambahan faktor-faktor protein tertentu. Bahkan di Korea, sejak 2005 telah dilakukan uji klinis terapi sel punca menggunakan sumber sel punca dewasa dari sumsum tulang belakang untuk pengobatan stroke dengan hasil begitu memuaskan. “Di Indonesia, tahun ini telah dilakukan pengobatan penyakit jantung menggunakan stem cell. Hasilnya cukup baik,” jelasnya. Meski demikian menurut Witarto, penelitian pengembangan stem cell dalam pengobatan masih memerlukan banyak penelitian lebih lanjut dalam mengungkap mekanisme perubahan sel tersebut. Sehingga dirinya berharap agar para peneliti muda di Indonesia tertantang untuk dapat terlibat aktif dalam penelitian dan pemanfaaatan teknologi baru ini. <br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br />DAFTAR PUSTAKA<br /><br />Petch, Michael.1995. Penyakit Jantung.Archan: Jakarta<br />Soeharto, iman.2001. Serangan Jantung dan Stroke. Gramedia Pustaka Utama : Jakarta<br />Soeharto, iman.2004. Serangan Jantung dan Stroke. Gramedia Pustaka Utama : Jakarta<br />http:// www.medicastore.com/stroke<br /><br /><br /><br />BAB I<br />PENDAHULUAN<br />Kasus stroke meningkat di Negara maju seperti Amerika dimana kegemukan dan junk food telah mewabah. Berdasarkan data statistik di Amerika, setiap tahun terjadi 750.000 kasus stroke baru di Amerika. Data tersebut menunjukan bahwa setiap 45 menit, ada satu orang di Amerika yang terkena serangan stroke.<br />Menurut Yayasan Stroke Indonesia (Yastroki), terdapat kecenderungan meningkatnya jumlah penyandang stroke di Indonesia dalam dasawarsa terakhir. Kecenderungannya menyerang generasi muda yang masih produktif. Hal ini akan berdampak terhadap menurunnya tingkat produktifitas serta dapat mengakibatkan terganggunya sosial ekonomi keluarga.<br />Tidak dapat dipungkiri bahwa peningkatan jumlah penderita stroke di Indonesia identik dengan wabah kegemukan akibat pola makan kaya lemak atau kolesterol yang melanda di seluruh dunia, tak terkecuali Indonesia.<br />Stroke di Indonesia merupakan penyakit nomor tiga yang mematikan setelah jantung dan kanker. Menurut servai tahun 2004, strole merupakan pembunuh no.1 di RS Pemerintah di seluruh penjuru Indonesia. Diperkirakan ada 500.000 penduduk yang terkena stroke, dari jumlah tersebut sepertiganya bisa kembali, sepertiga lainnya mengalami gangguan fungsional ringan sampai sedang dan sepertiga mengalami gangguan fungsional berat yang mengharuskan penderita terus menerus di tempat tidur.<br />Stroke termasuk penyakit serebrovaskuler ( pembuluh darah otak ) yang di tandai dengan kematian jaringan otak ( infark serebral ) yang terjadi kerena berkurangnya aliran darah dan oksigen ke otak. World Health Organization (WHO) mendefinisikan bahwa stroke adalah gejala-gejala deficit fungsi susunan saraf yang diakibatkan oleh penyakit pembuluh darah otak dan bukan oleh yang lain dari itu.<br /><br /><br /><br />A. PENGERTIAN STROKE<br />Stroke adalah kekurangan darah segar yang disebabkan oleh gangguan suplai darah pada sebagian otak misalnya terdapatnya timbunan plak atau pecahnya arteri (Soeharto, Iman 2001). Sedangkan menurut dr. Novie Cicielia memberikan batasan definisi stroke yaitu gangguan fungsi otak yang terjadi dengan cepat (tiba-tiba) dan berlangsung lebih dari 24 jam karena gangguan suplai darah ke otak. Gangguan suplai darah ini dapat berupa iskemia (kekurangan suplai darah) yang di akibatkan oleh thrombosis atau emboli dan pecahnya pembuluh darah ( peradangan) otak. Gangguan suplai darah ini dapat mengakibatkan kerusakan sel-sel otak, karena tidak mendapatkan oksigen dan nutrisi yang dibuthkan, sebagai akibatnya, daerah otak yang terlibat mengalami gangguan fungsi yang dapat berupa kelumpuhan separo anggota tubuh, gangguan untukmengerti dan mengucapkan perkataan, gangguan penglihatan pada salah satu mata atau kedua mata.<br /><br />B. ETIOLOGI dan PATOFISIOLOGI<br />Stroke dibagi menjadi dua jenis yaitu stroke iskemik maupun stroke hemorragik. <br />1. Stroke Iskhemik <br />Stroke iskemik menurut soeharto (2007) adalh bentuk ekstrem dari iskemik yang menyebabkan kematian sel-sel otak yang tidak dapat pulih. Kerusakan ini disebut infark otak. Etiologi pada stroke iskemik yaitu aliran darah ke otak terhenti karena aterosklerosis (penumpukan kolesterol pada dinding pembuluh darah) atau bekuan darah yang telah menyumbat. Penumpukan plak yang menyebabkan stroke iskemik berada dalam dinding pembuluh darah arteri di leher dan kepala, sedangkan apabila berada pada pembuluh koroner menyebabkan penyakit jantung koroner. Stroke iskemik apat dibedakan menjadi Trombotik dan embolik. Darah yang menggumpal di dalam pembuluh arteri di otak dapat menybabkan stroke trombolik. Sedangkan serpihan plak yang berjalan-jalan dari jantung atau arteri lain yang mengarah ke otak dapat menyebabkan stroke embolik. Oleh karena itu, bagi seseorang dengan penyakit jantung koroner, risiko mengalami stroke meningkat karena embolus dari jantung yang kurang berfungsi dengan baik dan terbawa oleh aliran darah ke otak. Hampir sebagian besar pasien atau sebesar 83% mengalami stroke jenis ini. <br />2. Stroke Hemoragi<br />Pada stroke hemorgi, pembuluh darah pecah sehingga menghambat aliran darah yang normal dan darah merembes ke dalam suatu daerah di otak dan merusaknya. Hampir 70 persen kasus stroke hemorrhagik terjadi pada penderita hipertensi. Pada stroke iskemik, penyumbatan bisa terjadi di sepanjang jalur pembuluh darah arteri yang menuju ke otak. Darah ke otak disuplai oleh dua arteria karotis interna dan dua arteri vertebralis. Arteri-arteri ini merupakan cabang dari lengkung aorta jantung. Terdapat dua jenis utama pada stroke yang mengeluarkan darah : (intracerebral hemorrhage dan (subarachnoid hemorrhage. Gangguan lain yang meliputi pendarahan di dalam tengkorak termasuk epidural dan hematomas subdural, yang biasanya disebabkan oleh luka kepala. Gangguan ini menyebabkan gejala yang berbeda dan tidak dipertimbangkan sebagai stroke.<br />Suatu ateroma (endapan lemak) bisa terbentuk di dalam pembuluh darah arteri karotis sehingga menyebabkan berkurangnya aliran darah. Keadaan ini sangat serius karena setiap pembuluh darah arteri karotis dalam keadaan normal memberikan darah ke sebagian besar otak. Endapan lemak juga bisa terlepas dari dinding arteri dan mengalir di dalam darah, kemudian menyumbat arteri yang lebih kecil. Pembuluh darah arteri karotis dan arteri vertebralis beserta percabangannya bisa juga tersumbat karena adanya bekuan darah yang berasal dari tempat lain, misalnya dari jantung atau satu katupnya. Stroke semacam ini disebut emboli serebral (emboli = sumbatan, serebral = pembuluh darah otak) yang paling sering terjadi pada penderita yang baru menjalani pembedahan jantung dan penderita kelainan katup jantung atau gangguan irama jantung (terutama fibrilasi atrium). Emboli lemak jarang menyebabkan stroke. Emboli lemak terbentuk jika lemak dari sumsum tulang yang pecah dilepaskan ke dalam aliran darah dan akhirnya bergabung di dalam sebuah arteri. <br />Stroke juga bisa terjadi bila suatu peradangan atau infeksi menyebabkan penyempitan pembuluh darah yang menuju ke otak. Obat-obatan (misalnya kokain dan amfetamin) juga bisa mempersempit pembuluh darah di otak dan menyebabkan stroke. Penurunan tekanan darah yang tiba-tiba bisa menyebabkan berkurangnya aliran darah ke otak, yang biasanya menyebabkan seseorang pingsan. Stroke bisa terjadi jika tekanan darah rendahnya sangat berat dan menahun. Hal ini terjadi jika seseorang mengalami kehilangan darah yang banyak karena cedera atau pembedahan, serangan jantung atau irama jantung yang abnormal.<br />C. FAKTOR RESIKO STROKE<br />Penyakit atau keadaan yang menyebabkan atau memperparah stroke disebut dengan Faktor Risiko Stroke. Penyakit tersebut di atas antara lain Hipertensi, Penyakit Jantung, Diabetes Mellitus, Hiperlipidemia (peninggian kadar lipid dalam darah). Keadaan yang dapat menyebabkan stroke adalah usia lanjut, obesitas, merokok, suku bangsa (negro/spanyol), jenis kelamin (pria), kurang olah raga. Usia merupakan faktor risiko stroke, semakin tua usia maka risiko terkena strokenya pun semakin tinggi. Namun, sekarang kaum usia produktif perlu waspada terhadap ancaman stroke. Pada usia produktif, stroke dapat menyerang terutama pada mereka yang gemar mengkonsumsi makanan berlemak dan narkoba (walau belum memiliki angka yang pasti). Life style alias gaya hidup selalu menjadi kambing hitam berbagai penyakit yang menyerang usia produktif. Generasi muda sering menerapkan pola makan yang tidak sehat dengan seringnya mengkonsumsi makanan siap saji yang sarat dengan lemak dan kolesterol tapi rendah serat. <br />D. GEJALA STROKE<br />Sebagian besar kasus stroke terjadi secara mendadak, sangat cepat dan menyebabkan kerusakan otak dalam beberapa menit (completed stroke). Kemudian stroke menjadi bertambah buruk dalam beberapa jam sampai 1-2 hari akibat bertambah luasnya jaringan otak yang mati (stroke in evolution). Perkembangan penyakit biasanya (tetapi tidak selalu) diselingi dengan periode stabil, dimana perluasan jaringan yang mati berhenti sementara atau terjadi beberapa perbaikan. Gejala stroke yang muncul pun tergantung dari bagian otak yang terkena.<br />Membaca isyarat stroke dapat dilakukan dengan mengamati beberapa gejala stroke berikut: <br />1. Muncul tanda- tanda kehilangan rasa atau lemah pada muka, bahu, atau kaki, terutama bila hanya terjadi pada separuh tubuh.<br />2. Kelemahan atau kelumpuhan lengan atau tungkai atau salah satu sisi tubuh.<br />3. Hilangnya sebagian penglihatan atau pendengaran.<br />4. Penglihatan ganda.<br />5. Pusing.<br />6. Bicara tidak jelas (rero). <br />7. Sulit memikirkan atau mengucapkan kata-kata yang tepat.<br />8. Tidak mampu mengenali bagian dari tubuh.<br />9. Pergerakan yang tidak biasa.<br />10. Hilangnya pengendalian terhadap kandung kemih.<br />11. Ketidakseimbangan dan terjatuh.<br />12. Pingsan.<br />Kelainan neurologis yang terjadi akibat serangan stroke bisa lebih berat atau lebih luas, berhubungan dengan koma atau stupor dan sifatnya menetap. Selain itu, stroke bisa menyebabkan depresi atau ketidakmampuan untuk mengendalikan emosi. Stroke juga bisa menyebabkan edema atau pembengkakan otak. Hal ini berbahaya karena ruang dalam tengkorak sangat terbatas. Tekanan yang timbul bisa lebih jauh merusak jaringan otak dan memperburuk kelainan neurologis, meskipun strokenya sendiri tidak bertambah luas.<br />E. Mendiagnosis Stroke<br />Diagnosis stroke biasanya ditegakkan berdasarkan perjalanan penyakit dan hasil pemeriksaan fisik. Pemeriksaan fisik dapat membantu menentukan lokasi kerusakan pada otak. Ada dua jenis teknik pemeriksaan imaging (pencitraan) untuk mengevaluasi kasus stroke atau penyakit pembuluh darah otak (Cerebrovascular Disease/CVD), yaitu Computed Tomography (CT scan) dan Magnetic Resonance Imaging (MRI). CT scan diketahui sebagai pendeteksi imaging yang paling mudah, cepat dan relatif murah untuk kasus stroke. Namun dalam beberapa hal, CT scan kurang sensitif dibanding dengan MRI, misalnya pada kasus stroke hiperakut. Untuk memperkuat diagnosis biasanya dilakukan pemeriksaan CT scan atau MRI. Kedua pemeriksaan tersebut juga bisa membantu menentukan penyebab dari stroke, apakah perdarahan atau tumor otak. Kadang dilakukan angiografi yaitu penentuan susunan pembuluh darah/getah bening melalui kapilaroskopi atau fluoroskopi.<br />F. PENANGANAN STROKE<br />1. Terapi dan pengobatan<br />Jika mengalami serangan stroke, segera dilakukan pemeriksaan untuk menentukan apakah penyebabnya bekuan darah atau perdarahan yang tidak bisa diatasi dengan obat penghancur bekuan darah. Penelitian terakhir menunjukkan bahwa kelumpuhan dan gejala lainnya bisa dicegah atau dipulihkan jika recombinant tissue plasminogen activator (RTPA) atau streptokinase yang berfungsi menghancurkan bekuan darah diberikan dalam waktu 3 jam setelah timbulnya stroke. Antikoagulan juga biasanya tidak diberikan kepada penderita tekanan darah tinggi dan tidak pernah diberikan kepada penderita dengan perdarahan otak karena akan menambah risiko terjadinya perdarahan ke dalam otak.<br />Penderita stroke biasanya diberikan oksigen dan dipasang infus untuk memasukkan cairan dan zat makanan. Pada stroke in evolution diberikan antikoagulan (misalnya heparin), tetapi obat ini tidak diberikan jika telah terjadi completed stroke. Pada completed stroke, beberapa jaringan otak telah mati. Memperbaiki aliran darah ke daerah tersebut tidak akan dapat mengembalikan fungsinya. Karena itu biasanya tidak dilakukan pembedahan. Pengangkatan sumbatan pembuluh darah yang dilakukan setelah stroke ringan atau transient ischemic attack, ternyata bisa mengurangi risiko terjadinya stroke di masa yang akan datang. Sekitar 24,5% pasien mengalami stroke berulang. Untuk mengurangi pembengkakan dan tekanan di dalam otak pada penderita stroke akut, biasanya diberikan manitol atau kortikosteroid. Penderita stroke yang sangat berat mungkin memerlukan respirator (alat bantu bernapas) untuk mempertahankan pernafasan yang adekuat. Di samping itu, perlu perhatian khusus kepada fungsi kandung kemih, saluran pencernaan dan kulit (untuk mencegah timbulnya luka di kulit karena penekanan). Stroke biasanya tidak berdiri sendiri, sehingga bila ada kelainan fisiologis yang menyertai harus diobati misalnya gagal jantung, irama jantung yang tidak teratur, tekanan darah tinggi dan infeksi paru-paru. Setelah serangan stroke, biasanya terjadi perubahan suasana hati (terutama depresi), yang bisa diatasi dengan obat-obatan atau terapi psikis.<br />2. Diit Penyakit stroke<br />Selain pengobatan dan terapi, pasien dengan penyakit stroke juga memerlukan diit yang tepat untuk mengatasi keadaannya. Tujuan diberikannya diit penyakit stroke menurut Almatsier (2005) adalah untuk :<br />1) Memberikan makanan secukupnya untuk memenuhi kebutuhan gizi pasien <br />2) Memperbaiki keadaan Stroke, seperti disfagia, pneumonia, kelainan ginjal, dan dekubitus.<br />3) Mempertahankan keseimbangan cairan dan elektrolit.<br />Sedangkan syarat-syarat diit adalah :<br />1) Energi cukup, yaitu 25-45 kkal/BB. Pada fase akut energi diberikan 1100-1500 kkal/hari.<br />2) Protein cukup, yaitu 0,8-1 g/kgBB. Apabila pasien dalam keadaan gizi kurang, protein diberikan 1,2-1,5 g/kgBB. Apabila penyakit disertai komplikasi Gagal Ginjal Kronik (GGK), protein diberikan rendah yaitu 0,6 g/kgBB.<br />3) Lemak cukup, yaitu 20-25% dari kebutuhan energi total. Utamakan sumber lemak tidak jenuh ganda, batasi sumber lemak yaitu < 10% dari kebutuhan energi total. Kolesterol dibatasi < 300 mg.<br />4) Karbohidrat cukup, yaitu 60-70 % dari kebutuhan energi total. Untuk pasien dengan Diabetes Mellitus diutamakan karbihidrat kompleks.<br />5) Vitamin cukup, terutama vitamin A, riboflavin, B6, asam folat, B12, C dan E.<br />6) Mineral cukup, terutama kalsium, magnesium dan kalium. Penggunaan natrium dibatasi dengan memberikan garam dapur maksimal 1 ½ sendok teh/ hari (setera dengan ± 5 gram garam dapur atau 2 g natrium).<br />7) Serat cukup, intik membantu menurunkan kadar kolesterol darah dan mencegah konstipasi.<br />8) Cairan cukup, yaitu 6-8 gelas/hari, kecuali pada keadaan edema dan asites, cairan dibatasi. Minuman hendaknya diberikan setelah selesai makan agar porsi makanan dapat dihabiskan. Cairan dapat dikentalkan dengan gel atau guracol.<br />9) Bentuk makanan disesuaikan dengan keadaan pasien.<br />10) Makanan diberikan dalam porsi kecil dan sering.<br /><br />3. PENGEMBANGAN TEKNOLOGI PENGOBATAN STROKE<br />Berbagai carapun dilakukan untuk mencegah dan mengobati penyakit stroke, misalnya dengan melakukan terapi stroke. Ilmuwan bioteknologi kini tengah mengembangkan pemanfataan stem cell (sel punca) sebagai salah satu cara untuk untuk mengobati berbagai penyakit yang dianggap tidak mudah disembuhkan seperti penyakit stroke, jantung diabetes dan sebagainya. Menurut Dr Arief Budi Witarto, peneliti bioteknologi dari LIPI, pemanfaatan stem cell dalam pengobatan klinis sangat memungkinkan. Karena teknologi stem cell mempunyai kemampuan untuk merubah menjadi berbagai jenis sel sehingga dapat berfungsi menggantikan sel yang rusak. “Uji klinis kini sudah mulai dilakukan di beberapa negara untuk mengobati bermacam penyakit,” ujar Arief Budi Witarto dalam Diskusi Ilmiah “Perkembangan Bioteknologi Terkini”, hasil kerjasama Fakultas Biologi UGM dan Yayasan Biooteknologi Indonesia (YMBI), di ruang seminar Fakultas Biologi, Sabtu. Selain Witarto, hadir peneliti bioteknologi perikanan UGM, Dr Ir Murwantoko MSi.<br />Riset mengenai stem cell sudah dilakukan sejak 1998 dan pada 2005 dilaporkan keberhasilannya meng-klon sel embrio manusia. Di 2007, dari hasil riset diketahui ilmuwan juga berhasil menciptakan sel punca dari sel dewasa dengan penambahan faktor-faktor protein tertentu. Bahkan di Korea, sejak 2005 telah dilakukan uji klinis terapi sel punca menggunakan sumber sel punca dewasa dari sumsum tulang belakang untuk pengobatan stroke dengan hasil begitu memuaskan. “Di Indonesia, tahun ini telah dilakukan pengobatan penyakit jantung menggunakan stem cell. Hasilnya cukup baik,” jelasnya. Meski demikian menurut Witarto, penelitian pengembangan stem cell dalam pengobatan masih memerlukan banyak penelitian lebih lanjut dalam mengungkap mekanisme perubahan sel tersebut. Sehingga dirinya berharap agar para peneliti muda di Indonesia tertantang untuk dapat terlibat aktif dalam penelitian dan pemanfaaatan teknologi baru ini. <br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br />DAFTAR PUSTAKA<br /><br />Petch, Michael.1995. Penyakit Jantung.Archan: Jakarta<br />Soeharto, iman.2001. Serangan Jantung dan Stroke. Gramedia Pustaka Utama : Jakarta<br />Soeharto, iman.2004. Serangan Jantung dan Stroke. Gramedia Pustaka Utama : Jakarta<br />http:// www.medicastore.comhabankhttp://www.blogger.com/profile/09626054388126297040noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-3909943987252109584.post-84553081522900565982010-06-01T06:12:00.002-07:002010-06-01T06:13:55.361-07:00MAKALAHA. Pengertian<br />Penyakit osteoporosis sering disebut sebagai silent disease karena proses kepadatan tulang berkurang secara perlahan (terutama pada penderita osteoporosis senilis) dan berlangsung secara progresif selama bertahun-tahun tanpa kita sadari dan tanpa disertai adanya gejala. Tulang terdiri dari mineral - mineral seperti kalsium dan fosfat, sehingga tulang menjadi keras dan padat. Untuk mempertahankan kepadatan tulang, tubuh memerlukan persediaan kalsium dan mineral lainnya yang memadai, dan harus menghasilkan hormon dalam jumlah yang mencukupi (hormon paratiroid, hormon pertumbuhan, kalsitonin, estrogen pada wanita dan testosteron pada pria). Juga persediaan vitamin D yang adekuat, yang diperlukan untuk menyerap kalsium dari makanan dan memasukkan ke dalam tulang. Secara progresif, tulang meningkatkan kepadatannya sampai tercapai kepadatan maksimal (sekitar usia 30 tahun). Setelah itu kepadatan tulang akan berkurang secara perlahan.Jika tubuh tidak mampu mengatur kandungan mineral dalam tulang, maka tulang menjadi kurang padat dan lebih rapuh, sehingga terjadilah osteoporosis.<br />US Department of Health and Human Services pada tahun 2004 melaporkan bahwa hingga tahun 2020 bila tidak ada penangan serius diperkirakan setengah dari jumlah penduduk AS akan terkena osteoporosis. Di Indonesia, hasil analisa Depkes di 14 propinsi sebagaimana dimuat oleh IDI Online melaporkan bahwa penderita osteoporosis telah mencapai sekitar 19,7 persen dari jumlah lansia yang ada. Oleh karena itu tanggal 20 September hingga 20 Oktober 2005 dicanangkan oleh Menteri Kesehatan sebagai Bulan Osteoporosis Nasional. <br />Sekitar 80% persen penderita penyakit osteoporosis adalah wanita, termasuk wanita muda yang mengalami penghentian siklus menstruasi (amenorrhea). Hilangnya hormon estrogen setelah menopause meningkatkan risiko terkena osteoporosis. Prevalensi osteoporosis untuk umur kurang dari 70 tahun untuk wanita sebanyak 18-36%, sedangkan pria 20-27%, untuk umur di atas 70 tahun untuk wanita 53,6%, pria 38%. Lebih dari 50% keretakan osteoporosis pinggang di seluruh dunia kemungkinan terjadi di Asia pada 2050. (Yayasan Osteoporosis Internasional). Mereka yang terserang rata-rata berusia di atas 50 tahun. (Yayasan Osteoporosis Internasional). Satu dari tiga perempuan dan satu dari lima pria di Indonesia terserang osteoporosis atau keretakan tulang. (Yayasan Osteoporosis Internasional).Dua dari lima orang Indonesia memiliki risiko terkena penyakit osteoporosis. (DEPKES, 2006). Jumlah penderita osteoporosis di Indonesia jauh lebih besar dari data terakhir Depkes, yang mematok angka 19,7% dari seluruh penduduk dengan alasan perokok di negeri ini urutan ke-2 dunia setelah China. <br /><br /><br />B. Etiologi<br />Penyebab Osteoporosis dan Faktor Risiko Osteoporosis<br />1. Osteoporosis postmenopausal terjadi karena kekurangan estrogen (hormon utama pada wanita), yang membantu mengatur pengangkutan kalsium ke dalam tulang pada wanita.<br />Biasanya gejala timbul pada wanita yang berusia di antara 51-75 tahun, tetapi bisa mulai muncul lebih cepat ataupun lebih lambat.<br />Tidak semua wanita memiliki risiko yang sama untuk menderita osteoporosis postmenopausal, wanita kulit putih dan daerah timur lebih mudah menderita penyakit ini daripada wanita kulit hitam.<br />2. Osteoporosis senilis kemungkinan merupakan akibat dari kekurangan kalsium yang berhubungan dengan usia dan ketidakseimbangan diantara kecepatan hancurnya tulang dan pembentukan tulang yang baru.<br />Senilis berarti bahwa keadaan ini hanya terjadi pada usia lanjut. Penyakit ini biasanya terjadi pada usia diatas 70 tahun dan 2 kali lebih sering menyerang wanita. Wanita seringkali menderita osteoporosis senilis dan postmenopausal.<br />3. Osteoporosis sekunder dialami kurang dari 5% penderita osteoporosis, yang disebabkan oleh keadaan medis lainnya atau oleh obat-obatan.<br />Penyakit osteoporosis bisa disebabkan oleh gagal ginjal kronis dan kelainan hormonal (terutama tiroid, paratiroid dan adrenal) dan obat-obatan (misalnya kortikosteroid, barbiturat, anti-kejang dan hormon tiroid yang berlebihan).<br />Pemakaian alkohol yang berlebihan dan merokok bisa memperburuk keadaan osteoporosis.<br />4. Osteoporosis juvenil idiopatik merupakan jenis osteoporosis yang penyebabnya tidak diketahui.<br />Hal ini terjadi pada anak-anak dan dewasa muda yang memiliki kadar dan fungsi hormon yang normal, kadar vitamin yang normal dan tidak memiliki penyebab yang jelas dari rapuhnya tulang.<br /><br />Faktor Risiko Osteoporosis<br />1. Wanita<br />Osteoporosis lebih banyak terjadi pada wanita. Hal ini disebabkan pengaruh hormon estrogen yang mulai menurun kadarnya dalam tubuh sejak usia 35 tahun. Selain itu, wanita pun mengalami menopause yang dapat terjadi pada usia 45 tahun.<br />2. Usia<br />Seiring dengan pertambahan usia, fungsi organ tubuh justru menurun. Pada usia 75-85 tahun, wanita memiliki risiko 2 kali lipat dibandingkan pria dalam mengalami kehilangan tulang trabekular karena proses penuaan, penyerapan kalsium menurun dan fungsi hormon paratiroid meningkat.<br />3. Ras/Suku<br />Ras juga membuat perbedaan dimana ras kulit putih atau keturunan asia memiliki risiko terbesar. Hal ini disebabkan secara umum konsumsi kalsium wanita asia rendah. Salah satu alasannya adalah sekitar 90% intoleransi laktosa dan menghindari produk dari hewan. Pria dan wanita kulit hitam dan hispanik memiliki risiko yang signifikan meskipun rendah.<br />4. Keturunan Penderita osteoporosi<br />jika ada anggota keluarga yang menderita osteoporosis, maka berhati-hatilah. Osteoporosis menyerang penderita dengan karakteristik tulang tertentu. Seperti kesamaan perawakan dan bentuk tulang tubuh. Itu artinya dalam garis keluarga pasti punya struktur genetik tulang yang sama.<br />5. Gaya Hidup Kurang Baik<br />• Konsumsi daging merah dan minuman bersoda, karena keduanya mengandung fosfor yang merangsang pembentukan horman parathyroid, penyebab pelepasan kalsium dari dalam darah.<br />• Minuman berkafein dan beralkohol.<br />Minuman berkafein seperti kopi dan alkohol juga dapat menimbulkan tulang keropos, rapuh dan rusak. Hal ini dipertegas oleh Dr.Robert Heany dan Dr. Karen Rafferty dari creighton University Osteoporosis Research Centre di Nebraska yang menemukan hubungan antara minuman berkafein dengan keroposnya tulang. Hasilnya adalah bahwa air seni peminum kafein lebih banyak mengandung kalsium, dan kalsium itu berasal dari proses pembentukan tulang. Selain itu kafein dan alkohol bersifat toksin yang menghambat proses pembentukan massa tulang (osteoblas).<br />• Malas Olahraga<br />Wanita yang malas bergerak atau olahraga akan terhambat proses osteoblasnya (proses pembentukan massa tulang). Selain itu kepadatan massa tulang akan berkurang. Semakin banyak gerak dan olahraga maka otot akan memacu tulang untuk membentuk massa.<br />• Merokok<br />Ternyata rokok dapat meningkatkan risiko penyakit osteoporosis. Perokok sangat rentan terkena osteoporosis, karena zat nikotin di dalamnya mempercepat penyerapan tulang. Selain penyerapan tulang, nikotin juga membuat kadar dan aktivitas hormon estrogen dalam tubuh berkurang sehingga susunan-susunan sel tulang tidak kuat dalam menghadapi proses pelapukan. Disamping itu, rokok juga membuat penghisapnya bisa mengalami hipertensi, penyakit jantung, dan tersumbatnya aliran darah ke seluruh tubuh. Kalau darah sudah tersumbat, maka proses pembentukan tulang sulit terjadi. Jadi, nikotin jelas menyebabkan osteoporosis baik secara langsung tidak langsung. Saat masih berusia muda, efek nikotin pada tulang memang tidak akan terasa karena proses pembentuk tulang masih terus terjadi. Namun, saat melewati umur 35, efek rokok pada tulang akan mulai terasa, karena proses pembentukan pada umur tersebut sudah berhenti.<br />• Kurang Kalsium<br />Jika kalsium tubuh kurang maka tubuh akan mengeluarkan hormon yang akan mengambil kalsium dari bagian tubuh lain, termasuk yang ada di tulang.<br />6. Mengkonsumsi Obat<br />Obat kortikosteroid yang sering digunakan sebagai anti peradangan pada penyakit asma dan alergi ternyata menyebabkan risiko penyakit osteoporosis. Jika sering dikonsumsi dalam jumlah tinggi akan mengurangi massa tulang. Sebab, kortikosteroid menghambat proses osteoblas. Selain itu, obat heparin dan antikejang juga menyebabkan penyakit osteoporosis. Konsultasikan ke dokter sebelum mengkonsumsi obat jenis ini agar dosisnya tepat dan tidak merugikan tulang.<br />7. Kurus dan Mungil<br />Perawakan kurus dan mungil memiliki bobot tubuh cenderung ringan misal kurang dari 57 kg, padahal tulang akan giat membentuk sel asal ditekan oleh bobot yang berat. Karena posisi tulang menyangga bobot maka tulang akan terangsang untuk membentuk massa pada area tersebut, terutama pada derah pinggul dan panggul. Jika bobot tubuh ringan maka massa tulang cenderung kurang terbentuk sempurna.<br /><br />C. Patofisiologi <br />Jika kepadatan tulang sangat berkurang sehingga tulang menjadi hancur, maka akan timbul nyeri tulang dan kelainan bentuk. Hancurnya tulang belakang menyebabkan nyeri punggung menahun. Tulang belakang yang rapuh bisa mengalami hancur secara spontan atau karena cedera ringan.<br />Biasanya nyeri timbul secara tiba-tiba dan dirasakan di daerah tertentu dari punggung, yang akan bertambah nyeri jika penderita berdiri atau berjalan. Jika disentuh, daerah tersebut akan terasa sakit, tetapi biasanya rasa sakit ini akan menghilang secara bertahap setelah beberapa minggu atau beberapa bulan.<br />Jika beberapa tulang belakang hancur, maka akan terbentuk kelengkungan yang abnormal dari tulang belakang (punuk Dowager), yang menyebabkan ketegangan otot dan sakit. Tulang lainnya bisa patah, yang seringkali disebabkan oleh tekanan yang ringan atau karena jatuh. Salah satu patah tulang yang paling serius adalah patah tulang panggul.<br />Hal yang juga sering terjadi adalah patah tulang lengan (radius) di daerah persambungannya dengan pergelangan tangan, yang disebut fraktur Colles. Selain itu, pada penderita osteoporosis, patah tulang cenderung menyembuh secara perlahan.<br /><br />D. Gejala Osteoporosis dan Diagnosa Osteoporosis<br />Gejal-gejala baru timbul pada tahap osteoporosis lanjut, seperti:<br />• patah tulang<br />• punggung yang semakin membungkuk<br />• hilangnya tinggi badan<br />• nyeri punggung<br />Diagnosa Osteoporosis<br />Pada seseorang yang mengalami patah tulang, diagnosis osteoporosis ditegakkan berdasarkan gejala, pemeriksaan fisik dan rontgen tulang. Pemeriksaan lebih lanjut mungkin diperlukan untuk menyingkirkan keadaan lainnya penyebab osteoporosis yang bisa diatasi. Untuk mendiagnosa osteoporosis sebelum terjadinya patah tulang dilakukan pemeriksaan yang menilai kepadatan tulang. Di Indonesia dikenal 3 cara penegakan diagnosa penyakit osteoporosis, yaitu:<br />1. Densitometer (Lunar) menggunakan teknologi DXA (dual-energy x-ray absorptiometry).<br />Pemeriksaan ini merupakan gold standard diagnosa osteoporosis. Pemeriksaan kepadatan tulang ini aman dan tidak menimbulkan nyeri serta bisa dilakukan dalam waktu 5-15 menit.DXA sangat berguna untuk:<br />o wanita yang memiliki risiko tinggi menderita osteoporosis<br />o penderita yang diagnosisnya belum pasti<br />o penderita yang hasil pengobatan osteoporosisnya harus dinilai secara akurat<br />2. Densitometer-USG. <br />Pemeriksaan ini lebih tepat disebut sebagai screening awal penyakit osteoporosis. Hasilnya pun hanya ditandai dengan nilai T dimana nilai lebih -1 berarti kepadatan tulang masih baik, nilai antara -1 dan -2,5 berarti osteopenia (penipisan tulang), nilai kurang dari -2,5 berarti osteoporosis (keropos tulang). Keuntungannya adalah kepraktisan dan harga pemeriksaannya yang lebih murah.<br />3. Pemeriksaan laboratorium untuk osteocalcin dan dioksipiridinolin, CTx. <br />Proses pengeroposan tulang dapat diketahui dengan memeriksakan penanda biokimia CTx (C-Telopeptide). CTx merupakan hasil penguraian kolagen tulang yang dilepaskan ke dalam sirkulasi darahsehingga spesifik dalam menilai kecepatan proses pengeroposan tulang. Pemeriksaan CTx juga sangat berguna dalam memantau pengobatan menggunakan antiresorpsi oral.<br />Proses pembentukan tulang dapat diketahui dengan memeriksakan penanda bioklimia N-MID-Osteocalcin. Osteocalcin merupakan protein spesifik tulang sehingga pemeriksan ini dapat digunakan saebagai penanda biokimia pembentukan tualng dan juga untuk menentukan kecepatan turnover tulang pada beberapa penyakit tulang lainnya. Pemeriksaan osteocalcin juga dapat digunakan untuk memantau pengobatan osteoporosis.<br />Di luar negeri, dokter dapat pula menggunakan metode lain untuk mendiagnosa penyakit osteoporosis, antara lain:<br />1. Sinar x untuk menunjukkan degenerasi tipikal dalam tulang punggung bagian bawah.<br />2. Pengukuran massa tulang dengan memeriksa lengan, paha dan tulang belakang.<br />3. Tes darah yang dapat memperlihatkan naiknya kadar hormon paratiroid.<br />Biopsi tulang untuk melihat tulang mengecil, keropos tetapi tampak normal<br /><br />E. Penanganan ( terapi diit) <br />TERAPI DIET<br />1. Tujuan diit ini<br />a. Membantu mencegah terjadinya osteoporosis<br />b. Membantu mengurangi kerapuhan masa tulang lebih lanjut<br />c. Agar dapat melakukan pekerjaan sehari-hari seperti biasanya<br />2. Perbedaan diit ini dengan makanan biasa<br />a. Bahan makanan yang digunakan berkalsium tinggi dan makanan sumber vitamin D<br />b. Sebagian besar protein yang digunakan golongan nabati<br />c. Penggunaan bahan makanan yang mengandung natrium dibatasi. <br />d. Mengkonsumsi sayur dan buah dalam jumlah cukup<br />e. Menghindari konsumsi alcohol<br />f. Bila terlalu gemuk, jumlah kalori dibatasi<br />3. Bahan makanan sumber Kalsium <br />a. Tinggi ( > 200 mg/100 gr BM )<br />Saridele bubuk, rebon, teri, udang kering, sarden, bayam, keju )<br />b. Sedang ( 100 – 200 mg/100 gr BM )<br />Brokoli, pecay, kacang ijo, tahu, tempe, susu<br />c. Rendah ( 10 – 100 mg / 100 gr BM )<br />Daging, ayam, hati, telur, ayam<br />4. Makanan Yang Dianjurkan<br />a. Sumber hidrat arang : Semua bahan makanan sumber hidrat arang<br />b. Sumber Protein hewani : Ikan teri, ikan sarden, udang rebon kering, telur.<br />c. Sumber protein nabati : Kacang-kacangan dan hasil olahannya seperti tahu, tempe, oncom dan sebagainya<br />d. Lemak : minyak dalam jumlah terbatas<br />e. Sayuran : Sayuran hijau seperti bayam, kangkung, sawi hijau,kacang panjang, pakcoi dan calsium<br />f. Buah :Semua macam buah<br />g. Susu dan produk susu yang sudah diolah seperti keju, yoghurt, mentega, margarine.<br />h. Bumbu :Semua macam bumbu<br />5. bahan makanan sumber natrium<br />Roti, krekers, dendeng, abon, ikan asin, ikan pindang<br />6. bahan makanan sumber vitamin D<br />Susu, produk olahan susu ( keju, yoghurt ), kedelai, produk olahan kedelai ( tahu, tempe ) , ikan, hati.<br />7. bahan makanan yang dibatasi / bahan makanan yang dapat menghambat penyerapan kalsium<br />a. Kopi, teh kental, minuman yang mengandung soda dan alcohol.<br />b. Semua daging yang banyak mengandung lemak.<br />c. Bahan makanan yang berserat tinggi<br /><br /><br /> Cara memasak makanan<br />a. Cara-cara memasak yang baik ialah merebus, mengukus, mengungkep, menumis, memanggang atau membakar.<br />b. Hindarkankanlah makanan yang diolah dengan cara menggoreng.<br /><br />Contoh menu <br /><br />Pagi : Siang :<br />Nasi roti bakar isi keju<br />Pecel daun papaya tomat<br />Tempe mendoan 10.00 :<br />Ikan Mas bakar bolu gulung nanas<br />Melon<br /><br />Malam :<br />Nasi<br />Tauge cah tahu teri<br />Brokoli saus bawang<br />Ayam goreng<br />Jeruk<br /><br />Keterangan / catatan :<br />Penatalaksanaan diet sebaiknya diimbangin dengan Olah raga dan tubuh cukup terpapar sinar matahari, terutama sinar ultraviolet selama 5 – 15 menit/ hari.<br /><br />F. Pecegahan<br />Pencegahan Osteoporosis<br />Menurut dr. Bambang Setiyohadi, Sp.PD, KR pencegahan osteoporosis sebaiknya dilakukan sejak masih dalam kandungan. Sang ibu harus mengkonsumsi kalsium dengan cukup sehingga tulang bayi dalam kandungan tumbuh optimal dan tidak mengambil cadangan kalsium dari tulang ibu. Prof. DR. Dr. Ichramsjah A Rachman, Sp.OG (K) juga lebih menekankan pentingnya pencegahan dibandingkan pengobatan. Hal yang paling penting adalah menyadari akan kejadian osteoporosis yang mengancam terutama wanita. Semua manusia di dunia pasti akan menjadi tua baik pria maupun wanita.Proses penuaan telah terjadi sejak manusia dilahirkan ke dunia dan terus menerus terjadi sepanjang kehidupannya. Khususnya pada wanita, proses ini mempunyai dampak tersendiri berkaitan dengan proses siklik haid setiap bulannya yang mulaiu terganggu dan akhirnya menghilang sama sekali. <br />Terganggunya atau sampai hilangnya proses haid (menopause dan pasca menopause) disebabkan penurunana dan hilangnya hormon estrogen. Ini adalah hal yang normal dan alamiah. Namun, penerimaannnya berbeda-beda diantara wanita. Dengan turunnya kadar hormon estrogen maka proses osteoblas (pembentukan tulang) terhambat dan dua hormon yang berperan dalam proses ini yaitu D, PTH pun turun sehingga dimulai hilangnya kadar mineral tulang. Apabila hal ini terus berlanjut dan akibat kelanjutan harapan hidup masih akan mencapai keadaan osteoporosis yaitu kondisi dimana massa tulang demikian rendah sehingga tulang mudah patah. Diketahui 85% wanita menderita osteoporosis yang terjadi sekitar 10 tahun setelah menopause, atau 8 tahun setelah pengangkatan kedua ovarium. Jadi, para wanita perlu lebih waspada akan ancaman penyakit osteoporosis dibandingkan pria. Karena penyakit ini baru muncul setelah usia lanjut, wanita muda harus sadar dan segera melakukan tindakan pencegahan sebagai berikut, antara lain:<br />1. Asupan kalsium cukup<br />Mempertahankan atau meningkatkan kepadatan tulang dapat dilakukan dengan mengkonsumsi kalsium yang cukup. Minum 2 gelas susu dan tambahan vitamin D setiap hari, bisa meningkatkan kepadatan tulang pada wanita setengah baya yang sebelumnya tidak mendapatkan cukup kalsium. Sebaiknya konsumsi kalsium setiap hari. Dosis harian yang dianjurkan untuk usia produktif adalah 1000 mg kalsium per hari, sedangkan untuk usia lansia dianjurkan 1200 mg per hari.<br />Mengkonsumsi kalsium dalam jumlah yang cukup sangat efektif, terutama sebelum tercapainya kepadatan tulang maksimal (sekitar umur 30 tahun). Pilihlah makanan sehari-hari yang kaya kalsium seperti ikan teri, brokoli, tempe, tahu, keju dan kacang-kacangan.<br />2. Paparan sinar UV B matahari (pagi dan sore)<br />Sinar matahari terutama UVB membantu tubuh menghasilkan vitamin D yang dibutuhkan oleh tubuh dalam pembentukan massa tulang. Untungnya, Indonesia beriklim tropis sehingga sinar matahari berlimpah. Berjemurlah di bawah sinar matahari selama 30 menit pada pagi hari sebelum jam 09.00 dan sore hari sesudah jam 16.00.<br />3. Melakukan olah raga dengan beban<br />Selain olahraga menggunakan alat beban, berat badan sendiri juga dapat berfungsi sebagai beban yang dapat meningkatkan kepadatan tulang. Olah raga beban misalnya berjalan dan menaiki tangga tetapi berenang tidak meningkatkan kepadatan tulang. Dr. Ade Tobing, Sp.KO kini mengenalkan yang disebut latihan jasmani yang baik, benar, terukur dan teratur (BBTT). Latihan BBTT ternyata terbukti bermanfaat dalam memelihara dan meningkatkan massa tulang. Oleh sebab itu, latihan fisik (BBTT) dapat dilakukan untuk mencegah dan mengobati penyakit osteoporosis.<br />4. Gaya hidup sehat<br />Tidak ada kata terlambat untuk melakukan gaya hidup sehat. Menghindari rokok dan alkohol memberikan efek yang signifikan dalam menurunkan risiko osteoporosis. Konsumsi kopi, minuman bersoda, dan daging merah pun dilakukan secara bijak.<br />5. Hindari obat-obatan tertentu<br />Hindari obat-obatan golongan kortikosteroid. Umumnya steroid ini diberikan untuk penyakit asma, lupus, keganasan. Waspadalah penggunaan obat antikejang. Jika tidak ada obat lain, maka obat-obatan tersebut dapat dikonsumsi dengan dipantau oleh dokter.<br />6. Mengkonsumsi obat (untuk beberapa orang tertentu)<br />o Estrogen membantu mempertahankan kepadatan tulang pada wanita dan sering diminum bersamaan dengan progesteron. Terapi sulih estrogen paling efektif dimulai dalam 4-6 tahun setelah menopause; tetapi jika baru dimulai lebih dari 6 tahun setelah menopause, masih bisa memperlambat kerapuhan tulang dan mengurangi resiko patah tulang.<br />o Raloksifen merupakan obat menyerupai estrogen yang baru, yang mungkin kurang efektif daripada estrogen dalam mencegah kerapuhan tulang, tetapi tidak memiliki efek terhadap payudara atau rahim.<br />o Untuk mencegah osteroporosis, bisfosfonat (contohnya alendronat), bisa digunakan sendiri atau bersamaan dengan terapi sulih hormone<br /><br />Untuk menghindari osteoporosis dapat dilakukan hal sebagai berikut :<br />• Mulailah Mengkonsumsi Susu setiap hari sejak dini<br />• Makanlah makanan yang gizinya seimbang<br />• Kurangi sodium<br />• Kurangi garam<br />• Hindari daging merah dan makanan yang diasinkan<br />• Olah Raga secara teratur atau berjalan minimal 10-15 menit setiap hari, Untuk wanita modern lebih baik bila berjalan-jalan di Mall.<br />• Hindari Meminum Kopi dan minuman ber-alkohol.<br />• Perbanyak minum air putih<br /><br /><br />G. Daftar pustaka <br />http://konsulgizi.blogspot.com/2007/09/makanan-untuk-penderita-osteoporosis.html<br />http://www.medicastore.com/osteoporosis/tanya_jawab_dokter_osteoporosis.htm#3<br />http://www.totalkesehatananda.com/index.html <br />S. Wirakusumah, Emma. 2007. Mencegah Osteoporosis. Jakarta: Penebar Plushabankhttp://www.blogger.com/profile/09626054388126297040noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-3909943987252109584.post-65432726412774313772010-06-01T06:12:00.001-07:002010-06-01T06:12:42.873-07:00MAKALAHMAKALAH IPTEK<br />”OBESITAS”<br /><br /><br /> <br /><br /><br />Kelompok :<br />1. Fuji Astuti (PO7131107045 )<br />2. Indah Ayu Tri.K (PO71311070 52)<br />3. Ive Maryani (PO7131107053 )<br />4. Siska Presya Y (PO7131107067 )<br />5. Sulasyi Setyaningsih (PO7131107070)<br /><br />DEPARTEMEN KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA<br />POLITEKNIK KESEHATAN YOGYAKARTA<br />JURUSAN GIZI<br />2009<br /><br />OBESITAS<br /><br />A. Pendahuluan<br />Obesitas adalah suatu keadaan yang melebihi dari berat badan relative seseorang, sebagai akibat penumpukan zat gizi terutama karbohidrat, protein dan lemak. Kondisi itu disebabkan oleh ketidakseimbangan antara konsumsi energi dan kebutuhan energi, dimana konsumsi terlalu banyak dibandingkan dengan kebutuhan atau pemakaian energi (Budiyanto,2002).<br />Untuk menentukan obesitas diperlukan kriteria yang berdasarkan pengukuran antropometri dan atau pemeriksaan laboratorik, pada umumnya digunakan:<br />1. Pengukuran berat badan (BB) yang dibandingkan dengan standar dan disebut obesitas bilamana BB > 120% BB standar.<br />2. Pengukuran berat badan dibandingkan tinggi badan (BB/TB). Dikatakan obesitas bila BB/TB > persentile ke 95 atau > 120% atau Z-score = + 2 SD.<br />3. Pengukuran lemak subkutan dengan mengukur skinfold thickness (tebal lipatan kulit/TLK).<br />4. Sebagai indikator obesitas bila TLK Triceps > persentil ke 85.<br />5. Pengukuran lemak secara laboratorik, misalnya densitometri, hidrometri dsb. yang tidak digunakan pada anak karena sulit dan tidak praktis. DXA adalah metode yang paling akurat, tetapi tidak praktis untuk dilapangan.<br />6. Indeks Massa Tubuh (IMT) > 27,0/kg/m2.<br />Menurut Ketua Umum Persatuan Ahli Gizi Indonesia (PERSAGI), Prof Dr Herdinsyah MS, saat ini jumlah penderita obesitas di Indonesia untuk populasi remaja dewasa sudah mencapai angka 18 persen. Angka ini bahkan lebih tinggi lagi di kelompok dewasa, yaitu bisa mencapai 25 persen dari total populasi seluruh Indonesia(Gizi.net, 2007)<br />Saat ini, 1,6 miliar orang dewasa di seluruh dunia mengalami berat badan berlebih (overweight), dan sekurang-kurangnya 400 juta diantaranya mengalami obesitas. Pada tahun 2015, diperkirakan 2,3 miliar orang dewasa akan mengalami overweight dan 700 juta di antaranya obesitas. Di Indonesia, menurut data Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) tahun 2007, prevalensi nasional obesitas umum pada penduduk berusia 15 tahun adalah 10,3% (laki-laki 13,9%, perempuan 23,8%). Sedangkan prevalensi berat badan berlebih anak-anak usia 6-14 tahun pada laki-laki 9,5% dan pada perempuan 6,4%. Angka ini hampir sama dengan estimasi WHO sebesar 10% pada anak usia 5-17 tahun (Menkes, 2009)<br />Obesitas sering dikaitkan dengan banyaknya lemak dalam tubuh. Lemak adalah kawan sekaligus lawan. Lemak sangat dibutuhkan oleh tubuh untuk menyimpan energi, sebagai penyekat panas, sebagai penyerap guncangan, dan lain-lainnya. Rata-rata wanita memiliki lemak tubuh yang lebih banyak dibandingkan pria. Perbandingan yang normal antara lemak tubuh dengan berat badan pada wanita adalah sekitar 25-30% dan pada pria sekitar 18-23% (Depkes.go.id, 2007).<br />Walaupun lemak amat berguna bagi tubuh, berbagai penyakit dapat timbul karena kelebihan lemak. Salah satunya adalah obesitas atau kelebihan berat badan sebagai akibat dari penimbunan lemak tubuh yang berlebihan. Wanita dengan lemak tubuh lebih dari 25% (pada pria 20% atau lebih) dari berat ideal yang sesuai untuk tinggi tubuh dianggap mengalami obesitas (Depkes.go.id, 2007).<br />Obesitas dapat menimbulkan berbagai penyakit serius, antara lain DM, hipertensi dan jantung. Risiko kematian yang disebabkan oleh diabetes yakni stroke, coronary artery disease, tekanan darah tinggi, kolesterol yang tinggi, ginjal, dan gallbladder disorders. Selain itu, obesitas ini juga disebabkan oleh beberapa faktor. Misalnya, pola makan yang salah (terbiasa makan makanan berlemak tinggi), gaya hidup modern yang kurang gerak, stres yang dilarikan pada makanan, dan faktor keturunan (Yayasan Jantung Indonesia). Mengalami penumpukan lemak lebih banyak dibandingkan dengan penderita kegemukan untuk jangka waktu yang lama dan berisiko lebih tinggi untuk terkena penyakit degeneratif seperti payah jantung kongesti, hipertensi, diabetes melitus tipe 2 dan sebagainya. Nilai IMT untuk obesitas adalah diatas 30/kg/m2 (Ginanjar, 2005)<br /><br />B. Etiologi<br />Berdasarkan hukum termodinamik, obesitas disebabkan adanya keseimbangan energy positif, sebagai akibat ketidakseimbangan antara asupan energi dengan keluaran energi, sehingga terjadi kelebihan energi yang disimpan dalam bentuk jaringan lemak. Sebagian besar gangguan keseimbangan energi ini disebabkan oleh faktor eksogen/nutrisional (obesitas primer) sedang faktor endogen (obesitas sekunder) akibat kelainan hormonal, sindrom atau defek genetik hanya sekitar 10%.<br />Penyebab obesitas belum diketahui secara pasti. Obesitas adalah suatu penyakit multifaktorial yang diduga bahwa sebagian besar obesitas disebabkan oleh karena interaksi antara faktor genetik dan faktor lingkungan, antara lain aktifitas, gaya hidup, sosial ekonomi dan nutrisional yaitu perilaku makan dan pemberian makanan padat terlalu dini pada bayi.<br />1. Faktor Genetik <br />Bila kedua orang tua obesitas, 80% anaknya menjadi obesitas; bila salah satu orang tua obesitas, kejadian obesitas menjadi 40% dan bila kedua orang tua tidak obesitas, prevalensi menjadi 14%. Hipotesis Barker menyatakan bahwa perubahan lingkungan nutrisi intrauterin menyebabkan gangguan perkembangan organ-organ tubuh terutama kerentanan terhadap pemrograman janin yang dikemudian hari bersama-sama dengan pengaruh diet dan stress lingkungan merupakan predisposisi timbulnya berbagai penyakit dikemudian hari. <br />Kegemukan dapat diturunkan dari generasi sebelumnya pada generasi berikutnya di dalam sebuah keluarga. Itulah sebabnya kita seringkali menjumpai orangtua yang gemuk cenderung memiliki anak-anak yang gemuk pula. Dalam hal ini nampaknya faktor genetik telah ikut campur dalam menentukan jumlah unsur sel lemak dalam tubuh. Hal ini dimungkinkan karena pada saat ibu yang obesitas sedang hamil maka unsur sel lemak yang berjumlah besar dan melebihi ukuran normal, secara otomatis akan diturunkan kepada sang bayi selama dalam kandungan. Maka tidak heranlah bila bayi yang lahirpun memiliki unsur lemak tubuh yang relatif sama besar.<br />2. Faktor Lingkungan<br />a. Aktifitas fisik.<br />Penelitian di negara maju mendapatkan hubungan antara aktifitas fisik yang rendah dengan kejadian obesitas. Individu dengan aktivitas fisik yang rendah mempunyai risiko peningkatan berat badan sebesar = 5 kg. Penelitian di Jepang menunjukkan risiko obesitas yang rendah (OR:0,48) pada kelompok yang mempunyai kebiasaan olah raga, sedang penelitian di Amerika menunjukkan penurunan berat badan dengan jogging (OR: 0,57), aerobik (OR: 0,59), tetapi untuk olah raga tim dan tenis tidak menunjukkan penurunan berat badan yang signifikan. Penelitian terhadap anak Amerika dengan tingkat sosial ekonomi yang sama menunjukkan bahwa mereka yang nonton TV = 5 jam perhari mempunyai risiko obesitas sebesar 5,3 kali lebih besar dibanding mereka yang nonton TV = 2 jam setiap harinya.<br />Kurangnya aktivitas fisik kemungkinan merupakan salah satu penyebab utama dari meningkatnya angka kejadian obesitas di tengah masyarakat yang makmur. <br />Orang-orang yang tidak aktif memerlukan lebih sedikit energi. Seseorang yang cenderung mengkonsumsi makanan kaya lemak dan tidak melakukan aktivitas fisik yang seimbang, akan mengalami obesitas.<br />b. Faktor nutrisional.<br />Peranan faktor nutrisi dimulai sejak dalam kandungan dimana jumlah lemak tubuh dan pertumbuhan bayi dipengaruhi berat badan ibu. Kenaikan berat badan dan lemak anak dipengaruhi oleh : waktu pertama kali mendapat makanan padat, asupan tinggi kalori dari karbohidrat dan lemak5 serta kebiasaan mengkonsumsi makanan yang mengandung energi tinggi.<br />Penelitian di Amerika dan Finlandia menunjukkan bahwa kelompok dengan asupan tinggi lemak mempunyai risiko peningkatan berat badan lebih besar dibanding kelompok dengan asupan rendah lemak dengan OR 1.7. Penelitian lain menunjukkan peningkatan konsumsi daging akan meningkatkan risiko obesitas sebesar 1,46 kali. Keadaan ini disebabkan karena makanan berlemak mempunyai energy density lebih besar dan lebih tidak mengenyangkan serta mempunyai efek termogenesis yang lebih kecil dibandingkan makanan yang banyak mengandung protein dan karbohidrat. Makanan berlemak juga mempunyai rasa yang lezat sehingga akan meningkatkan selera makan yang akhirnya terjadi konsumsi yang berlebihan. Selain itu kapasitas penyimpanan makronutrien juga menentukan keseimbangan energi. Protein mempunyai kapasitas penyimpanan sebagai protein tubuh dalam jumlah terbatas dan metabolisme asam amino di regulasi dengan ketat, sehingga bila intake protein berlebihan dapat dipastikan akan di oksidasi; sedang karbohidrat mempunyai kapasitas penyimpanan dalam bentuk glikogen hanya dalam jumlah kecil. Asupan dan oksidasi karbohidrat di regulasi sangat ketat dan cepat, sehingga perubahan oksidasi karbohidrat mengakibatkan perubahan asupan karbohidrat. Bila cadangan lemak tubuh rendah dan asupan karbohidrat berlebihan, maka kelebihan energi dari karbohidrat sekitar 60-80% disimpan dalam bentuk lemak tubuh. Lemak mempunyai kapasitas penyimpanan yang tidak terbatas. Kelebihan asupan lemak tidak diiringi peningkatan oksidasi lemak sehingga sekitar 96% lemak akan disimpan dalam jaringan lemak.<br />3. Faktor sosial ekonomi.<br />Perubahan pengetahuan, sikap, perilaku dan gaya hidup, pola makan, serta peningkatan pendapatan mempengaruhi pemilihan jenis dan jumlah makanan yang dikonsumsi. Suatu data menunjukkan bahwa beberapa tahun terakhir terlihat adanya perubahan gaya hidup yang menjurus pada penurunan aktifitas fisik, seperti: ke sekolah dengan naik kendaraan dan kurangnya aktifitas bermain dengan teman serta lingkungan rumah yang tidak memungkinkan anak-anak bermain diluar rumah, sehingga anak lebih senang bermain komputer / games, nonton TV atau video dibanding melakukan aktifitas fisik. Selain itu juga ketersediaan dan harga dari junk food yang mudah terjangkau akan berisiko menimbulkan obesitas.<br />C. Patofisiologi<br />Pengaturan keseimbangan energi diperankan oleh hipotalamus melalui 3 proses fisiologis, yaitu: pengendalian rasa lapar dan kenyang, mempengaruhi laju pengeluaran energi dan regulasi sekresi hormon yang terlibat dalam pengaturan penyimpanan energi, melalui sinyal sinyal efferent yang berpusat di hipotalamus setelah mendapatkan sinyal afferent dari perifer terutama dari jaringan adipose tetapi juga dari usus dan jaringan otot. Sinyal-sinyal tersebut bersifat anabolik (meningkatkan asupan makanan, menurunkan pengeluaran energi) dan katabolik (anoreksia, meningkatkan pengeluaran energi) dan dibagi menjadi 2 kategori, yaitu sinyal pendek dan sinyal panjang. <br />Sinyal pendek (situasional) yang mempengaruhi porsi makan dan waktu makan serta berhubungan dengan faktor distensi lambung dan peptida gastrointestinal, yaitu kolesistokinin (CCK) yang mempunyai peranan paling penting dalam menurunkan porsi makan dibanding glukagon, bombesin dan somatostatin. Sinyal panjang yang diperankan oleh fat-derived hormon leptin dan insulin yang mengatur penyimpanan dan keseimbangan energi. Didalam system ini leptin memegang peran utama sebagai pengendali berat badan. Sumber utama leptin adalah jaringan adiposa, yang disekresi langsung masuk ke peredaran darah dan kemudian menembus saraf darah otak menuju ke hipotalamus. Apabila asupan energi melebihi dari yang dibutuhkan maka massa jaringan adiposa meningkat, disertai dengan peningkatan kadar leptin dalam peredaran darah. Leptin kemudian merangsang anorexigenic center di hipotalamus agar menurunkan produksi NPY, sehingga terjadi penurunan nafsu makan dan asupan makanan. Demikian pula sebaliknya bila kebutuhan energi lebih besar dari asupan energi, maka massa jaringan adiposa berkurang dan terjadi rangsangan pada orexigenic center di hipotalamus yang menyebabkan peningkatan nafsu makan dan asupan makanan. Pada sebagian besar orang obesitas, mekanisme ini tidak berjalan walaupun kadar leptin didalam darah tinggi dan disebut sebagai resistensi leptin. <br />Beberapa neurotransmiter, yaitu norepineprin, dopamin, asetilkolin dan serotonin berperan juga dalam regulasi keseimbangan energi, demikian juga dengan beberapa neuropeptide dan hormon perifer yang juga mempengaruhi asupan makanan dan berperan didalam pengendalian kebiasaan makan. Neuropeptide-neuropeptide ini meliputi neuropeptide Y (NPY), melanin concentrating hormone, corticotropin-releasing hormone (CRH), bombesin dan somatostatin. NPY dan CRH terdapat di nukleus paraventrikuler (PVN) yang terletak di bagian dorsal dan rostral ventromedial hypothalamic (VMH), sehingga lesi pada daerah ini akan mempengaruhi kebiasaan makan dan keseimbangan energi. NPY merupakan neuropeptida.<br />Nukleus VMH merupakan satiety center / anorexigenic center . Stimulasi pada nukleus VMH akan menghambat asupan makanan dan kerusakan nukleus ini akan menyebabkan makan yang berlebihan (hiperfagia) dan obesitas. Sedang nukleus area lateral hipotalamus (LHA) merupakan feeding center / orexigenic center dan memberikan pengaruh yang berlawanan. <br /> Leptin dan insulin yang bekerja pada nukleus arcuatus (ARC), merangsang neuron proopimelanocortin / cocain and amphetamine-regulated transcript (POMC/ CART) dan menimbulkan efek katabolik (menghambat nafsu makan, meningkatkan pengeluaran energi) dan pada saat yang sama menghambat neuron NPY/AGRP (agouti related peptide) dan menimbulkan efek anabolik (merangsang nafsu makan, menurunkan pengeluaran energi). Pelepasan neuropeptida-neuropeptida NPY/AGRP dan POMC/CART oleh neuron-neuron tersebut kedalam nukleus PVN dan LHA, yang selanjutnya akan memediasi efek insulin dan leptin dengan cara mengatur respon neuron-neuron dalam nukleus traktus solitarius (NTS) di otak belakang terhadap sinyal rasa kenyang (oleh kolesistokinin dan distensi lambung) yang timbul setelah makan. Sinyal rasa kenyang ini menuju NTS terutama melalui nervus vagus. Jalur descending anabolik dan katabolik diduga mempengaruhi respon neuron di NTS yang mengatur penghentian makan. Jalur katabolik meningkatkan dan jalur anabolik menurunkan efek sinyal kenyang jalur pendek, sehingga menyebabkan penyesuaian porsi makan yang mempunyai efek jangka panjang pada perubahan asupan makan dan berat badan. <br /><br />D. Gejala<br />Gejala terjadinya obesitas adalah terjadi penimbunan lemak yang berlebihan dibawah diafragma dan di dalam dinding dada yang bisa menekan paru-paru, sehingga timbul gangguan pernafasan dan sesak nafas, meskipun penderita hanya melakukan aktivitas yang ringan. Gangguan pernafasan bisa terjadi pada saat tidur dan menyebabkan terhentinya pernafasan untuk sementara waktu (tidur apneu), sehingga pada siang hari penderita sering merasa ngantuk.<br />Obesitas bisa menyebabkan berbagai masalah ortopedik, termasuk nyeri punggung bawah dan memperburuk osteoartritis (terutama di daerah pinggul, lutut dan pergelangan kaki). Juga kadang sering ditemukan kelainan kulit. Seseorang yang menderita obesitas memiliki permukaan tubuh yang relatif lebih sempit dibandingkan dengan berat badannya, sehingga panas tubuh tidak dapat dibuang secara efisien dan mengeluarkan keringat yang lebih banyak. Sering ditemukan edema (pembengkakan akibat penimbunan sejumlah cairan) di daerah tungkai dan pergelangan kaki.<br />Gejala lain yang terjadi pada orang obesitas yaitu bentuk muka tidak proporsional. Hidung dan mulut relatif kecil, dagu ganda dan timbunan lemak di daerah payudara sehingga cenderung membuat malu remaja putra. Perut menggantung, terdapat lipatan dan alat genital khususnya pada remaja putra akan terlihat lebih kecil karena timbunan lemak. Paha dan lengan terlihat besar namun jari tangan sangat runcing. <br /><br />E. Terapi<br />Suatu ciri obesitas yang telah disepkati oleh para peneliti bahwa adanya kecenderungan obesitas akan tetap saja obesitas jika pengobatannya tidak diakukan secara komprehensif atau jika dapat diturunkan bobot tubuhnya dengan pengobatan maka setelah pengobatan selisih bobot tubuhnya akan meningkat kembali jika pengobatannya tidak tertib dan teratur untuk itu peranan pengobatan secara komprehensif dan teratur sangat dibutuhkan untuk pengobatan obesitas.<br />Secara umum pengobatan obesitas dapat dilakukan melalui :<br />a. Diet khusus yaitu diet rendah energi<br />Diet rendah energi adalah diit yang kandungan energinya dibawah kebutuhan normal, cukup vitamin dan mineral serta banyak mengandung serat yang bermanfaatan dalam proses penurunan berta badan. Diet ini membatasi makanan padat energi, seperti kue-kue yang banyak mengandung karbohidrat sederhana dan lemak, serta goreng-gorengan.<br />Tujuan diet energi rendah adalah untuk :<br />1) Mencapai dan mempertahankan status gizi sesuai dengan umur, gender, dan kebutuhan fisik.<br />2) Mencapai IMT normal yaitu 18,5-25 kg/m2<br />3) Mengurangi asupan energi, sehingga tercapai penurunan berat badan sebanyak 0,5-1 kg/minggu. Pastikan bahwa yang berkurang adalah lemak dengan mengukur tebal lemak lipatan kulit dan lingkar pinggang.<br />Syarat diet energi rendah adalah :<br />1) Energi rendah, ditujukan untuk menurunkan berat badan. Pengurangan dilakukan secara bertahap dengan mempertimbangkan kebiasaaan makan dari segi kualitas dan kuantitas. Untuk menurunkan berat badan sebanyak 0,5-1 kg/minggu, asupan energi dikurangi sebanyak 500-1000 kkl/hari dari kebutuhan. Perhitungan kebutuhan energi normal dilakukan berdasarkan berat badan ideal.<br />2) Protein sedikit lebih tinggi, yaitu 1-1,5 g/kg BB/hari atau 15-20% dari kebuthan energi total<br />3) Lemak sedang yaitu 20-25% dari kebutuhan energi total. Usahakan sumber lemak berasal dari makanan yang mengandung lemak tidak jenuh ganda yang kadarnya tinggi.<br />4) Karbohidrat sedikit lebih rendah, yaitu 55-65% dari kebutuhan energi total. Gunakan lebih banyak sumber karbohidrat komplek untuk member rasa kenyang dan mencegah konstipasi. Sebagai alternative, bias digunakan gula buatan sebgai pengganti gula sederhana.<br />5) Vitamin dan mineral cukup sesuai dengan kebutuhan.<br />6) Dianjurkan untuk 3 kali makan utama dan 2-3 kali makan selingan.<br />7) Cairan cukup yaitu 8-10 gelas/ hari <br /><br />Tabel bahan makanan yang dianjurkan dan tidak dianjurkan<br />Bahan Makanan Dianjurkan Tidak Dianjurkan<br />Sumber Karbohidrat Karbohidrat kompleks seperti : nasi, jagung, ubi, singkong, talas, kentang, sereal Karbohidrat sederhana seperti: gula pasir, gula merah, sirup, kue yang manis, dan gurih<br />Sumber protein hewani Daging tidak berlemak, ayam tanpa kulit, ikan, telur, daging asap, susu dan keju rendah lemak. Daging berlemak, daging kambing, daging yang diolah dengan santan kentan, digoreng, jeroan, susu full cream, susu kental manis.<br />Sumber protein nabati Tempe, tahu, susu kedelai, kacang-kacangan yang diolah tanpa digoreng atau dengan santan kental Kacang-kacangan yang diolah dengan cara menggoreng atau dengan santan kental<br />Sayuran Sayuran yang banyak mengandung serat dan diolah tanpa santan kental berupa sayuran rebus, tumis, dengan santan encer atau lalapan Sayuran yang sedikit mengandung serat dan yang dimasak dengan santan kental.<br />Buah-buahan Semua macam buah-buahan terutama yang banyak mengandung serat Durian, avokad, manisan, buah-buahan, buah yang diolah dengan gula dan susu kental manis<br />Lemak Minyak tak jenuh tunggal atau ganda, seperti minyak kelapa sawit, minyak kedelai dan minyak jagung yang tidak digunakan untuk menggoreng. Minyak kelapa, kelapa, dan santan<br /><br />b. Olahraga<br />Olahraga merupakan salah satu bagian program penurunan berat badan yang manapun. Namun demikian,pentingnya olahraga untuk keseimbangan energi harus dimengerti secara jelas. Olahraga yang cukup berat setiap hari sekalipun tidak memberikan peningkatan pengeluaran energi yang cukup besar untuk mengubah kecepatan awal penurunan berat badan secara bermakna. Hal ini tidak berarti bahwa olahraga tidak penting dalam penurunan berat badan, sebab peningkatan pengeluaran energi yang sedikitpun dapat menyebabkan perubahan keseimbangan energi yang besar untuk jangka panjang jika latihan dilakukan secar teratur. Sebagai contoh, peningkatan energi sebesar 300 kkal setiap hari selama 4 bulan akan menyebabkan penurunan berat badan 4,5 kg. lebih penting lagi, gabungan olahraga teratur dengan keseluruhan progam penurunan berat badan akan memperbaiki kesempatan bahwa penurunan berat badan dapat dipertahankan.<br />c. Pengubahan perilaku <br />Dengan mengenali masalah-masalah yang terlibat, teknik mengubah perilaku dapat diterapkan untuk mengobati pola perilaku makan yang tidak normal. Banyak penelitian yang menunjukkan bahwa individu obes berespon kurang baik dibandingkan individu normal terhadap isyarat iterna yang mengatur tingkah laku makan seperti misalnya kontaksi lambung, ketakutan, dan memkan makanan sebelumnya. Sebaliknya, orang yang gemuk member respon yang berlebihan terhadap unsure dari luar, seperti rasa, bau, daya tarik makanan, jumlah makanan yang berlimpah-limpah dan kesenangan mendapatkan makanan. Dari kenyataan bahwa individu yang obes luar biasa rentan dengan rangsang dari luar, asupan makanan dapat diubah dengan mengubah pola dan bentuk unsure luar ini, dan ini merupakan alas an utama yang mendasari pendekatan perubahan perilaku untuk menurunkan berat badan. <br />Modifikasi tingkah laku dimulai dengan riwayat individual mendetail dari pola makan pasien dengan melihat waktu dalam sehari, lama periode makanan, tempat makan (restoran, meja makan, berdiri di depan kulkas yang terbuka), aktifitas yang dilakukan bersamaan (menonton televisi, membaca, bermalas-malasan), dan akhirnya jenis dan kuantitas makanan yang dimakan. Sekali catatan mendetail diperoleh, terapis, dan pasien dapat merancang perubahan tingkah laku spesifik yang ditujukan untuk menghentikan atau menghilangkan pola tingkah laku yang berulang yang memulai atau memperlama aktifitas makan abnormal. Hasil dari tekhnik mengubah perilaku menunjukkan bahwa banyak pasien dapat mempertahankan hasil penurunan berat badan dalam jangka panjang sehingga terbentuk pola perilaku baru yang sungguh-sungguh dipelajari.<br />d. Pembedahan <br />Pembedahan untuk mengatasi masalah obesitas sebenarnya telah diterapkan sejak th.1960 dengan bedah pintas lambung. Hanya karena teknologi bedah saat itu masih terbatas, membuat operasi ini hampir selalu berujung pada kematian pasien.Ada beberapa pilihan pembedahan seperti Laparoscopic Adjustable Gastric Binding, Vertical Banded Gastroplasty, Roux-en-Y gastric bypass.<br />Laparoscopic Adjustable Gastric Binding, merupakan tindakan bedah generasi mutakhir untuk menangani penderita dengan obesitas yang berat, dimana hanya dengan membuat lubang/irisan kecil diperut (diameter 0,5-1,0 cm). Dengan pita/plaster silikon yang dilekatkan seputar lambung bagian atas, sehingga terbentuk satu kantong kecil. Apabila penderita makan, kantong kecil tadi akan cepat penuh dan ini akan memberikan sensasi kenyang. Pengosongan makanan dari kantong kecil tersebut akan secara pelan-pelan melalui ikatan yang dibuat dan penderita tidak akan merasa lapar sampai beberapa jam. Dengan intervensi bedah ini, diharapkan dapat menurunkan berat badan dari 20 kg sampai lebih dari 100kg. (Dr Djoko Merdikoputro Sp.PD, dokter di Klinik Hoo – Semarang)<br />e. Farmakologik<br />Tiga mekanisme dapat digunakan untuk mengklasifikasi obat-obatan untuk terapi obesitas adalah terapi yang mengurangi asupan makanan, yang mengganggu metabolisme dengan cara mempengaruhi proses pra atau pascaabsorbsi. Terapi yang meningkatkan pengeluaran energi atau termogenesis.<br />• Efedrin: meningkatkan pengeluaran energi, akan meningkatkan konsumsi oksigen sekitar 10% selama beberapa jam. Pada uji klinis efedrin dan kafein menghasil kan penurunan berat badan lebih besar dibanding kelompok plasebo. Diperkirakan 25-40% penurunan berat badan oleh karena termogenesis dan 60-75% karena pengurangan asupan makanan. Efek samping utama adalah peningkatan nadi dan perasaan berdebar-debar yang terjadi pada sejumlah penderita<br />• Sibutramin, menurunkan energy intake dan mempertahankan penurunan pengeluaran energi setelah penurunan berat badan. Pada penelitian ternyata terbukti sibutramin menurunkan asupan makanan dengan cara mempercepat timbulnya rasa kenyang dan mempertahankan penurunan pengeluaran energi setelah penurunan berat badan (Dr Djoko Merdikoputro Sp.PD, dokter di Klinik Hoo – Semarang)<br />• Obat yang mengurangi nafsu makan terdiri dari Noradrenergic agent (Benzphetamine, Phendimetrazine, Phentermine, Phentermineresin, Diethylpropion), serotonin agent, dan kombinasi keduanya (Sibutramine). Obat ini bekerja dengan menekan neurotransmitter seperti norepinephrine, serotonin, dopamine dll di susunan saraf pusat yang berperan dalam meningkatkan nafsu makan. Obat ini hanya dapat dikonsumsi selama 12 minggu hingga 6 bulan. Efek samping yang mungkin timbul adalah insomnia, mulut kering, konstipasi, sakit kepala, euphoria, palpitasi dan hipertensi. <br />• Obat yang mengurangi absorbsi makanan di usus yaitu orlistat. Obat ini bekerja dengan mengikat lipase yang merupakan enzim yang berperan dalam mempermudah absorbsi lemak di usus, sehingga akhirnya lemak tidak bisa diserap. Obat ini dapat digunakan dalam jangka panjang dan efek samping yang dapat timbul adalah buang gas disertai kotoran, sulit menahan BAB, steatorrhea, bercak minyak di celana dalam, frekuensi BAB meningkat, dan kekurangan vitamin yang larut dalam lemak (A,D, E, K) tetapi bisa diatasi dengan suplemen dari luar. <br />Kunci dari menurunkan berat badan secara sehat tetaplah niat yang kuat disiplin untuk diet yang sehat, olah raga yang teratur, dan mengkonsumsi obat-obatan yang membantu proses diet dan obat-obatan yang dapat meningkatkan metabolisme tubuh serta selalu diawasi oleh dokter.<br /><br />F. Dampak<br /><br />1. Faktor Risiko Penyakit Kardiovaskuler<br />Faktor risiko ini meliputi peningkatan : kadar insulin, trigliserida, LDL-kolesterol dan tekanan darah sistolik serta penurunan kadar HDL- kolesterol.<br /><br /><br />2. Diabetes Melitus Tipe 2<br />Hampir semua anak obesitas dengan diabetes mellitus tipe-2 mempunyai IMT > + 3SD atau > persentile ke 99<br /><br />3. Obstruktive Sleep Apnea<br /><br />Sering dijumpai pada orang obesitas dengan kejadian 1/100 dengan gejala mengorok.Penyebabnya adalah penebalan jaringan lemak didaerah dinding dada dan perut yang mengganggu pergerakan dinding dada dan diafragma, sehingga terjadi penurunan volume dan perubahan pola ventilasi paru serta meningkatkan beban kerja otot pernafasan. Pada saat tidur terjadi penurunan tonus otot dinding dada yang disertai penurunan saturasi oksigen dan peningkatan kadar CO2, serta penurunan tonus otot yang mengatur pergerakan lidah yang menyebabkan lidah jatuh kearah dinding belakang faring yang mengakibatkan obstruksi saluran nafas intermiten dan menyebabkan tidur gelisah, sehingga keesokan harinya anak cenderung mengantuk dan hipoventilasi.Gejala ini berkurang seiring dengan penurunan berat badan.<br /><br />4. Gangguan Ortopedik <br /><br />Pada anak obesitas cenderung berisiko mengalami gangguan ortopedik yang disebabkan kelebihan berat badan, yaitu tergelincirnya epifisis kaput femoris yang menimbulkan gejala nyeri panggul atau lutut dan terbatasnya gerakan panggul.<br /><br />5. Pseudotumor serebri<br /><br /> Pseudotumor serebri akibat peningkatan ringan tekanan intrakranial pada obesitas disebabkan oleh gangguan jantung dan paru-2 yang menyebabkan peningkatan kadar CO2 dan memberikan gejala sakit kepala, papil edema, diplopia, kehilangan lapangan pandang perifer dan iritabilitas.<br /> <br /><br /><br /><br /><br /><br />DAFTAR PUSTAKA<br /><br />http://www.depkes.go.id/index.php?option=news&task=viewarticle&sid=3328<br />http://wapedia.mobi/id/Obesitas<br />http://www.e-psikologi.com/epsi/artikel_detail.asp?id=378<br />http://www.kalbe.co.id/files/cdk/files/07_ObesitasPadaAnak.pdf/07_ObesitasPadaAnak.html<br />http://www.analisadaily.com/index.php?optionhabankhttp://www.blogger.com/profile/09626054388126297040noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-3909943987252109584.post-81603359214625787282010-06-01T06:11:00.001-07:002010-06-01T06:11:55.995-07:00MAKALAHKEBOTAKAN<br />Disusun Untuk Melengkapi Tugas Mata Kuliah IPTEK<br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br />Disusun Oleh:<br />kelompok 4<br /> Ika Puspitasari PO713106135<br /> Nur fadhilah PO7131107057<br /> Nurul Listiana PO7131107059<br /> Siti Lestari PO7131107069<br /> Tyas Novitasari PO7131107071<br /> Utiyati PO7131107074<br /><br />Gizi Swadana 3<br /><br />DEPARTEMEN KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA<br />POLITEKNIK KESEHATAN YOGYAKARTA<br />JURUSAN GIZI<br />2009<br /><br /><br /> <br />KEBOTAKAN<br /><br />A. Pendahuluan<br /> <br /><br />Kebotakan (alopesia) adalah hilangnya sebagian atau seluruh rambut. Sejalan dengan pertambahan usia, pada pria dan wanita akan terjadi penurunan kepadatan rambut. Pria memiliki pola kebotakan khusus yang berhubungan dengan hormon testosteron. Jika seorang pria tidak menghasilkan testosteron (akibat kelainan genetik atau dikebiri), maka dia tidak akan memiliki pola kebotakan tersebut. Wanita juga memiliki pola kebotakan yang khusus. Alopesia paling sering terjadi pada kulit kepala, biasanya terjadi secara bertahap dan bisa seluruh kulit kepala kehilangan rambutnya (alopesia totalis) atau hanya berupa bercak-bercak di kulit kepala. Sekitar 25% pria mulai mengalami kebotakan pada usia 30 tahun dan sekitar duapertiga pria menjadi botak pada usia 60 tahun.<br />Rata-rata kulit kepala mengandung 100.000 helai rambut dan setiap harinya, rata-rata sebanyak 100 helai rambut hilang dari kepala. Setiap helai rambut berumur 4,5 tahun, dengan pertumbuhan sekitar 1 cm/bulan. Biasanya pada tahun ke 5 rambut akan rontok dan dalam waktu 6 bulan akan diganti oleh rambut yang baru. Kebotakan yang diturunkan terjadi akibat kegagalan tubuh untuk membentuk rambut yang baru, bukan karena kehilangan rambut yang berlebihan.<br />B. Penyebab/ Etiologi<br />Penyebabnya bisa berupa:<br />1. Keturunan<br />2. Penuaan <br />3. Perubahan hormone<br />4. Demam<br />5. Keadaan kulit local<br />6. Penyakit sistemik<br />7. Obat-obat tertentu, misalnya yang digunakan untuk mengobati kanker atau vitamin A yang berlebihan, obat-obatan keras, seperti antidepresan, diuretik, dan pil Rx memiliki efek samping kerontokan rambut.<br />8. Pemakaian sampo dan pengering rambut yang berlebihan <br />9. Stres emosional atau stres fisik<br />10. Perilaku cemas (kebiasaan menarik-narik rambut atau menggaruk-garuk kulit kepala)<br />11. Luka bakar<br />12. Terapi penyinaran<br />13. Tinea kapitis<br />14. Trikotilomania<br />C. Patofisiologi <br /> Stadium kebotakan pria distandarisasi menggunakan tabel yang disebut NORWOOD-HAMILTON SCALE. Di tabel ini kita dapat melakukan assessment terhadap tingkat keparahan kebotakan yang telah terjadi serta metoda penanganannya. Semakin lanjut stadium yang terlalui, semakin intensif pula terapi yang harus dilakukan. Proses kebotakan berjalan secara gradual seiring dengan waktu. Tanpa pengobatan yang tepat guna dan tepat sasaran, konsentrasi DHT di dalam sistem tubuh akan semakin menumpuk dan semakin menggerus folikel-folikel aktif yang masih tersisa. Berikut adalah table skala Norwood Hamilton :<br /> <br /><br />Berikut ini adalah penjelasan skala Norwood Hamilton : <br />• Norwood 2-3V, <br />adalah kondisi dimana kebotakan berada pada stadium awal. Pada stadium ini fase/siklus pertumbuhan rambut mulai kacau dan tubuh mempunyai kadar konsentrasi DHT yang mulai meninggi. Pada stadium inilah sebenarnya penanganan perlu dilakukan agar kadar DHT di dalam tubuh menjadi NOL dan tidak sampai mengganggu folikel. Tingkat keberhasilan pada stadium ini sangat besar sekali (90%+)mengingat masih banyaknya papilla-papilla reseptor yang masih hidup dan siap untuk menumbuhkan kembali rambut-rambut baru. Estimasi waktu pertumbuhan rambut secara merata (80% coverage) antara 8-12 bulan.<br /><br />• Norwood 4-4V,<br />adalah kondisi dimana kebotakan pada stadium tengah [medium] yang progresnya sudah mulai bergerak cepat menuju kebotakan berpola (MPB). Pada stadium ini fase/siklus pertumbuhan rambut sudah kacau dan konsentrasi DHT sudah sangat berlebih. Pada stadium ini pengobatan harus dilakukan secara intensif selama 18-24 bulan. Tingkat keberhasilan pada stadium ini +/- 80%, dengan syarat penggunaan produk farmasi yang tepat guna dan tepat sasaran (bukan trial-error).<br />• Norwood 5-7,<br />adalah kondisi dimana kebotakan adalah pada stadium yang sudah akhir [terminal]. Kondisi ini terjadi karena adanya konsentrasi DHT yang sangat tinggi dan tidak ada penanganan sama sekali selama lebih dari 15 tahun. Pada kondisi ini sebagian besar papilla reseptor dan folikel sudah dorman dan opsi yang tersisa hanyalah transplantasi rambut.<br />D. Gejala <br />1. Pada Pria<br />Kebotakan pola pria adalah suatu pola khusus dari kebotakan pada pria, yang disebabkan oleh perubahan hormon dan faktor keturunan.<br />Kebotakan terjadi karena adanya penciutan akar rambut yang menghasilkan rambut yang lebih pendek dan lebih halus. Hasil akhir dari keadaan ini adalah akar rambut yang sangat kecil, yang tidak memiliki rambut. Penyebab gagalnya pertumbuhan rambut baru belum sepenuhnya dimengerti, tetapi hal ini berhubungan dengan faktor keturunan dan hormon androgen, terutama dihidrotestosteron yang berasal dari testosteron. <br />Kebotakan pola pria dimulai pada garis rambut; secara bertahap, garis rambut mundur membentuk huruf M. Rambut menjadi lebih halus dan tidak tumbuh sepanjang sebelumnya.<br />Rambut di ubun-ubun juga mulai menipis dan pada akhirnya ujung atas dari garis rambut yang berbentuk M bertemu dengan ubun-ubun yang menipis, membentuk kebotakan yang menyerupai tapal kuda.<br />2. Pada Wanita<br />Kebotakan pola wanita adalah kehilangan rambut pada wanita akibat perubahan hormon, penuaan dan faktor keturunan. Kebotakan terjadi karena adanya kegagalan pertumbuhan rambut yang baru. Penyebab dari kegagalan tersebut belum sepenuhnya dimengerti, tetapi diduga berhubungan dengan faktor keturunan, penuaan dan kadar hormon androgen.<br />Perubahan kadar hormon androgen bisa mempengaruhi pertumbuhan rambut. Setelah menopause, banyak wanita yang merasakan rambutnya menipis, sedangkan rambut wajahnya menjadi lebih kasar. <br />Pola kebotakan pada wanita berbeda dengan kebotakan pada pria. Rambut di garis rambut (dahi) tetap, sedangkan rambut di bagian kepala lainnya menipis.<br />Mungkin terdapat kehilangan rambut yang lebih di ubun-ubun, tetapi jarang berkembang menjadi kebotakan total seperti yang terjadi pada pria. <br />Kebotakan pada wanita juga bisa disebabkan oleh:<br /> Kerontokan rambut yang bersifat sementara (effluvium telogen)<br /> Kerusakan rambut akibat penataan rambut, pengeritingan atau penarikan rambut<br /> Alopesia areata<br /> Obat-obatan<br /> Penyakit kulit tertentu.<br /><br /><br /><br />E. Jenis – jenis kebotakan <br />1. Alopesia toksika <br />Alopesia toksika atau alopesia karena keracunan bisa terjadi akibat: <br /> Penyakit berat yang disertai demam tinggi<br /> Dosis yang berlebihan dari beberapa obat (terutama talium, vitamin A dan retinoid)<br /> Obat kanker<br /> Kelenjar tiroid atau kelenjar hipofisa yang kurang aktif<br /> Kehamilan<br />Kerontokan rambut bisa terjadi selama 3-4 bulan setelah penyakit atau keadaan lainnya. Biasanya kerontokan bersifat sementara dan rambut akan tumbuh kembali.<br />2. Alopesia areata<br />Alopesia areata adalah suatu keadaan dimana secara tiba-tiba terjadi kerontokan rambut di daerah tertentu, biasanya pada kulit kepala atau janggut. Pada alopesia universalis terjadi kerontokan pada semua rambut tubuh; sedangkan pada alopesia totalis terjadi kebotakan total pada rambut kepala. Pola kebotakan yang terjadi adalah khas, yaitu berupa bercak berbentuk bundar. Penyebabnya tidak diketahui, tetapi kadang dihubungkan dengan penyakit autoimun.<br />3. Trikotilomania <br />Trikotilomania adalah hilangnya rambut sebagai akibat dari dorongan yang kuat untuk menarik-narik rambut. Hilangnya rambut bisa membentuk suatu bercak bundar atau tersebar di kulit kepala. Trikotilomania merupakan suatu perilaku kompulsif, yang mungkin berasal dari adanya stres emosional maupun stres fisik. Paling sering ditemukan pada anak-anak, tetapi kebiasaan ini bisa menetap sepanjang hidup penderita.<br />4. Alopesia karena jaringan parut<br />Kebotakan terjadi di daerah jaringan parut. Jaringan parut mungkin berasal dari luka bakar, cedera berat atau terapi penyinaran. Penyebab lain dari alopesia karena jaringan parut adalah:<br /> Lupus eritematosus<br /> Liken planus<br /> Infeksi bakteri atau jamur yang bersifat menetap<br /> Sarkoidosis<br /> Tuberkulosis<br /> Kanker kulit<br /><br />F. Diagnosa<br />Menentukan jenis kebotakan secara sederhana hanya melalui pengamatan terkadang sulit, karena itu dilakukan biopsi kulit untuk membantu menegakkan diagnosisnya.<br />Dengan biopsi bisa diketahui keadaan dari akar rambut sehingga bisa ditentukan penyebab dari kebotakan.<br />Pola kebotakan pria maupun wanita biasanya didiagnosis berdasarkan pola dan gambaran hilangnya rambut.<br /><br />G. Pengobatan<br />Kehilangan rambut karena penyakit, terapi penyinaran atau pemakaian obat, tidak memerlukan pengobatan khusus. Jika penyakitnya membaik atau jika pengobatan dihentikan, biasanya rambut akan kembali tumbuh. Selama rambut masih dalam pertumbuhan, penderita bisa menggunakan rambut palsu, topi atau penutup kepala lainnya.<br />Kebotakan pola pria maupun wanita bersifat menetap. Jika penderita merasa tidak terganggu dengan penampilannya, maka tidak perlu dilakukan pengobatan. Ada 2 macam obat yang digunakan untuk mengatasi kebotakan pola pria maupun wanita, yaitu minoxidil dan propesia. Minoxidil dioleskan langsung ke kulit kepala. Obat ini bisa memperlambat kerontokan rambut, tetapi bila pemakaiannya dihentikan, maka kebotakan akan kambuh kembali. Propesia menghambat pembentukan hormon yang berperan dalam terjadinya kebotakan. Obat ini lebih efektif dibandingkan dengan minoxidil dan tidak menimbulkan efek terhadap kadar testosteron dalam tubuh.<br />Pencangkokan rambut dilakukan dengan mengangkat sekumpulan kecil rambut dari daerah dimana rambut masih tumbuh dan menempatkannya di daerah yang mengalami kebotakan. Hal ini bisa menyebabkan terbentuknya jaringan parut di daerah donor dengan resiko infeksi yang rendah. Prosedur ini mungkin harus dilakukan secara berulang dan biayanya mahal. Cara lain yang aman dan tidak terlalu mahal untuk mengatasi kebotakan pola pria maupun wanita adalah merubah gaya penyisiran rambut atau menggunakan rambut palsu.<br />Untuk alopesia areata bisa dilakukan pengobatan berikut:<br /> Corticosteroid topikal (dioleskan langsung ke kulit kepala)<br /> Suntikan steroid subkutan (dibawah kulit)<br /> Terapi sinar ultraviolet<br /> Mengoleskan bahan iritatif ke daerah yang botak untuk merangsang pertumbuhan kembali.<br />Pada trikotilomania, mencukur kepala bisa mempertahankan rambut, tetapi tidak mengatasi akar permasalahannya. Orang tua sebaiknya membantu menemukan masalahnya dan ikut terlibat dalam pengobatan. Dianjurkan untuk menjalani pemeriksaan psikis.<br /><br />H. Pengobatan Mutakhir Kebotakan<br />Baru-baru ini, grup riset yang dikepalai oleh Mayumi Ito di Jepang menunjukkan bahwa regenerasi rambut dapat menjadi solusi yang jauh lebih baik untuk mengatasi kebotakan. Regenerasi rambut adalah proses menumbuhkan kembali rambut-rambut baru pada kulit kepala. Sejauh ini tidak pernah disadari bahwa rambut baru dapat tumbuh lagi secara alami pada kulit kepala yang telah mengalami kebotakan. Kemampuan regenerasi sel pada mamalia yang telah dewasa diketahui relatif sangat terbatas, disebabkan karena terbatasnya jumlah sel punca (sel induk) dan protein yang diperlukan dalam tubuh. Fenomena pertumbuhan rambut baru pada kulit yang baru sembuh dari luka sebenarnya telah diamati pada mencit, kelinci dan manusia sejak sekitar 50 tahun yang lalu. Namun karena tidak adanya penelitian lebih lanjut, fenomena ini terlupakan begitu saja sampai ketika grup riset Ito kemudian menunjukkan bahwa epidermis (lapisan terluar dari kulit) pada mencit dewasa yang terluka mampu melakukan regenerasi rambut ketika lukanya mengalami penyembuhan secara alami.<br />Sebenarnya grup riset Ito pada mulanya hanya bermaksud melakukan penelitian tentang perjalanan sel punca rambut. Ketika mereka dengan sengaja tidak mengobati luka yang mereka buat pada mencit-mencit percobaan agar mengalami penyembuhan secara alami, mereka mengamati adanya rambut-rambut baru yang tumbuh dan beralih ke hipotesis yang baru. Jadi, kombinasi dari desain eksperimen yang kreatif dan observasi yang tajam membawa mereka ke penemuan yang menarik ini. Kemudian, dengan kemajuan teknologi biologi molekuler, grup riset Ito berhasil melakukan eksperimen yang mengkonfirmasi kemampuan regenerasi rambut ini. Selain sanggup menunjukkan bahwa sel-sel punca yang dibutuhkan berasal dari lapisan kulit epidermis dan bukan dari akar rambut sendiri, grup riset Ito juga menemukan satu jenis protein baru yang ketika distimulasi akan meningkatkan jumlah rambut baru yang tumbuh. Temuan ini tentu berprospek pada dikembangkannya alternatif terapi baru yang lebih manjur untuk mengatasi kebotakan. <br />Hasil penelitian grup riset Ito ini mendapat respon yang baik di kalangan peneliti dan telah dimuat di Nature, sebuah jurnal ilmiah internasional yang bergengsi. Ketimbang sekedar membuat obat baru, penelitian-penelitian yang berfokus pada regenerasi akan menawarkan solusi jangka panjang yang lebih baik karena tubuh distimulasi secara optimal agar dapat menyembuhkan dirinya sendiri. Regenerasi rambut akan menjadi alternatif terbaik yang aman untuk mengatasi masalah kebotakan. Selain regenerasi yang ditawarkan oleh grup riset yang dikepalai oleh Mayumi Ito di Jepang ada terapi yang dapat dilakukan untuk mengatasi kerontokan yaitu dengan terapi konservatif yaitu kerontokan rambut yang disebabkan kekurangan gizi, gangguan hormonal dan obat-obatan bisa disembuhkan dengan mengobati penyakit dasar melalui terapi konservatif. Namun pada kasus kerontokan rambut androgenetic, terapi ini sangat terbatas efektivitasnya. <br />Jenis Terapi Konservatif : <br />1. Terapi Lokal<br />Dengan mengoleskan obat luar yang mengandung steroid, ostrogen, minoxidil. <br />2. Terapi Systemic<br />Penambahan Fe (zat besi) dan vitamin.<br /> Obat-obatan yang dipakai dan pengaruhnya Finasterid pada pemakaian oral menunjukkan pertumbuhan rambut hingga 48% tetapi ada efek samping antiandrogen 1%. Pada beberapa kasus, kebotakan tidak bisa disembuhkan dengan hanya mengandalkan terapi konservatif. Namun Anda tidak perlu khawatir, karena kini telah ada solusi jitu mengatasi kebotakan, yaitu dengan transplantasi atau cangkok rambut.<br />I. Terapi Diet untuk Kebotakan <br />Untuk mengatasi kebotakan tidak hanya dengan obat saja melainkan dapat pula dengn menggunakan makanan yang kita konsumsi sehari – hari. Hal – hal yang harus diperhatikan dalam menyusun menu sehari agar dapat mencegah maupun mengurangi kebotakan adalah :<br />1. Konsumsi protein sesuai kebutuhan, protein adalah zat esensial untuk menjaga kesehatan rambut dan kekuatan rambut.<br />2. Tinggi Fe. Zat besi diperlukan untuk kesehatan folikel rambut.<br />3. Vitamin A, B dan E berkombinasi dengan asam amino sebagai bahan utama untuk menguatkan akar rambut dan menumbuhkan rambut dengan cepat. <br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /> <br />DAFTAR PUSTAKA<br /><br />Purwana, Reinhard. (januari 19 2009). Kebotakan dini? Bukan masalah. Diunduh tanggal 5 Desember 2009 dari http://medicastore.com/favicon.ico?a<br /><br />Setiawan, Felisia. (januari 21 2009). Ada apa dengan kebotakan?. Diunduh tanggal 5 Desember 2009 dari http://www.tanyadokteranda.com/ketentuan-penggunaan-situs<br /><br />Forum sains Indonesia. (2008,09,10). Alternative masalah kebotakan rambut. Diunduh tanggal 5 Desember 2009 http://www.bintang-indolab.com/templates/drug/images/body.jpg<br /> <br />http://warnadunia.com/bahas-tuntas-abizz-kebotakan/2 des 09 21.06 <br /><br /> <br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br />Format powerpoint<br />1. Definisi<br />2. Jenis2 kebotakan<br />3. Penyebab<br />4. Patofisiologi <br />5. Gejala (pada pria dan wanita)<br />6. Pengobatan dari obat sampai gizi or makanan<br />7. Mutakhir pengobatannya<br /><br />Untuk tugas makalahnya di tambahi patofisiologi yang norwod Hamilton file kebotakan 1 yang dari internet…..habankhttp://www.blogger.com/profile/09626054388126297040noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-3909943987252109584.post-7894561932373481352010-06-01T06:10:00.000-07:002010-06-01T06:11:18.144-07:00MAKALAHMAKALAH IPTEK MUTAKHIR<br />KANKER<br /><br /><br /><br /> <br /><br /><br /><br /><br />DISUSUN OLEH :<br />1. NOVIANA FAJARWATI (PO 7131107055)<br />2. SULASYI SETYANINGSIH (PO 7131107070)<br /><br /><br />GIZI SWADANA III<br /><br /><br /><br />DEPARTEMEN KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA<br />POLITEKNIK KESEHATAN YOGYAKARTA<br />JURUSAN GIZI<br />2009<br /><br />KANKER<br /><br />A. Pendahuluan<br />Kanker bukanlah suatu penyakit yang ringan. Langkah awal dalam pengobatan kanker adalah deteksi dengan benar bahwa gejala yang muncul pada tubuh pasien adalah benar-benar sel kanker ganas. Deteksi ini bisa dilakukan dengan pemeriksaan biopsy, sehingga langkah pengobatan bisa dilakukan secara cepat dan tepat. Langkah berikutnya adalah terapi pengobatan dengan cara konvensional. Namun pada kenyataannya pengobatan dengan cara ini sering kali kanker belum bisa diatasi secara total. Disinilah peran tanaman obat/herbal. <br />Peran utama herbal adalah meningkatkan daya tahan tubuh pasien dan melokalisir sel-sel kanker sehingga sel-sel kanker tidak mudah menyebar, dan lebih mudah diangkat, juga tidak bersifat toksik sehingga lebih aman untuk tubuh pasien. Contohnya adalah tanaman obat dari ekstrak keladi tikus (Typhonium Flagelliforme). Dalam penggunaannya, tanaman obat ini bisa dipakai bersamaan dengan pengobatan konvensional (pembedahan, kemoterapi, radioterapi dan hormonterapi) atau setelah pengobatan konvensional selesai dilakukan. Karena obat dari ekstrak keladi tikus dapat membantu mengurangi efek pengobatan secara konvensional. <br />Jumlah penderita kanker di Indonesia belum diketahui secara pasti, tetapi peningkatan dari tahun ke tahun dapat dibuktikan sebagai salah satu penyebab kematian. Hanya beberapa kanker yang dapat diobati secara memuaskan, terutama jika diobati saat masih stadium dini. Keberhasilan pengobatan sangat ditentukan oleh jenis kanker, stadium kanker, keadaan umum penderita, dan usaha penderita untuk sembuh. <br />1. Definisi Kanker <br />Kanker adalah suatu penyakit yang disebabkan oleh pertumbuhan sel-sel jaringan tubuh yang tidak normal. Sel-sel kanker akan berkembang dengan cepat, tidak terkendali, dan akan terus membelah diri, selanjutnya menyusup ke jaringan sekitarnya (invasive) dan terus menyebar melalui jaringan ikat, darah, dan menyerang organ-organ penting serta syaraf tulang belakang. Dalam keadaan normal, sel hanya akan membelah diri jika ada penggantian sel-sel yang telah mati dan rusak. Sebaliknya sel kanker akan membelah terus meskipun tubuh tidak memerlukannya, sehingga akan terjadi penumpukan sel baru yang disebut tumor ganas. Penumpukan sel tersebut mendesak dan merusak jaringan normal, sehingga mengganggu organ yang ditempatinya. Kanker dapat terjadi diberbagai jaringan dalam berbagai organ di setiap tubuh, mulai dari kaki sampai kepala. Bila kanker terjadi di bagian permukaan tubuh, akan mudah diketahui dan diobati. Namun bila terjadi didalam tubuh, kanker itu akan sulit diketahui dan kadang - kadang tidak memiliki gejala. Kalaupun timbul gejala, biasanya sudah stadium lanjut sehingga sulit diobati. <br />2. Perbedaan Tumor dan Kanker<br />Tumor ada dua macam yaitu tumor jinak dan tumor ganas. Tumor jinak hanya tumbuh dan membesar, tidak terlalu berbahaya, dan tidak menyebar ke luar jaringan. Sedangkan tumor ganas adalah kanker yang tumbuh dengan cepat dan tidak terkendali dan merusak jaringan lainnya.<br /><br />B. Etiologi <br />Penyebab kanker biasanya tidak dapat diketahui secara pasti karena penyebab kanker dapat merupakan gabungan dari sekumpulan faktor, genetik dan lingkungan. Namun ada beberapa faktor yang diduga meningkatkan resiko terjadinya kanker, sebagai berikut : <br />1. Faktor keturunan<br />Faktor genetik menyebabkan beberapa keluarga memiliki resiko lebih tinggi untuk menderita kanker tertentu bila dibandingkan dengan keluarga lainnya. Jenis kanker yang cenderung diturunkan dalam keluarga adalah kanker payudara, kanker indung telur, kanker kulit dan kanker usus besar. Sebagai contoh, risiko wanita untuk menderita kanker meningkat 1,5 s/d 3 kali jika ibunya atau saudara perempuannya menderita kanker payudara. <br />2. Faktor Lingkungan<br />a) Merokok sigaret meningkatkan resiko terjadinya kanker paru - paru, mulut, laring (pita suara), dan kandung kemih.<br />b) Sinar Ultraviolet dari matahari<br />c) Radiasi ionisasi (yang merupakan karsinogenik) digunakan dalam sinar rontgen dihasilkan dari pembangkit listrik tenaga nuklir dan ledakan bom atom yang bisa menjangkau jarak yang sangat jauh. Contoh, orang yang selamat dari bom atom di Hiroshima dan Nagasaki pada Perang Dunia II, berisiko tinggi menderita kanker sel darah, seperti Leukemia. <br />3. Faktor Makanan yang mengandung bahan kimia.<br />Makanan juga dapat menjadi faktor risiko penting lain penyebab kanker, terutama kanker pada saluran pencernaan. Contoh jenis makanan yang dapat menyebabkan kanker adalah : <br />a) Makanan yang diasap dan diasamkan (dalam bentuk acar) meningkatkan resiko terjadinya kanker lambung<br />b) Minuman yang mengandung alkohol menyebabkan berisiko lebih tinggi terhadap kanker kerongkongan.<br />c) Zat pewarna makanan<br />d) Logam berat seperti merkuri yang sering terdapat pada makanan laut yang tercemar seperti: kerang, ikan, dsb.<br />e) Berbagai makanan (manis,tepung) yang diproses secara berlebihan.<br />4. Virus<br />Virus yang dapat dan dicurigai menyebabkan kanker antara lain :<br />a) Virus Papilloma menyebabkan kutil alat kelamin (genitalis) agaknya merupakan salah satu penyebab kanker leher rahim pada wanita. <br />b) Virus Sitomegalo menyebabkan Sarkoma Kaposi (kanker sistem pembuluh darah yang ditandai oleh lesi kulit berwarna merah) <br />c) Virus Hepatitis B dapat menyebabkan kanker hati. <br />d) Virus Epstein - Bar (di Afrika) menyebabkan Limfoma Burkitt, sedangkan di China virus ini menyebabkan kanker hidung dan tenggorokan. Ini terjadi karena faktor lingkungan dan genetik. <br />e) Virus Retro pada manusia misalnya virus HIV menyebabkan limfoma dan kanker darah lainnya. <br />5. Infeksi<br />a) Parasit Schistosoma (bilharzia) dapat menyebabkan kanker kandung kemih karena terjadinya iritasi menahun pada kandung kemih. Namun penyebab iritasi menahun lainnya tidak menyebabkan kanker. <br />b) Infeksi oleh Clonorchis yang menyebabkan kanker pankreas dan saluran empedu.<br />c) Helicobacter Pylori adalah suatu bakteri yang mungkin merupakan penyebab kanker lambung, dan diduga bakteri ini menyebabkan cedera dan peradangan lambung kronis sehingga terjadi peningkatan kecepatan siklus sel. <br />6. Faktor perilaku<br />a) Perilaku yang dimaksud adalah merokok dan mengkonsumsi makanan yang banyak mengandung lemak dan daging yang diawetkan juga peminum minuman beralkohol. <br />b) Perilaku seksual yaitu melakukan hubungan intim diusia dini dan sering berganti ganti pasangan. <br />7. Gangguan keseimbangan hormonal<br />Hormon estrogen berfungsi merangsang pertumbuhan sel yang cenderung mendorong terjadinya kanker, sedangkan progesteron melindungi terjadinya pertumbuhan sel yang berlebihan. Ada kecenderungan bahwa kelebihan hormon estrogen dan kekurangan progesteron menyebabkan meningkatnya risiko kanker payudara, kanker leher rahim, kanker rahim dan kanker prostat dan buah zakar pada pria. <br />8. Faktor kejiwaan, emosional<br />Stres yang berat dapat menyebabkan ganggguan keseimbangan seluler tubuh. Keadaan tegang yang terus menerus dapat mempengaruhi sel, dimana sel jadi hiperaktif dan berubah sifat menjadi ganas sehingga menyebabkan kanker. <br />9. Radikal bebas<br />Radikal bebas adalah suatu atom, gugus atom, atau molekul yang mempunyai electron bebas yang tidak berpasangan dilingkaran luarnya. Sumber - sumber radikal bebas yaitu : <br />a) Radikal bebas terbentuk sebagai produk sampingan dari proses metabolisme.<br />b) Radikal bebas masuk ke dalam tubuh dalam bentuk racun-racun kimiawi dari makanan , minuman, udara yang terpolusi, dan sinar ultraviolet dari matahari.<br />c) Radikal bebas diproduksi secara berlebihan pada waktu kita makan berlebihan (berdampak pada proses metabolisme) atau bila kita dalam keadaan stress berlebihan, baik stress secara fisik, psikologis,maupun biologis.<br /><br /><br /><br /><br /><br />C. Patofisiologi<br />Kanker adalah suatu kondisi di mana sel telah kehilangan kendali terhadap mekanisme normalnya, sehingga mengalami pertumbuhan yang abnormal, cepat dan tidak terkendali. Sel-sel kanker tersebut akan terus membelah (multiplikasi) tanpa mengikuti faal (fungsi) tubuh normal.<br />Kanker dapat mengenai seluruh bagian tubuh manusia, misalnya mata, kulit, mulut, leher (thyroid), jantung, paru, usus, hati, sistem reproduksi dan sebagainya.<br />Sejalan dengan pertumbuhan dan perkembangbiakannya, sel-sel kanker membentuk suatu massa dari jaringan ganas yang menyusup ke jaringan di dekatnya (invasif) dan bisa menyebar ( metastasis ) ke seluruh tubuh. <br />Sel - sel kanker dibentuk dari sel - sel normal dalam suatu proses rumit yang disebut transformasi. Adapun proses transformasi ini terdiri atas :<br />1. Tahap inisisasi<br />Pada tahap inisiasi terjadi suatu perubahan dalam bahan genetik sel yang memancing sel menjadi ganas. Perubahan dalam bahan genetik sel ini disebabkan oleh suatu agen yang disebut karsinogen, dapat berupa bahan kimia, virus, radiasi (penyinaran) atau sinar matahari. Tetapi tidak semua sel memiliki kepekaan yang sama terhadap suatu karsinogen. Kelainan genetik dalam sel atau bahan lainnya yang disebut promotor, menyebabkan sel lebih rentan terhadap suatu karsinogen. Bahkan gangguan fisik menahun pun bisa membuat sel menjadi lebih peka untuk mengalami suatu keganasan.<br />2. Tahap promosi<br />Pada tahap promosi, sel yang telah mengalami inisiasi tadi akan berubah menjadi ganas. Contoh promotor berupa : ko-karsinogenik (gaya hidup tak sehat). Karena itu diperlukan beberapa faktor untuk terjadinya keganasan (faktor penyebab dan resiko). Sel yang belum melewati tahap inisiasi tidak akan terpengaruh oleh promosi.<br />Faal Kanker dibentuk oleh dua faktor yang dianggap berperan penting dalam membentuk kanker yakni :<br />1. Karsinogenik<br />Penyelidikan mengenai karsinogenik menghasilkan banyak pengetahuan pada asal alami karsinogenesis. Pengertian tersebut dapat diringkas menjadi :<br />• Sebagian besar bahan karsinogenik adalah mutagen<br />• Sifat karsinogenik tergantung dosis dan dosis multiple terbagi sifat karsinogeniknya setara dengan bahan yang diberikan tunggal<br />• Sifat karsinogenik dapat ditingkatkan dengan agen promotor dan agar efektif promotor harus mengikuti inisiator (dalam hal ini bahan kimia)<br />• Dua atau lebih inisiator (bahan kimia ditambah karsinogen lainnya) dapat menginduksi transformasi ganas (karsinogenesis).<br />Karsinogenik sebagai inisiator akan berinteraksi dengan DNA untuk menginduksi terjadinya mutasi dan lebih bersifat ireversibel. Pemaparan beruntun inisiator dapat memperbanyak mutasi baru. Tambahan, adanya promotor yang menginduksi replikasi sel dan memungkinkan terjadinya seleksi klon menyimpang. Adanya replikasi sel yang menyimpang ini menyebabkan kesalahan genetik sehingga memantapkan transformasi keganasan.<br />Diperkirakan mutasi pertama kali menyebakan imortalisasi dan terlepas dari kendali pertumbuhan, sehingga hal ini memberi kesempatan untuk terjadinya mutasi selanjutnya dan terjadilah onkogenik. <br />2. Genetik<br />Gen merupakan unit fungsional dasar yang diturunkan dari orang tua kepada anaknya. Gen tersebut dibuat di dalam deoxyribonucleic acid (DNA) dan di dalamnya terdapat kromosom. Gen memiliki peran langsung dalam menentukan warna kulit atau mata, golongan darah dan saat ini perkembangan kanker.<br />Karena beberapa alasan, gen dapat berubah (mutasi). Beberapa mutasi ini tidak berpengaruh terhadap sel, namun di saat lain sangat berbahaya atau bahkan membantu sel tubuh. <br />Mutasi ada dua, yakni :<br />• Mutasi yang diturunkan (germline mutation)<br /> Adalah mutasi yang diturunkan oleh orang tua kepada anaknya. Semua sel orang tua terekspresi pada tubuh anak, termasuk sel telur dan sperma dan hal ini berlangsung turun - temurun. Mutasi turunan ini berperan 5 - 10% dalam kasus kanker yang disebut sebagai familial cancer.<br />• Mutasi dapatan (acquired mutation)<br />Adalah mutasi yang terjadi pada masa kehidupan seseorang, bukan turunan. Mutasi ini dapat disebabkan oleh tembakau, terpapar sinar UV, bahan kimia.<br />Mutasi ini tidak terjadi pada seluruh tubuh.<br /> Berikut adalah tipe gen yang memberi kontribusi terhadap terjadinya kanker :<br />• Gen supresor tumor<br />Gen ini merupakan gen protektif, di mana berfungsi menekan pertumbuhan sel dengan mengevaluasi tingkat pembelahan sel, memperbaiki ketidakcocokan DNA dan mengendalikan kematian sel (apoptosis).<br />Ketika gen supresor tumor mengalami mutasi (baik pengaruh genetik atau lingkungan), sel - sel tubuh mengalami pertumbuhan terus - menerus dan membentuk sebuah tumor. Contohnya : BRCA1, BRCA2, and p53.<br />• Oncogene<br />Gen ini membuat sel yang menjadi sel kanker. Contohnya : HER2/neu dan ras.<br />• Gen yang memperbaiki DNA<br />Gen ini memperbaiki setiap kesalahan replikasi DNA. Dan bila ada kerusakan yang tidak sempat diperbaik saat terjadi mutasi, dapat memimpin ke arah keadaan kanker.<br /><br />METASTASIS<br />Sel - sel kanker dapat merusak barier tempat asalnya dan kemudian menyebar ke bagian tubuh yang lain, disebut dengan metastasis. Penamaan metastasis dari sel kanker tersebut disesuaikan dengan tempat asal sel tersebut. Misalnya, jika sel kanker payudara menyebar ke paru, maka penamaannya metastasis kanker payudara, bukan kanker paru.<br /> Penyebaran kanker dapat melalui :<br />1. Menyebar melalui rongga tubuh<br />Penyebaran ini maksudnya sel kanker menyebar pada bagian tubuh yang memiliki rongga (misalnya, usus, ovarium dan lainnya), di mana kanker ini dapat menembus organ berrongga tersebut dengan mengadakan invasi dan kemudian tertanam pada tempat yang baru.<br />2. Limfogen (melalui aliran limfe)<br />Dalam keadaan normal, kelenjar getah bening ukurannya kecil, berbentuk seperti sekelompok kacang dan terdapat di berbagai bagian tubuh (leher, selangkangan dan ketiak). Kelenjar getah bening ini berperan penting sebagai sistem pertahanan tubuh (membersihkan aliran limfe dari kuman atau pun dalam hal ini sel kanker). <br />Bila pertahanan tubuh ini rusak atau tidak lagi dapat melaksanakan fungsinya dengan baik, maka kelenjar ini menjadi satu media yang membantu penyebaran kanker.<br />Kelenjar getah bening ini pun dapat menjadi ukuran dalam menentukan prognosis (harapan kesembuhan) kanker.<br />Dan melalui aliran limfe ini pula, sel kanker dapat menyebar secara hematogen (aliran darah) melalui pertemuan di ductus thorasicus.<br />3. Hematogen (melalui aliran darah)<br />Penyebaran melalui aliran darah ini merupakan hal yang paling ditakuti karena dapat menyebar ke seluruh bagian tubuh lain, dekat atau jauh.<br /><br /> <br />1. Induksi : ada perubahan sel (displasia)<br />2. Kanker in situ : pertumbuhan kanker terbatas pada jaringan tempat asalnya tumbuh<br />3. Kanker invasif : sel kanker telah menembus membran basal dan masuk ke jaringan atau organ sekitar yang berdekatan<br />4. Metastasis : Penyebaran kanker ke kelenjar getah bening dan atau organ lain yang<br />STADIUM<br />Stadium adalah proses dalam menemukan seberapa banyak kanker yang terdapat dalam tubuh dan di mana saja lokasinya. Penetuan stadium dengan mnggunakan beberapa system yang salah satunya adalah sistem TNM. Sistem TNM merupakan sistem standar dalam menentukan stadium kanker. Pada sistem TNM, kanker ditandai dengan kategori T, N dan M. Penjelasannya sebagai berikut :<br />1. Kategori T (Tumor)<br />T menggambarkan tumor primer, dengan pembagian :<br />• Tx berarti tumor tidak terukur<br />• T0 berarti tidak terdapat bukti bahwa tumor ada<br />• Tis berarti kanker in situ (kanker belum menyebar ke jaringan sekitarnya)<br />• T1, T2, T3, T4 berarti ukuran tumor dan level invasi kanker terhadap jaringan sekitarnya. <br />2. Kategori N (Lymph Node)<br />N menggambarkan penyebaran kanker ke kelenjar getah bening setempat<br />• Nx berarti penyebaran kanker ke kelenjar getah bening tak dapat dievaluasi / ditentukan<br />• N0 berarti kelenjar getah bening setempat tidak mengandung kanker<br />• N1, N2, N3 menggambarkan ukuran, lokasi dan / atau jumlah kelenjar getah bening yang terpengaruh.<br />3. Kategori M (Metastase)<br />M menggambarkan metastasis (penyebaran kanker ke tubuh bagian lain).<br />• Mx berarti penyebaran kanker tidak dapat ditentukan.<br />• M0 berarti tidak terdapat bukti bahwa metastasis ada<br />• M1 berati penyebaran jauh kanker terdapat.<br />Setiap jenis kanker memiliki versi tersendiri dalam penentuan stadiumnya. Jadi, huruf dan angka tidak selalu berati sama dengan jenis kanker lain. Misalnya, pada beberapa kanker, pembagian stadium dapat dibagi lagi menjadi T3a dan T3b, sementara yang lain tidak memiliki kategori N3. Selain sistem TNM, terdapat penggolongan jenis lain berupa stadium I, II, II atau IV (kadang - kadang stadium ini dapat dibagi lagi, misalnya stadium IIa atau IIIb).<br />D. Gejala<br />Gejala kanker secara umum yang timbul tergantung dari jenis atau organ tubuh yang terserang yaitu :<br />1. Nyeri dapat terjadi akibat tumor yang meluas menekan syaraf dan pembuluh darah disekitarnya, reaksi kekebalan dan peradangan terhadap kanker yang sedang tumbuh, dan nyeri juga disebabkan karena ketakutan atau kecemasan. <br />2. Pendarahan atau pengeluaran cairan yang tidak wajar, misalnya ludah, batuk atau muntah yang berdarah, mimisan yang terus menerus, cairan puting susu yang mengandung darah, cairan liang senggama yang berdarah (diantara menstruasi/menopause) darah dalam tinja, darah dalam air kemih. <br />3. Perubahan kebiasaan buang air besar <br />4. Penurunan berat badan dengan cepat akibat kurang lemak dan protein (kaheksia) <br />5. Benjolan pada payudara <br />6. Gangguan pencernaan, misalnya sukar menelan yang terus menerus. <br />7. Tuli, atau adanya suara - suara dalam telinga yang menetap. <br />8. Luka yang tidak sembuh - sembuh <br />9. Perubahan tahi lalat atau kulit yang mencolok<br />Gejala Kanker secara khusus berdasarkan jenis kanker yang dialami : <br />1. Kanker Otak <br />Sakit kepala yang sangat pada pagi hari dan berkurang pada tengah hari, epilepsi, lemah, mati rasa pada lengan dan kaki, kesulitan berjalan,mengantuk, perubahan tidak normal pada penglihatan, perubahan pada kepribadian, perubahan pada ingatan, sulit bicara. <br />2. Kanker mulut<br />Terdapat sariawan pada mulut, lidah dan gusi yang tidak kunjung sembuh. <br />3. Kanker Tenggorokan<br />Batuk terus menerus, suara serak atau parau. <br />4. Kanker Paru-paru<br />Batuk terus - menerus, dahak bercampur darah, rasa sakit di dada. <br />5. Kanker Payudara<br />Adanya benjolan, penebalan kulit (tickening), perubahan bentuk, gatal - gatal, kemerahan, rasa sakit yang tidak berhubungan dengan menyusui atau menstruasi. <br />6. Kanker saluran pencernaan<br />Adanya darah dalam kotoran yang ditandai dengan warna merah terang atau hitam, rasa tidak enak terus - menerus pada perut, benjolan pada perut, rasa sakit setelah makan, penurunan berat badan. <br />7. Kanker Rahim (uterus)<br />Pendarahan diperiode - periode datang bulan, pengeluaran darah saat mens yang tidak seperti biasanya dan rasa sakit yang luar biasa. <br /><br />8. Kanker Indung Telur (ovarium)<br />Pada fase lanjut barulah muncul gejala. <br />9. Kanker Kolon<br />Pendarahan pada rectum, ada darah pada kotoran, perubahan buang air besar (diare yang terus menerus atau sulit buang air besar). <br />10. Kanker Kandung Kemih atau Ginjal<br />Ada darah pada air seni, rasa sakit atau perih pada saat buang air kecil, keseringan atau kesulitan buang air kecil, sakit pada kandung kemih. <br />11. Kanker prostat<br />Kencing tidak lancar, rasa sakit yang terus menerus pada pinggang belakang, penis dan paha atas. <br />12. Kanker buah zakar/testis<br />Adanya benjolan pada buah zakar, ukuran penampungan pada buah zakar yang membesar dan menebal secara mendadak, sakit pada perut bagian bawah, dada membesar atau melembek. <br />13. Limfoma<br />Kelenjar getah bening membesar, kenyal seperti karet, gatal - gatal, berkeringat pada waktu tidur malam, demam atau penurunan berat badan tanpa sebab yang jelas. <br />14. Leukemia<br />Pucat, kelelahan kronis, penurunan berat badan, sering kena infeksi, mudah terluka, rasa sakit pada tulang dan persendian, mimisan. <br />15. Kanker Kulit<br />Benjolan pada kulit yang menyerupai kutil (mengeras seperti tanduk), infeksi yang tidak sembuh - sembuh, bintik-bintik berubah warna dan ukuran, rasa sakit pada daerah tertentu, perubahan warna kulit berupa bercak-bercak. <br />16. Komplikasi<br />Komplikasi yang sering terjadi pada pasien kanker adalah infeksi yaitu pada pengidap kanker stadium lanjut. Infeksi terjadi akibat kekurangan protein dan zat gizi lainnya serta penekanan sistem imun yang sering terjadi setelah pengobatan konvensional.<br /><br /><br /><br />E. Terapi<br />Pada masa ini berbagai macam pengobatan untuk kanker telah berkembang dan dapat dipilih berdasarkan jenis, tempat, dan stadium kanker tersebut. Adanya perkembangan pengobatan kanker tersebut mampu meningkatkan umur harapan hidup penderita kanker, meningkatkan kualitas hidup dan juga mempersempit kemungkinan timbulnya efek samping pengobatan. <br />Pengobatan kanker sendiri merupakan pengobatan multidisiplin (ditangani oleh berbagai macam dokter spesialis), di antaranya ahli onkologi, ahli bedah, ahli radiologi terapi, ahli penyakit dalam (termasuk hematologist), ahli rehabilitasi medik, psikiater, fisioterapis, ahli gizi, dan paramedis lainnya.<br />Pengobatan kanker tersebut bertujuan untuk menyerang sel - sel kanker dan juga menghambat atau bahkan menghentikan penyebaran kanker.<br />Metode pengobatan kanker disesuaikan dengan banyak hal seperti jenis, lokasi dan stadium kanker, kondisi kesehatan dan fasilitas yang ada. Metode yang paling sering dan umum digunakan adalah operasi, radioterapi dan kemoterapi.<br /> Metode pengobatan kanker melalui medis meliputi :<br />1. Operasi / pembedahan <br />Saat ini, teknik operasi pengobatan kanker tidak lagi hanya menggunakan pisau sebagai sarana untuk mengangkat kanker. Beberapa teknik baru sebagai media operasi yaitu :<br />a. Laser surgery<br />Laser adalah suatu energi cahaya berkekuatan tinggi dan terfokus yang digunakan sebagai media operasi yang tepat, seperti memperbaiki kerusakan, memotong jaringan, vaporize (membakar dan merusak) kanker.Keuntungan dari laser surgery : hanya sedikit jaringan yang dipotong.<br />Teknik ini sering digunakan untuk mengobati kanker pada mata, laring, faring, cervix, hati, kulit atau rektum.<br />b. Cryosurgery<br />Cryosurgery ini menggunakan penyemprotan cairan nitrogen untuk membekukan atau membunuh sel- sel abnormal.Teknik ini juga dapat dipakai untuk kondisi pre kanker.Umumnya sering untuk pengobatan kanker cervix atau prostat.<br /><br /><br />c. Electrosurgey<br />Listrik berfrekuensi tinggi (high frequency electrical) dapat digunakan untuk merusak sel- sel kanker.Umumnya digunakan untuk pengobatan kanker mulut atau kulit.<br />d. Mohs surgery<br />Mohs surgery atau pembedahan di bawah kendali mikroskop merupakan cara mengangkat satu lapis tipis kulit yang terkena kanker dan kemudian dilihat di bawah mikroskop, bila sampai kepada lapisan yang normal, maka pembedahan dihentikan.<br />Dahulu teknik ini dinamakan chemosurgery, karena sebelum dipotong, jaringan diberi suatu zat kimia tertentu. Namun zat kimia tersebut bukanlah kemoterapi kanker.Umumnya teknik ini dipakai untuk kanker kulit atau mata, sebagai alasan menyelamatkan jaringan normal sebanyak mungkin.<br />e. Laparoscopic surgery<br />Laparaskop merupakan tabung berukuran panjang, berdiameter kecil dan fleksibel yang dimasukkan ke dalam tubuh melalui insisi kecil pada tubuh. Biasanya teknik ini dipakai untuk biopsi, namun saat ini sedang dikembangkan untuk pengobatan.<br />Keuntungan : dapat melakukan pembedahan tanpa perlu membuat insisi yang lebar, mencegah hilangnya banyak cairan tubuh (darah) saat pembedahan, mengurangi timbulnya nyeri akibat pembedahan dan memperpendek waktu rawat inap. Teknik ini sudah dipakai untuk mengobati kanker kandung empedu dan juga sedang dikembangkan pada kanker kandung kemih, usus besar, prostat dan? ginjal, <br />f. Thorascopic surgery<br />Thoraskop merupakan alat yang mirip dengan laparaskop, namun tidak fleksibel melainkan kaku serta terdapat kamera kecil di unjungnya. Alat ini dimasukkan melalui insisi kecil pada dada setelah paru dikempiskan, dan pada area tujuan dapat dilakukan biopsi, mengeluarkan cairan atau mengangkan tumor berukuran kecil. Teknik operasi ini keberhasilannya sama dengan operasi membuka rongga tubuh (open thoracotomy) pada stadium dini kanker paru.<br /><br /><br />g. Lainnya<br />Operasi lain yang masih dalam pengembangan berupa stereotactic radiation therapy yang menggunakan cyberknife atau gamma knife, di mana operasi ini menggunakan mesin radiasi yang memotong tumor dari beberapa sudut berbeda. Pengobatan kanker yang menggunakan teknik ini adalah kanker otak, kanker area kepala, leher, paru dan tulang belakang.<br />2. Non Operasi, berupa : radioterapi, kemoterapi, radio - kemoterapi, imunoterapi, terapi hormon, paliatif, terapi eksperimental (terapi anti sense, terapi genetik, terapi target (targeted treatment), terapi anti angiogenesis, terapi hipertermia, terapi fotodinamik), alternatif (akupuntur, terapi herbal, terapi pijat, vitamin dan spesial diet, visualisasi, meditasi, pengobatan spiritual)<br />Beberapa kanker mungkin hanya memerlukan pengobatan tunggal, lainnya mungkin pengobatan kombinasi atau komplemen.<br /> Terapi yang ada mungkin bekerja secara lokal atau sistemik :<br />1. Terapi lokal : penghancuran atau pengangkatan tumor terbatas pada satu area tubuh. Misalnya, metode operasi atau radiasi untuk mengecilkan ukuran tumor. <br />2. Terapi sistemik : penghancuran sel - sel di seluruh tubuh melalui aliran darah. Misalnya, kemoterapi, terapi hormon.<br />Pengobatan kanker tersebut dapat dilakukan di dalam dan di luar rumah sakit (berobat jalan).<br />Dan setelah menjalani pengobatan kanker utama (main therapy) dan kanker dinyatakan telah sembuh, maka penatalaksanaan kanker berikutnya berupa tahap rehabilitasi.<br />Pengobatan kanker sering kali menimbulkan berbagai efek samping (mual, nyeri dan berat badan turun) dan untuk itu diperlukan dukungan dalam mengatasi efek samping pengobatan yang timbul serta kemauan yang kuat untuk dapat meneruskan pengobatan kanker tersebut sampai tuntas.<br /> <br />Asuhan Gizi Penderita Kanker<br />Gangguan gizi yang dapat timbul pada pasien kanker disebabkan kurangnya asupan makanan, tindakan medik, efek psikologi, dan pengaruh keganasan sel kanker. Gejala kanker dalam keadaan berat dinamakan cachexia yang manifestasinya secara klinis adalah anoreksia, penurunan berat badan, gangguan refleks, lemas, anemia, kurang energi protein, dan keadaan deplesi secara eseluruhan.<br />Beberapa faktor penyebab gangguan gizi yang timbul pada penyakit kanker adalah :<br />1. Kurang nafsu makan yang disebabkan oleh factor psikologik dan lost response terhadap kanker berupa cepat kenyang atau bperubahan pada indra pengecap (lidah)<br />2. Gangguan asupan makan dan gangguan gizi karena :<br />1) Gangguan pada saluran cerna, dapat berupa kesulitan mengunyah, menelan, dan gangguan penyumbatan<br />2) Gangguan absorpsi zat gizi<br />3) Kehilangan cairan dan elektrolit karena muntah-muntah dan diare<br />3. Perubahan metabolisme protein, karbohidrat, dan lemak<br />4. Peningkatan pengeluaran energi<br />Tujuan diet penyakit kanker adalah untuk mencapai dan mempertahankan status gizi optimal dengan cara :<br />1. Memberikan makanan yang seimbang sesuai dengan keadaan penyakit serta daya terima pasien.<br />2. Mencegah atau menghambat penurunan berat badan secara berlebihan<br />3. Mengurangi rasa mual, muntah, dan diare<br />4. mengupayakan perubahan sikap dan perilaku sehat terhadap makanan oelh pasien dna keluarganya<br />Syarat-syarat diet penyakit kanker adalah :<br />1. Energi tinggi, yaitu 36 kkal/kig BB untuk laki-laki dan 32 kkal/kg BB untuk perempua. Apabila pasien berada dalam keadaan gizi kurang, maka kebutuhan energi menjadi 40 kkal/kg BB untuk laki-laki dan 36 kkal/kg BB untuk perempuan.<br />2. Protein tinggi, yaitu 1-1,5 g/kg BB<br />3. Lemak sedang, yaitu 15-20% dari kebuthan energi total<br />4. Karbohidrat cukup, yaitu sisa dari kebutuhan energi total<br />5. Vitamin dan mineral cukup, terutama vitamin A, B kompleks, C dan E. Bila perlu ditambah dalam bentuk suplemen<br />6. Rendah iodium bila sedang menjalani medikasi radioaktif interna<br />7. Bila imunitas menurun (leukosit< 10 ul) atau pasien akan menjalani kemotrapi agresif, pasien harus mendapat makanan steril.<br />8. Porsi makan kecil dan sering diberikan<br />Jenis Diet dan Indikasi Pemberian<br />Jenis diet untuk pasien penyakit kanker sangat tergantung pada keadaan pasien, perkembangan penyakit, dan kemampuan untuk menerima makanannya. Oleh sebab itu, diet hendaknya disusun secara individual. Jenis makanan atau diet yang diberikan hendaknya memperhatikan nafsu makan, perubahan indra kecap, rasa cepat kenyang, mual, penurunan berat badan, dan akibat pengobatan. Sesuai dengan keadaan pasien, makanan dapat diberikan secara oral, enteral, maupun parenteral. Makanan dapat diberikan dalam bentuk Makanan Padat, Makanan Cair, atau kombinasi. Untuk Makanan Padat dapat berbentuk Makanan Biasa, Makanan Lunak, atau Makanan Lumat.<br />Pedoman Untuk Mengatasi Masalah Makan<br />1. Bila pasien menderita anoreksia<br />a) Dianjurkan makan makanan yg disukai atau dapat diterima walaupun tidak lapar. <br />b) Hindari minum sebelum makan. <br />c) Tekankan bahwa makan merupakan bagian penting dalam program pengobatan. <br />d) Olahraga sesuai dengan kemampuan penderita.<br />2. Bila ada perubahan pengecapan<br />a) Makanan atau minuman diberikan dengan suhu kamar atau dingin.<br />b) Tambahkan bumbu makanan yang sesuai untuk menambah rasa.<br />c) Minuman diberikan dalam bentuk segar seperti sari buah atau jus.<br />3. Bila ada kesulitan mengunyah atau menelan <br />a) Minum dengan menggunakan sedotan. <br />b) Makanan atau minuman diberikan dengan suhu kamar atau dingin. <br />c) Bentuk makanan saring atau cair. <br />d) Hindari makanan terlalu asam atau asin.<br />4. Bila mulut kering<br />a) Makanan atau minuman diberikan dengan suhu dingin. <br />b) Bentuk makanan cair.<br />c) Kunyah permen karet atau hard candy.<br />5. Bila mual dan muntah<br />a) Beri makanan kering. <br />b) Hindari makanan yang berbau merangsang. <br />c) Hindari makanan lemak tinggi. <br />d) Makan dan minum perlahan-lahan.<br />e) Hindari makanan atau minuman terlalu manis. <br />f) Batasi cairan pada saat makan. <br />g) Tidak tiduran setelah makan. <br /><br />DAFTAR PUSTAKA<br /><br />Almatsier, Sunita.2005. Penuntun Diet. Jakarta : PT Gramedia Pustaka Utama<br /><br />http://www.cancerhelps.com<br /><br />Dr. Ananto Sidohutomo dengan website http://www.bidadariku.comhabankhttp://www.blogger.com/profile/09626054388126297040noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-3909943987252109584.post-26953709580842336652010-06-01T06:09:00.000-07:002010-06-01T06:10:20.600-07:00MAKALAHTUGAS IPTEK MUTAKHIR<br />DIABETES MELLITUS<br /><br /><br /><br /> <br /><br /><br /><br />Disusun oleh kelompok X:<br />REFIANA PUTRI S. (7062)<br />RINA LESTARI (7064)<br />WIWIN KUSANTI (7073)<br /><br />GIZI/SWADANA/III<br /><br /><br /><br /><br />DEPARTEMEN KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA<br />POLITEKNIK KESEHATAN YOGYAKARTA<br />JURUSAN GIZI<br />2009<br /><br />DIABETES MELLITUS<br /><br />A. Pendahuluan<br />Diabetes mellitus merupakan suatu penyakit kronik yang kompleks yang melibatkan kelainan metabolisme karbohidrat, protein, dan lemak dan berkembangnya komplikasi makrovaskuler dan neurologis. Dalam sumber buku lain, diabetes mellitus adalah sekelompok kelainan yang ditandai oleh peningkatan kadar glukosa darah (hiperglikemia) yang terdapat penurunan dalam kemampuan untuk berespon terhadap insulin dan atau penurunan atau tidak terdapatnya pembentukan insulin oleh pankreas.<br />Diabetes mellitus juga didefinisikan sebagai keadaan hiperglikemia kronik yang ditandai oleh ketiadaan absolute insulin atau intensitivitas sel terhadap insulin disertai berbagai kelainan metabolik akibat gangguan hormonal, yang menimbulkan berbagai komplikasi kronik pada mata, ginjal, saraf, dan pembuluh darah, disertai lesi pada membran basalis dalam pemeriksaan dengan mikroskop elektron. Diabetes melitus sering disebut sebagai the great imitator, karena penyakit ini dapat mengenai semua organ tubuh dan menimbulkan berbagai macam keluhan, gejalanya sangat bervariasi. Diabetes melitus jika tidak ditangani dengan baik akan mengakibatkan timbulnya komplikasi pada berbagai organ tubuh seperti mata, ginjal, jantung, pembuluh darah kaki, syaraf, dan lain-lain.<br />Menurut Almatsier (2006), diabetes mellitus adalah kumpulan gejala yang timbul pada seseorang yang mengalami peningkatan kadar gula (glukosa) darah akibat kekurangan hormon insulin secara absolut atau relatif. <br />Secara epidemiologi, diperkirakan pada tahun 2030 prevalensi Diabetes Melitus (DM) di Indonesia mencapai 21,3 juta orang (Diabetes Care, 2004). Berdasar hasil Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) tahun 2007, diperoleh bahwa hasil proporsi penyebab kematian akibat DM pada kelompok usia 45-54 tahun di daerah perkotaan menduduki rangking ke-2 yaitu 14,7%. DM menduduki ranking ke-6 yaitu 5,8% penyebab kematian di daerah pedesaan. <br /><br />B. Etiologi<br />Faktor yang banyak berperan dalam penyebab resistensi insulin pada diabetes, antara lain:<br />a. Kelainan genetik<br />Diabetes dapat menurun menurut silsilah keluarga yang mengidap diabetes. Ini terjadi karena DNA pada orang diabetes mellitus akan ikut diinformasikan pada gen berikutnya terkait dengan penurunan produksi insulin. <br />b. Usia<br />Umumnya manusia mengalami penurunan fisiologis yang secara dramatis menurun dengan dengan cepat pada usia setelah 40 tahun. Penurunan ini yang akan berisiko pada penurunan fungsi endokrin pankreas untuk memproduksi insulin. <br />c. Gaya hidup stres<br />Stres kronis cenderung membuat seseorang mencari makanan yang cepat saji yang kaya pengawet, lemak, dan gula. Makanan ini berpengaruh besar terhadap kerja pankreas. Stres juga akan meningkatkan kerja metabolisme dan meningkatkan kebutuhan akan sumber energi yang berakibat pada kenaikan kerja pankreas. Beban yang tinggi membuat pankreas mudah rusak hingga berdampak pada penurunan insulin. <br />d. Pola makan yang salah<br />Kurang gizi atau kelebihan berat badan sama-sama meningkatkan risiko terkena diabetes. Malnutrisi dapat merusak pankreas, sedangkan obesitas meningkatkan gangguan kerja atau resistensi insulin. Pola makan yang tidak teratur dan cenderung terlambat juga akan berperanan pada ketidakstabilan kerja pankreas. <br />e. Obesitas<br />Obesitas mengakibatkan sel-sel beta pankreas mengalami hipertropi yang akan berpengaruh terhadap penurunan produksi insulin. Hipertropi pankreas disebabkan karena peningkatan beban metabolisme glukosa pada penderita obesitas untuk mencukupi energi yang terlalu banyak.<br />f. Infeksi <br />Masuknya bakteri atau virus ke dalam pankreas akan berakibat rusaknya sel-sel pankreas. Kerusakan ini berakibat pada penurunan fungsi pankreas. <br />g. Kelainan sel beta pankreas, berkisar dari hilangnya sel beta sampai kegagalan sel beta melepas insulin.<br />h. Faktor – faktor lingkungan yang mengubah fungsi sel beta, antara lain agen yang dapat menimbulkan infeksi, diet dimana pemasukan karbohidrat dan gula yang diproses secara berlebihan, obesitas dan kehamilan.<br />i. Gangguan sistem imunitas. Sistem ini dapat dilakukan oleh autoimunitas yang disertai pembentukan sel – sel antibodi antipankreatik dan mengakibatkan kerusakan sel – sel penyekresi insulin, kemudian peningkatan kepekaan sel beta oleh virus.<br />j. Kelainan insulin. Pada pasien obesitas, terjadi gangguan kepekaan jaringan terhadap insulin akibat kurangnya reseptor insulin yang terdapat pada membran <br /><br /> <br />C. Patofisiologi<br />Sebagian besar patologi diabetes mellitus dapat dihubungkan dengan efek utama kekurangan insulin, yaitu:<br />1. Pengurangan penggunaan glukosa oleh sel-sel tubuh, yang mengakibatkan peningkatan konsentrasi glukosa darah sampai setinggi 300-1200 mg/100ml.<br />2. Peningkatan mobilisasi lemak dan daerah penyimpanan lemak sehingga menyebabkan kelainan metabolisme lemak maupun pengendapan lipid pada dinding vaskuler. <br />3. Pengurangan protein dalam jaringan tubuh.<br />Diabetes Mellitus adalah keadaan dimana tubuh tidak menghasilkan atau memakai insulin sebagaimana mestinya. Insulin adalah hormon yang membawa glukosa darah kedalam sel-sel dan menyimpannya sebagai glikogen. Insulin memegang peranan penting yaitu berfungsi memasukkan glukosa kedalam sel untuk selanjutnya dapat digunakan sebagai bahan bakar. Insulin adalah hormon yang dikeluarkan oleh sel beta di pankreas. Insulin yang dikeluarkan oleh sel beta tadi dapat diibaratkan sebagai anak kunci yang dapat membuka pintu masuknya glukosa dialirkan menjadi tenaga, bila insulin tidak aktif maka glukosa tidak dapat masuk ke dalam sel, tetapi berada didalam pembuluh darah sehingga kadar gula didalam darah akan meningkat, dalam keadaan ini badan akan terasa lemah karena tidak adanya sumber tenaga didalam sel. Karena terdapat defisiensi insulin dan penyerapan glukosa didalam sel terhambat serta metabolismenya terganggu, maka keadaan ini menyebabkan sebagian besar glukosa tetap berada didalam sirkulasi darah sehingga kadar gula darah menjadi meningkat.<br />Menurut Brunner dan Suddarth(2001), patofisiologi DM yaitu:<br />1. Diabetes Tipe I <br />Pada diabetes tipe I terdapat ketidak mampuan untuk menghasilkan<br />insulin karena sel-sel beta pan-kreas telah dihancurkan oleh proses<br />autoimun. Hiperglikemia puasa terjadi akibat produksi glukosa yang tidak<br />terukur oleh hati. Di samping itu, glukosa yang berasal dari makanan tidak<br />dapat disimpan dalam hati meskipun tetap berada dalam darah dan<br />menimbulkan hiperglikemia post prandial (sesudah makan).<br />Jika konsentrasi glukosa dalam darah cukup tinggi, ginjal tidak dapat<br />menyerap kembali semua glukosa yang tersaring keluar : akibatnya,<br />glukosa tersebut muncul dalam urin (glukosuria). Ketika glukosa yang<br />berlebihan diekskresikan ke urin, ekskresi ini akan disertai pengeluaran<br />cairan dan elektrolit yang berlebihan pula. Keadaan ini dinamakan diuresis<br />osmotik. Sebagai akibat dari kehilangan cairan yang berlebihan, pasien<br />akan mengalami peningkatan dalam berkemih (poliuria) dan rasa haus<br />(polidipsia).<br /> Defisiensi insulin juga mengganggu metabolisme protein dan lemak yang<br />menyebabkan penu-runan berat badan. Pasien dapat mengalami peningkatan selera makan (Polifagia), akibat menurunnya simpanan kalori, gejala<br />lainnya mencakup kelelahan dan kelemahan.<br />2. Diabetes Tipe II <br />Pada diabetes tipe II terdapat dua masalah utama yaitu yang<br />berhubungan dengan insulin, yaitu : resistensi insulin dan gangguan<br />sekresi insulin. Normalnya insulin akan terikat dengan reseptor khusus<br />pada permukaan sel sebagai akibat terikatnya insulin dengan reseptor<br />tersebut, terjadi sel resistensi insulin pada diabetes tipe II disertai dengan<br />penurunan reaksi intra sel ini. Dengan demikian insulin menjadi tidak<br />efektif untuk menstimulasi pengambilan glukosa oleh jaringan. Untuk mengatasi resistensi insulin dan mencegah terbentuknya glukosa dalam darah,harus terdapat peningkatan jumlah insulin yang disekresikan pada penderita toleransi glukosa terganggu, keadaan ini terjadi akibat sekresi insulin yang berlebihan, dan kadar glukosa akan dipertahankan pada tingkat yang normal atau sedikit meningkat. Namun untukmengimbangi peningkatan kebutuhan akan insulin, maka kadar glukosa akan meningkat dan terjadi diabetes tipeII.<br /><br />D. Gejala<br />Gejala yang sering dijumpai, yaitu:<br />1. Poliuria (peningkatan pengeluaran urin).<br />2. Polidipsia (peningkatan rasa haus) akibat volume urin yang sangat besar dan keluarnya air yang menyebabkan dehidrasi ekstrasel. Dehidrasi intrasel mengikuti dehidrasi ekstrasel karena air intrasel akan berdifusi keluar sel mengikuti penurunan gradien konsentrasi ke plasma yang hipertonik (sangat pekat). Dehidrasi intrasel merangsang pengeluaran ADH (antideuretic hormone) dan menimbulkan rasa haus. <br />3. Polifagia (peningkatan rasa lapar).<br />4. Rasa lelah dan kelemahan otot akibat gangguan aliran darah, katabolisme protein diotot dan ketidakmampuan sebagian besar sel untuk menggunakan glukosa sebagai energi. <br />5. Peningkatan angka infeksi akibat penurunan protein sebagai bahan pembentukan antibodi, peningkatan konsentrasi glukosa disekresi mukus, gangguan fungsi imun, dan penurunan aliran darah pada penderita diabetes kronik.<br />6. Kelainan kulit: gatal, bisul<br />Kelainan kulit berupa gatal-gatal biasanya terjadi di daerah ginjal. Lipatan kulit seperti di ketiak dan di bawah payudara. Biasanya akibat tumbuhnya jamur. <br />7. Kelainan genekologis<br />Keputihan dengan penyebab tersering yaitu jamur terutama candida.<br />8. Kesemutan rasa baal akibat terjadinya neuropati. Pada penderita diabetes mellitus regenerasi sel persarafan mengalami gangguan akibat kekurangan bahan dasar utama yang berasal dari unsur protein. Akibatnya banyak sel persarafan terutama perifer mengalami kerusakan. <br />9. Kelemahan tubuh<br />Kelemahan tubuh terjadi akibat penurunan produksi energi metabolic yang dilakukan oleh sel melalui proses glikolisis tidak dapat berlangsung secara optimal.<br />10. Luka atau bisul yang tidak sembuh-sembuh<br />Proses penyembuhan luka membutuhkan bahan dasar utama dari protein dan unsur makanan yang lain. Pada penderita diabetes mellitus bahan protein banyak diformulasikan untuk kebutuhan energisel sehingga bahan yang dipergunakan untuk penggantian jaringan yang rusak mengalami gangguan. Selain itu, luka yang sulit sembuh juga dapat diakibatkan oleh pertumbuhan mikroorganisme yang cepat pada penderita diabetes mellitus.<br />11. Pada laki-laki terkadang mengeluh impotensi<br />Ejakulasi dan dorongan seksualitas laki-laki banyak dipengaruhi oleh peningkatan hormon testoteron. Pada kondisi optimal (periodik hari ke-3) maka secara otomatis akan meningkatkan dorongan seksual. Penderita diabetes mellitus mengalami penurunan produksi hormon seksual akibat kerusakan testoteron dan sistem yang berperanan.<br />12. Mata kabur yang disebabkan katarak atau gangguan refraksi akibat perubahan pada lensa oleh hiperglikemia. Mungkin juga disebabkan kelainan pada corpus vitreum. <br /><br />E. Terapi Diet<br />1. Tujuan umum penatalaksanaan diet pada penderita diabetes mellitus adalah:<br />a. Mencapai dan mempertahankan kadar glukosa darah mendekati kadar normal. <br />b. Mencapai dan mempertahankan lipid mendekati kadar yang optimal.<br />c. Mencegah komplikasi akut dan kronik.<br />d. Meningkatkan kualitas hidup. <br />e. Memberi cukup energi untuk mempertahankan atau mencapai berat badan normal. <br />f. Memberikan diet sesuai dengan keadaan penderita, misalnya sedang hamil, mempunyai penyakit hati, atau tuber kolosis paru. Menarik dan mudah diterima penderita.<br /><br /><br />2. Syarat<br />a. Energi cukup untuk mencapai dan mempertahankan berat badan normal. Kebutuhan energi ditentukan dengan memperhitungkan kebutuhan untuk metabolisme basal sebesar 25-30 kkal/kgBB normal, ditambah kebutuhan untuk aktivitas fisik dan keadaan khusus, misalnya kehamilan atau laktasi serta ada tidaknya komplikasi. Makanan dibagi dalam 3 porsi besar, yaitu makan pagi (20%), siang (30%), dan sore (25%), serta 3 porsi kecil untuk makanan selingan (masing-masing 10-15%).<br />b. Kebutuhan protein normal, yaitu 10-15% dari kebutuhan energi total.<br />c. Kebutuhan lemak sedang, yaitu 20-25% kebutuhan energi total, dalam bentuk <10% dari kebutuhan energi total berasal dari lemak jenuh, 10% dari lemak tidak jenuh ganda, sedangkan sisanya dari lemak tidak jenuh tunggal. Asupan kolesterol makanan dibatasi, yaitu <300 mg/hari.<br />d. Kebutuhan karbohidrat adalah sisa dari kebutuhan energi total, yaitu 60-70%.<br />e. Penggunaan gula murni dalam minuman dan makanan tidak diperbolehkan kecuali jumlahnya sedikit sebagai bumbu. Bila kadar glukosa darah sudah terkendali, diperbolehkan mengkonsumsi gula murni sampai 5% dari kebutuhan energi total. <br />f. Penggunaan gula alternatif dalam jumlah terbatas. Gula alternatif adalah bahan pemanis selain sakarosa. Ada dua jenis gula alternatif yaitu yang bergizi dan yang tidak bergizi. Gula alternatif bergizi adalah fruktosa, gula alkohol berupa sorbitol, manitol, dan silitol, sedangkan gula alternatif tak bergizi adalah aspartam dan sakarin. Penggunaan gula alternatif hendaknya dalam jumlah terbatas. Fruktosa dalam jumlah 20% dari kebutuhan energi total dapat meningkatkan kolesterol dan LDL, sedangkan gula alkohol dalam jumlah berlebihan mempunyai pengaruh laksatif. <br />g. Asupan serat dianjurkan 25 g/hari dengan mengutamakan serat larut air yang terdapat di dalam sayur dan buah. Menu seimbang rata-rata memenuhi kebutuhan serat sehari.<br />h. Pasien DM dengan tekanan darah normal diperbolehkan mengkonsumsi natrium dalam bentuk garam dapur seperti orang sehat, yaitu 3000 mg/hari. Apabila mengalami hipertensi, asupan garam harus dikurangi.<br />i. Cukup vitamin dan mineral. Apabila asupan dari makanan cukup, penambahan vitamin dan mineral dalam suplemen tidak diperlukan.<br /><br />3. Prinsip Diet <br />Prinsip pemberian makanan bagi penderita DM adalah mengurangi dan mengatur konsumsi karbohidrat sehingga tidak menjadi beban bagi mekanisme pengaturan gula darah. (Pranadji, 2000). <br />4. Makanan yang diperbolehkan dan tidak diperbolehkan <br />Semua bahan makanan boleh diberikan dalam jumlah yang telah ditentukan kecuali gula murni seperti terdapat pada: gula pasir, gula jawa, gula batu, sirop, jam, jelly, buah-buahan yang diawet dengan gula, susu kental manis, minuman botol ringan, es krim, kue-kue manis, dodol, cake, tarcis, abon, dendeng, sarden dan semua produk makanan yang diolah dengan gula murni. <br />5. Macam diet <br />Menurut Persagi (1999), pedoman diet bagi penderita DM dapat dilihat seperti dalam Tabel 1.<br />Tabel1.<br />MACAM DIET UNTUK PENDERITA DM<br />Macam Diet I II III IV V VI VII VIII<br />Energi (kal) 1100 1300 1500 1700 1900 2100 2300 2500<br />Protein (gr) 50 55 60 65 70 80 85 90<br />Lemak (gr) 30 35 40 45 50 55 65 65<br />Hidrataran (gr) 160 195 225 260 300 325 350 390<br />Sumber : Persagi, 1999<br />Diet I s/d III : diberikan kepada penderita yang terlalu gemuk<br />Diet IV s/d V : diberikan kepada penderita yang mempunyai berat badan normal<br />Diet VI s/d VIII : diberikan kepada penderita yang kurus, diabetes remaja atau juvenille diabetes serta diabetes dengan komplikasi.<br />6. Standar diet <br />Untuk perencanaan pola makan sehari, pasien diberi petunjuk berupa kebutuhan bahan makanan setiap kali makan dalam sehari dalam bentuk penukar. Makanan sehari-hari pasien dapat disusun berdasarkan pola makan pasien dan daftar bahan makanan penukar (Sukardji, 2002).<br />7. Daftar Bahan Makanan Penukar <br />DBMP adalah suatu daftar yang memuat nama bahan makanan dengan ukuran tertentu dan dikelompokan berdasarkan kandungan energi, protein, lemak dan hidrat arang. Setiap kelompok bahan makanan dianggap mempunyai nilai gizi yang kurang lebih sama (Sukardji, 2002).<br />8. Pedoman diet <br />Dalam melaksanakan diet diabetes sehari-hari, hendaknya pasien mengikuti pedoman “3J” yaitu tepat jumlah, jadwal dan jenis, artinya J1: energi yang diberikan harus habis, J2: Jadwal diet harus diikuti sesuai dengan interval yaitu 3jam, J3: Jenis makanan yang manis harus dihindari, termasuk pantang buah golongan A(Tjokroprawiro, 1998).Latihan Jasmani<br />Latihan jasmani dianjurkan secara teratur yaitu 3-4 kali dalam seminggu selama kurang lebih 30 menit yang sifatnya CRIPE (Continuous, rhytmical, interval, progresife, endurance training) (Perkeni, 1998). Menurut Haznam (1991) olahraga dianjurkan karena bertambahnya kegiatan fisik menambah reseptor insulin dalam sel target. Dengan demikian insulin dalam tubuh bekerja lebih efektif, sehingga lebih sedikit obat anti diabetik (OAD) diperlukan, baik yang berupa insulin maupun OHO (Obat Hipoglikemik Oral).<br /><br />Obat berkhasiat hipoglikemik <br />Pada prinsipnya, pengendalian DM melalui obat ada 2 yaitu :<br />(1) Obat Anti Diabetes (OAD) atau Obat Hipoglikemik Oral (OHO) yang berfungsi untuk merangsang kerja pankreas untuk mensekresi insulin.<br />(2) Suntikan insulin. Pasien yang mendapat pengobatan insulin waktu makanannya harus teratur dan disesuaikan dengan waktu pemberian insulinnya. Makan selingan diberikan untuk mencegah hipoglikemia (Perkeni, 1998).<br /><br /><br /> <br />F. Daftar Pustaka<br />Riyadi, Sujono; Sukarmin. 2008. Asuhan Keperawatan pada Pasien dengan Gangguan Eksokrin dan Endokrin pada Pankreas. Graha Ilmu: Yogyakarta<br /><br />Almatsier, Sunita. 2006. Penuntun Diet. PT Gramedia Pustaka Utama: Jakarta<br />http://id.wikipedia.org/wiki/Diabetes <br />http://health.detik.com/read/2009/11/18/121018/1243967/775/si-manis-diabetes-yang-mematikan<br />http://healthisforall.blogspot.com/2008/01/tipe-diabetes-melitus.htmlhabankhttp://www.blogger.com/profile/09626054388126297040noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-3909943987252109584.post-13959052567541806752010-06-01T06:07:00.000-07:002010-06-01T06:09:19.781-07:00MAKALAHMAKALAH IPTEK-MUTAKHIR<br />“ BULIMIA ” <br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br />KELOMPOK 2 :<br /> <br />1. Dwi Kusuma Dewi (PO 7131107045)<br />2. Fitriyanti Novi P. A (PO 7131107048)<br />3. Nurul Munawwaroh (PO 7131107060)<br />4. Prapti Wigati (PO 7131107061)<br />5. Rizky Arin Pradika (PO 7131107066)<br />6. Winarsih (PO 7131107072)<br /><br /><br /><br /><br />DEPARTEMEN KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA<br />POLITEKNIK KESEHATAN YOGYAKARTA<br />JURUSAN GIZI<br />2009<br />A. PENDAHULUAN <br />1. Definisi Bulimia<br />Bulimia merupakan bahasa latin dari sebuah kata Yunani boulimia, yang artinya “extreme hunger” alias lapar yang amat sangat. Ini sesuai dengan gambaran para bulimics -orang yang bulimia-, mereka cenderung makan dalam jumlah banyak dalam waktu yang singkat, seperti orang yang kelaparan. Dan selanjutnya sebagai “kompensasi” dari pola makannya tersebut, mereka akan melakukan berbagai cara yang intinya supaya berat badan mereka tidak bertambah meski mereka sudah makan banyak. Bulimia nervosa merupakan gangguan psikologis yang menyebabkan terjadinya gangguan pola makan ditandai dengan makan terlalu banyak dan diikuti dengan muntah yang dirangsang sendiri (FKM-UI 2007).<br />Bulimia nervosa selama ini belum banyak dikenal masyarakat. Karena kasusnya jarang, orang sering mengabaikan penyakit ini. Padahal, kalau tidak segera di atasi, bulimia bisa mengganggu jiwa dan raga penderitanya. Bulimia Nervosa adalah penyakit gangguan pencernaan yang lebih sering menimpa wanita remaja dan pertengahan usia (sering diidap oleh wanita pada usia SLTA atau saat mahasiswa) namun mempunyai rentang umur yang lebar yaitu antara 13-58 tahun. Penolakan makan ini juga terjadi pada lebih dari 20% anak prasekolah. Sekitar 90-95%. Bulimia Nervosa mengenai kelompok masyarakat dengan status sosial ekonomi tinggi, namun belakangan dilaporkan dapat mengenai semua kelompok masyarakat (Paisal, 2008).<br />Bulimia Nervosa meningkat pada 2 dekade terakhir. Wanita lebih sering mengalami gangguan makan, dengan perbandingan wanita dengan laki-laki 10 : 1. Awalnya gangguan makan tersebut hanya dilaporkan pada golongan sosial ekonomi menengah dan atas, tetapi pada saat ini dilaporkan juga pada golongan sosial ekonomi rendah. Kelainan ini juga ditemukan pada berbagai kelompok etnik dan ras. Dilaporkan 19 % dari pelajar wanita usia remaja lanjut di Belanda menunjukkan gejala bulimia. Prevalensi bulimia 1500 kasus dari 100.000 wanita muda. rata-rata bulimia pada umur 18 – 19 tahun, kelainan tersebut relatif lebih jarang pada masa remaja awal (Gowers SG 2004).<br />Bulimia nervosa merupakan penyakit gangguan pada kebiasaan atau pola makan. Eating disorders (gangguan makan) adalah suatu sindrom psikiatrik yang ditandai oleh pola makan yang menyimpang terkait dengan karakteristik psikologik yang berhubungan dengan makan, bentuk tubuh, dan berat badan. Gangguan pola makan terjadi akibat beberapa sebab dalam perilaku makan, seperti konsumsi makanan yang kurang sehat atau makan yang terlalu banyak. Pola ini bisa disebabkan perasaan distress atau berkenaan dengan bentuk badan serta beratnya kemudian mereka membahayakan komposisi bentuk dan fungsi badan normal. Gangguan pola makan secara bertahap muncul pada masa dewasa atau dewasa awal. Kebanyakan orang dewasa bisa menyembunyikan perilaku ini dari keluarga mereka selama beberapa bulan bahkan tahun. Gangguan pola makan bukan merupakan kegagalan akan sesuatu ataupun perilaku, akan tetapi nyata, penyakit medis yang muncul dari beberapa pola makan yang menyimpang dalam hidup seseorang. Salah satu tipe gangguan pola makan adalah bulimia nervosa. Bulimia nervosa adalah pesta makanan yang diikuti dengan mencuci perut atau sampai muntah. Rata-rata 1.1 sampai 4.2 % dari wanita pernah mengalami bulimia nervosa semasa hidupnya. Penyakit ini baru diteliti dan belum diterima dalam kamus diagnosis psikiater (Putra, 2008).<br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br />Gangguan pola makan biasanya muncul bersamaan dengan penyakit lain seperti depresi, menjadi bagian dari sebuah kekerasan, dan gangguan kecemasan. Dalam hal ini, orang yang menderita gangguan pola makan bisa mengalami komplikasi kesehatan fisik yang lebih jauh lagi, termasuk masalah kondisi kerja hati dan gagal ginjal, yang mana dapat menyebabkan kematian. Mengenali kembali gangguan pola makan sebagai gejala yang serius dan mengancam, sangatlah penting. Wanita sangat berpotensi mengembangkan gangguan pola makan. Rata-rata bulimia diperkirakan 35 % diantaranya dengan gangguan makan banyak diderita oleh laki-laki. Penderita bulimia nervosa makan dalam jumlah sangat berlebihan (menurut riset, rata-rata penderita bulimia nervosa mengonsumsi 3.400 kalori setiap satu seperempat jam, padahal kebutuhan normal hanya 2.000-3000 kalori per hari). Biasanya penderita tidak langsung ketahuan oleh orang lain bahwa ia menderita penyakit ini, karena berat badannya normal dan tidak terlalu kurus. Karena tidak ketahuan sehingga tidak ditangani dokter, penyakit yang sering berawal ketika seseorang masih berusia remaja ini dapat berlangsung terus sampai ia berusia empat puluhan sebelum ia mencari bantuan. Banyak penderita bulimia memiliki berat badan yang normal dan kelihatannya tidak ada masalah yang berarti dalam hidupnya. Biasa mereka orang-orang yang kelihatan sehat, sukses di bidangnya, dan cenderung ferfeksionis. Namun, di balik itu, mereka memiliki rasa percaya diri yang rendah dan sering mengalami depresi. Mereka juga menunjukkan tingkah laku yang kompulsif, misalnya, mengutil di pasar swalayan, atau mengalami ketergantungan pada alkohol atau lainnya. Masalah kesehatan yang paling sering muncul adalah gigi busuk dan ketidakseimbangan elektrolit dalam tubuh akibat muntah dan obat pencahar. Selain itu, juga dapat terjadi kerusakan usus dan dehidrasi yang bisa berakibat fatal. Penderita bulimia menyadari dirinya memiliki perilaku makan yang tidak normal, namun mereka merasa tidak mampu untuk mengubahnya (Sidenfeld 2001). <br />2. Tipe Bulimia<br />a. Bulimia Nervosa-Purging Type<br /> Tipe yang memuntahkan kembali makanan setelah sangat kenyang (menggunakan purging medications). Dilakukan dengan menusukkan jari ke tenggorokan, atau dengan menggunakan obat-obatan laksatif, obat pencahar, maupun obat-obatan lain. Tujuannya agar makanan tidak sempat dicerna oleh tubuh sehingga tidak menambah berat badan.<br />b. Bulimia Nervosa-Non Purging Type<br />Penderita berolahraga berlebihan setelah makan atau berpuasa untuk mengontrol berat badan, namun tidak muncul purging behaviors. Tujuannya agar energi yang dihasilkan dari makanan dapat langsung dibakar danhabis.<br />Berbagai teori mencoba menjelaskan penyebab dari bulimia, ada yang menyebutkan kalau penyebabnya adalah multifaktor. Genetik, beberapa penelitian menyebutkan ada komponen genetik yang diturunkan pada gangguan perilaku makan ini. Neurotransmitter tertentu, suatu senyawa kimia yang menghantarkan impuls syaraf, pada orang yang bulimia kadarnya tidak normal sehingga para peneliti ini beranggapan ada kelainan pada sistem syaraf pusat yang dapat dipengaruhi oleh faktor genetik. Neurotransmitter yang abnormal tersebut adalah serotonin, yang juga dipercaya sebagai neurotransmitter yang berhubungan dengan gangguan mood. Kondisi keluarga berupa pelecehan seksual terhadap anak atau orang tua yang mengikutsertakan anaknya dalam kegiatan yang mengharuskan pengontrolan berat badan yang ketat seperti balet, senam, modeling dapat sebagai faktor risiko timbulnya bulimia nervosa. Pada anak yang mengalami pelecehan seksual ditemukan kadar serotonin yang abnormal. Faktor sosiokultural merupakan salah satu faktor yang cukup besar pengaruhnya terhadap timbulnya kelainan ini. Kita tahu bahwa makanan yang banyak beredar serta disukai oleh banyak orang pada masa ini adalah makanan seperti roti-roti, fast food, es krim, pizza yang merupakan karbohidrat olahan. Setelah diteliti, mereka yang mengkonsumsi makanan ini, kadar serotonin dalam darah mereka meningkat sementara hingga 450 %. Coba lihat juga makanan yang ditawarkan oleh berbagai gerai makanan yang ada di pusat perbelanjaan, sebagian besar merupakan makanan karbohidrat olahan. Itulah salah satu alasan kenapa di negara-negara maju angka kejadian bulimia pada gadis remaja atau wanita muda nya cukup tinggi. Berbeda dengan mereka yang tinggal di negara berkembang, yang pola konsumerisme berbeda, pola makan juga berbeda. Di negara berkembang, orang lebih banyak mengkonsumsi makanan berkarbohidrat bukan olahan -nasi, sayur, buah- yang efeknya jauh lebih rendah dalam meningkatkan serotonin dalam darah. Tapi kalau di negara berkembang yang mall-mall nya juga berkembang pesat, berarti perlu diteliti lebih lanjut tentang kejadian bulimia nervosanya. Tidak mengherankan data epidemiologi mengatakan bahwa wanita mengalami gangguan ini 20 kali lebih banyak dari pada pria. Selain itu kebanyakan awal gangguan ini adalah pada saat usia remaja yaitu antara rentang umur 14 sampai 18 tahun (Sidenfeld, 2001).<br /><br />B. INSIDEN BULIMIA<br />1. Dalam populasi 100.000 orang, 14 orang diantaranya menderita Bulimia Nervosa.<br />2. Umumnya diderita oleh wanita dewasa muda dan gadis remaja (1-4% berusia 18-30 tahun).<br />3. Laki-laki jarang ditemukan menderita penyakit ini, diantara 10 orang penderita hanya terdapat 1 orang laki-laki.<br />4. Diantara pasien Bulimia Nervosa, sepertiga diantaranya memiliki riwayat Anorexia Nervosa.<br />5. Sepertiga diantara pasien memiliki riwayat obesitas.<br />Bulimia nervosa lebih sering ditemukan pada wanita dibandingkan pada laki-laki, tetapi onsetnya lebih sering pada masa remaja dibandingkan pada masa dewasa awal. Diperkirakan bulimia nervosa terentang dari 1-3 persen wanita muda. Banyak penderita bulimia nervosa memiliki berat badan yang normal dan kelihatannya tidak ada masalah yang berarti dalam hidupnya. Biasanya mereka orang-orang yang kelihatannya sehat, sukses di bidangnya dan cenderung perfeksionis. Namun, dibalik itu, mereka memiliki rasa percaya diri yang rendah dan sering mengalami depresi. Mereka juga menunjukkan tingkah laku kompulsif, misalnya, mengutil di pasar swalayan, atau mengalami ketergantungan pada alkohol atau lainnya. Bulimia nervosa sering terjadi pada orang dengan angka gangguan mood dan gangguan pengendalian impuls yang tinggi. Juga telah dilaporkan terjadi pada orang yang memiliki resiko gangguan berhubungan dengan zat dan gangguan kepribadian, memiliki angka gangguan kecemasan dan gangguan dissosiatif yang meningkat dan riwayat penyiksaan seksual. Insidens bulimia nervosa (BN) meningkat pada 2 dekade terakhir. Empat wanita lebih sering mengalami gangguan dengan perbandingan wanita dengan laki-laki 10 : 1. Awalnya gangguan makan tersebut hanya dilaporkan pada golongan sosial ekonomi menengah dan atas, tetapi pada saat ini dilaporkan juga pada golongan sosial ekonomi rendah. Kelainan ini juga ditemukan pada berbagai kelompok etnik dan ras. BN lebih sering dijumpai. Dilaporkan 19 % dari pelajar wanita usia remaja lanjut di Belanda menunjukkan gejala bulimia. Prevalensi BN 1500 kasus dari 100.000 wanita muda. Onset rata-rata kejadian BN pada umur 18 – 19 tahun, kelainan tersebut relatif lebih jarang pada masa remaja awal. Dari suatu penelitian jangka panjang didapatkan bahwa 71 % dari pasien-pasien BN yang mendapatkan terapi intensif dapat mempertahankan hasil terapi lebih dari 6 tahun (Sakura, 2009).<br /><br />C. ETIOLOGI<br />Penyebab Bulimia nevosa dapat dijelaskan dengan pendekatan beberapa jenis model yaitu <br />1. Model adikasi<br />Bulimia Nervosa diyakini sebagai adiksi terhadap makanan dan tingkah laku. Hal ini berhubungan dengan pengobatan Bulimia Nervosa yang menekan kan pada penghentian, dukungan sosial dan mencegah kekambuhan, dimana metode ini mirip dengan pengobatan adiksi terhadap alcohol maupun obat-obatan.<br />2. Model keluarga<br />Gangguan makan pada remaja berhubungan dengan system interaksi antara keluarga. Oleh karena itu fokus pengobatan penderita bulimia nervosa adalah disfungsi interaksi dalam keluarga. Penderita bulimia nervosa pada umumnya memiliki riwayat kekerasan fisik maupun seksual semasa kanak-kanak.<br />3. Model sosial budaya<br />Publikasi media tentang hubungan antara tubuh yang langsing dengan karier yang sukses telah merangsang para remaja untuk melakukan diet supaya tubuhnya menjadi langsing. Banyak remaja yang gagal mencapai keaadaan ini dan akhirnya menjadi penderita bulimia nervosa.<br />4. Model kognitif dan tingkah laku<br />Bulimia nervosa merupakan implementasi tingkah laku yang irasional tentang bentuk tubuh, berat badan, diet dan kepercayaan diri. Fokus pengobatan adalah mengidentifikasi disfungsi ini dan membantu menumbuhkan keyakinan yang rasional. Penderita diberikan jadwal makan yang jelas dan teratur.<br />5. Model psikodinamik<br />Bulimia nervosa merupakan usaha untuk mengendalikan atau menghindari dampak perasaan yang tertekan, implusif dan kecemasan. Pengobatan psikodinamik adalah mencari proses yang mendasari penderita bulimia nervosa terutama gambaran psikososialnya (Angelia, 2009).<br /><br />Penyebab pastinya tidak diketahui, tetapi faktor-faktor yang diduga berperan dalam terjadinya bulimia nervosa adalah :<br />• Faktor psikososial <br />Berupa perkembangan individu, dinamika keluarga, tekanan sosial untuk berpenampilan kurus serta perjuangan untuk mendapatkan identitas diri.<br />• Faktor genetik <br />Adanya bukti bahwa bulimia banyak didapat pada penderita dengan riwayat keluarga gangguan depresi dan kecemasan, serta lebih banyak pada kembar monozigot dibandingkan dizigot.<br />• Faktor biologik <br />Penurunan sintesis, uptake dan turnover serotonin serta penurunan sensitivitas reseptor serotonin post sinaptik. Berdasarkan studi ditemukan fakta bahwa genetik, hormon dan bahan kimia yang terdapat di otak berpengaruh terhadap efek perkembangan dan pemulihan bulimia. <br />• Faktor budaya <br />Kebanyakan orang menilai bahwa cantik identik dengan kurus dan terkadang kondisi tersebut menjadi suatu tuntutan kerja. Anggapan ini pun menjadi budaya yang berkembang di masyarakat.<br />• Perasaan pribadi<br />Penderita bulimia senantiasa berputus asa terhadap dirinya sendiri, tidak percaya diri sehingga mereka diet dengan cara menggunakan pil diet bahkan memuntahkan makanan. Penilaian orang terhadapa dirinya menyebabkan kecemasan dan tekanan yang dapat menyebabkan stress sehingga untuk mengatasinya mereka cenderung ke arah bulimia (http://www.emedicine.com).<br />Faktor lain yang mendorong timbulnya bulimia nervosa adalah masalah keluarga, pubertas, gangguan adaptasi, lingkungan dan penerimaan teman sebaya, media dan masyarakat serta krisis identitas. Bulimia juga sering dihubungkan dengan depresi. Kebanyakan, penderita bulimia berasal dari keluarga yang tidak bahagia, umumnya mereka memiliki orang tua yang gemuk, atau mereka sendiri kegemukan pada masa kanak-kanak. Namun hingga kini masih belum jelas apakah gangguan emosional ini sebagai sebab atau akibat dari bulimia (Tyas rara, 2008).<br /><br />D. PATOFISIOLOGI<br />Ketika memasuki masa remaja, khususnya masa pubertas, remaja menjadi sangat concern atas pertambahan berat badan mereka. Terjadi perubahan fisiologis tubuh yang kadangkala mengganggu. Biasanya, hal ini lebih sering dialami oleh remaja putri daripada remaja pria. Bagi remaja putri, mereka mengalami pertambahan jumlah jaringan lemak sehingga mereka akan mudah untuk gemuk apabila mengkonsumsi makanan yang berkalori tinggi. Kalau dulu makan apapun tidak berefek bagi berat badan, tapi setelah masa pubertas (biasanya ditandai dengan menstruasi), baru makan coklat dua potong, kok beratnya sudah tambah 1 kg. Pada kenyataannya kebanyakan wanita ingin terlihat langsing dan kurus karena mereka beranggapan bahwa menjadi kurus akan membuat mereka bahagia, sukses dan populer. Apalagi kalau melihat ‘body’ para selebritis yang langsing (sebenarnya lebih tepat dikatakan kurus-ceking- tiada berisi) sehingga kalau pakai baju model apapun terlihat pas dan pantas dipakai. Sementara kalau tubuh kita gendut, pakai baju apapun rasanya seperti sedang memakai karung terigu. Akhirnya, lingkungan sekitar juga ikut mempengaruhi. Semakin sering diledek ‘gendut’ maka dietnya semakin gencar. Maka tidak mengherankan bila ketidakpuasan seseorang dengan tubuhnya akan mengembangkan masalah pada gangguan makan. Remaja dengan gangguan makan seperti di atas memiliki masalah dengan body imagenya. Artinya, mereka sudah memiliki suatu mind set (pemikiran yang sudah terpatri di otak) bahwa tubuh mereka tidak ideal. Mereka mempersepsikan tubuhnya gemuk, banyak lemak di sana sini, tidak seksi dan lain-lain yang intinya tidak sedap untuk dipandang dan tidak semenarik tubuh orang lain. Akibat pemikiran yang sudah terpatri ini, seorang remaja akan selalu melihat tubuh mereka terkesan gemuk padahal kenyataannya justru berat badan mereka semakin turun hingga akhirnya mereka menjadi sangat kurus. Mereka akan dihantui perasaan bersalah manakala mereka makan banyak karena hal itu akan menyebabkan berat badannya naik. Masalah “body” ini akhirnya menyebabkan remaja menjadi tidak percaya diri dan sulit untuk menerima kondisi dirinya. Mereka beranggapan bahwa kepercayaan diri akan tumbuh kalau mereka juga memiliki tubuh yang sempurna (sempurna disini adalah ; kurus) (WangMuba, 2009). <br /><br />E. GEJALA DAN TANDA-TANDA BULIMIA<br />1. Gejala-gejala bulimia nervosa adalah : <br />a. Rasa lelah dan lemah<br />b. Pembengkakan pada tangan dan kaki <br />c. Sakit kepala<br />d. Perut teras penuh<br />e. Mual-mual<br />f. Haid tidak teratur<br />g. Kram otot <br />h. Nyeri dada dan ras terbakar<br />i. Rambut rontok<br />j. Mudah mengalami perdarahan (karena hipokalemia atau disfungsi platelet)<br />k. Diare berdarah (pada penyalahgunaan laksan)<br /><br />Bulimia nervosa disebabkan oleh beberapa faktor antara lain akibat adanya obsesi seseorang untuk memiliki tubuh yang langsing, atau karena pengaruh stress emosional terhadap masalah yang dialami, atau karena faktor keturunan. Penyakit ini menyebabkan kondisi patologis pada organ tubuh seperti sistem gastrointestinal dan juga rongga mulut. Bila hal ini dibiarkan maka potensi terjadinya perubahan lebih lanjut akan bersifat permanen. Ada tiga macam tindakan yang dilakukan oleh penderita untuk mengeluarkan zat makanan dalam tubuhnya yaitu muntah yang dirangsang oleh dirinya sendiri, mengkonsumsi obat pencahar dan diuretik (obat yang dapat merangksang sekresi urine). Umumnya pasien bulimia nervosa dapat muntah tanpa adanya stimulasi mekanik, tetapi semakin banyak frekuensi muntah, risiko terjadinya gangguan kesehatan rongga mulut akan semakin berat (Putra, 2008).<br />Gejala umum bulimia yaitu depresi, kepercayaan diri yang rendah, penampilan yang tidak proporsional, hubungan keluarga yang terganggu, nafsu makan berkurang, sulit mengontrol emosi, mudah terjangkit penyakit, berat badan ringan dan kekurangan nutrisi. Secara umum gejala fisik yang akan dialami penderita bulimia yaitu : Abnormalitas fungsi usus, kerusakan gigi dan gusi akibat sifat asam muntah, pembengkakan kelenjar saliva di dagu akibat tekanan pada perangsangan muntah, luka di tenggorokan dan mulut, pembengkakan, dehidrasi, sering diare tanpa sebab, kelelahan, kulit kering, detak jantung tidak teratur akibat ketidakseimbangan kimiawi (defisiensi potasium), luka atau bekas luka di buku jari/tangan akibat menusukkan jari ke tenggorokan, menstruasi tidak teratur atau bahkan tidak mengalami menstruasi (amenorrhea). Seringkali tampak sehat dan sukses bahkan cenderung perfeksionis, namun penderita bulimia merasa rendah diri, tertekan, dan kadang berperilaku kompulsif. Seorang dokter di Amerika Serikat menyebutkan sepertiga pasiennya sering mengutil dan seperempatnya pernah terlibat penyalahgunaan alkohol. Gejala lain yang berkaitan dengan masalah emosi yaitu : Terus menerus melakukan pengaturan makan, merasa tidak dapat mengontrol kebiasaan makan, akan hingga merasa sakit atau tidak nyaman, memakan dalam porsi yang jauh lebih banyak dibanding yang lain, berolahraga berlebihan, menggunakan laksative, diuretik atau pencahar, terus menerus mempermasalahkan berat dan bentuk tubuh, body image negatif, pergi ke kamar mandi selama atau setelah makan, menimbun makanan, depresi, dan sering terlihat gelisah (Tyas rara, 2008).<br />Penderita bulimia nervosa makan dalam jumlah sangat berlebihan (menurut riset, rata-rata penderita bulimia nervosa mengonksumsi 3.400 kalori setiap satu seperempat jam, padahal kebutuhan normal hanya 2.000-3000 kalori per hari).<br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br />Kemudian berusaha keras mengeluarkan kembali apa yang telah dimakannya, dengan cara memuntahkannya kembali atau dengan menggunakan obat pencahar. Di antara kegiatan makan yang berlebihan itu biasanya mereka berolahraga secara berlebihan (Sidenfeld 2001).<br />2. Tanda-tanda Bulimia Nervosa adalah :<br />• Makan Banyak berkelanjutan<br />• Menguruskan badan dengan diet berlebihan, puasa, latihan berlebihan atau memuntahkan kembali<br />• Memaksakan diri secara berlebihan untuk kurus<br />• Secara berkelanjutan masuk ke kamar mandi setelah makan<br />• Jari-jari memerah<br />• Pipi lembam<br />• Selalu mengukur diri dengan bentuk badan dan berat badan<br />• Depresi atau emosi tidak stabil<br />• Periode menstruasi yang tidak umum<br />• Gigi bermasalah, seperti gigi bolong<br />• Mulas-mulas.<br />Tanda-tanda lain dari bulimia nervosa adalah :<br />a. Perubahan kulit : terutama bagian dorsum jari berhubungan dengan penggunaan jari untuk membuat muntah meliputi hiperpigmentasi, kalus atau luka parut.<br />b. Pembesaran kelenjar ludah, terutama kelenjar parotis bilateral tanpa nyeri.<br />c. Erosi email gigi (perimolisis), biasanya pada permukaan gigi bagian lingual, palatal dan posterior.<br />d. Berulang-ulang makan dalam jumlah sangat banyak (rata-rata dua kali dalam seminggu selama sedikitnya tiga bulan).<br />e. Merasa tidak dapat mengontrol dirinya ketika sedang makan.<br />f. Secara teratur menggunakan obat-obatan untuk mencegah berat badannya naik, seperti obat perangsang muntah, obat pencahar, berpuasa atau berdiet ketat, atau berolahraga secara berlebihan.<br />g. Sangat mencemaskan bentuk dan berat badannya (http://www.emedicine.com).<br /><br />Di samping semua ini, orang-orang dengan bulimia mungkin mengeluh kelemahan umum, nyeri perut dan hilangnya siklus menstruasi. Kadang-kadang, mereka mungkin juga mengeluhkan muntah atau diare tanpa memberitahu bahwa itu adalah disebabkan diri. Pada saat makanan yang dimakan dikeluarkan, zodium dan potasium juga ikut keluar. "Kalau hal itu sampai terjadi, penderita akan menjadi lemas dan jantung berdebar-debar”. Selain itu, penderita juga dapat terkena osteoporosis jika kalsiumnya ikut keluar. Muntah secara berulang dapat merusak lambung dan saluran esofagus, saluran antara kerongkongan dan lambung, karena memaksa lambung untuk melakukan kontraksi secara tidak wajar. Asam lambung yang keluar bersama muntah, akan membuat gusi menyusut dan email gigi mengikis. "Jika kita salah mencolok di dalam tenggorokan itu akan mengakibatkan stroke ringan”.Sekali lagi, bulimia nervosa dipengaruhi oleh faktor psikologis. Jika faktor ini tak segera ditangani, si penderita bulimia akan merasa takut melihat makanan. "Dengan makan satu suap saja, dia akan merasa berat badannya bertambah”. Penyakit ini bisa membaik atau pun memburuk. Bisa semakin lama semakin buruk tanpa ada tanda-tanda perbaikan sama sekali. Tubuh penderita bereaksi terhadap kondisi ini dengan cara menghentikan beberapa proses, seperti tekanan darah menurun, napas melemah, menstruasi terhenti, dan keluar kelenjar teroid yang mengatur pertumbuhan menghilang. Kulit menjadi kering dan rambut dan kuku rapuh. Jika gangguan ini tak segera ditangani, penderita bisa meninggal dunia (Elhy, 2008).<br /><br /><br /><br />F. CIRI-CIRI BULIMIA <br />Dalam kehidupan sehari-hari, seseorang yang menderita Bulimia Nervosa dapat diketahui dengan cara melihat beberapa perubahan perilaku, antara lain :<br />1. Rata-rata menyikat gigi lebih dari dua kali sehari, bahkan mereka dapat saja menyikat gigi sehabis muntah yaitu lebih dari 7-8 kali sehari.<br />2. Mengunyah permen karet 7-8 bungkus / hari, dilanjutkan dengan pemakaian mouthwash, juga mengkonsumsi minuman diet soda 10-12 kaleng/ hari, mengunyah es dan mengigit kuku.<br />3. Mengeluh sering pusing, haus dan pingsan bahkan disertai dengan dehindrasi yang hebat.<br />4. Mengeluh rasa kram pada otot dan kelelahan.<br />5. Jantung terasa berdebar-debar dan sakit perut.<br />6. Rasa sakit pada tenggorokan dan gigi lebih sensitif (iy@anz, 2009).<br />Selain perubahan perilaku tersebut diatas, ciri-ciri pasien bulimia nervosa juga dapat dilihat pada kondisi tubuhnya yaitu :<br />1. Berat badan berkurang 5-20 pon (1/2-10 kg) perminggu.<br />2. Bibir dan kulit didaerah sekitar mulut tampak kering.<br />3. Pembengkakan limfonodus dan glandula parotis.<br />4. Pembuluh darah pecah disekitar mata akibat tarikan dan tegangan otot karena muntah yang berulang kali.<br />5. Kulit kering pada daerah jari yang digunakan untuk merangsang muntah (Himawari, 2009). <br />G. DAMPAK DARI BULIMIA<br />Dampak fisik yang umumnya terjadi pada mereka : <br />1. Kehilangan selera makan, hingga tidak mau mengkonsumsi makanan apapun.<br />2. Luka pada tenggorokan dan infeksi saluran pencernaan akibat terlalu sering memuntahkan makanan.<br />3. Lemah, tidak bertenaga.<br />4. Sulit berkonsentrasi.<br />5. Gangguan menstruasi.<br />6. Kematian.<br />7. Erosi dan lubang pada gigi serta penyakit gusi.<br />8. Dehidrasi.<br />9. Iritasi dan pembengkakan tenggorokan.<br />10. Pembengkakan pada pipi.<br />11. Rambut rontok dan kulit kering.<br />12. Masalah pencernaan.<br />Dampak fisik secara tidak langsung juga akan mempengaruhi kondisi psikis seseorang, sehingga masalah psikologis yang muncul pada mereka adalah : <br />1. Perasaan tidak berharga<br />2. Sensitif, mudah tersinggung, mudah marah<br />3. Mudah merasa bersalah<br />4. Kehilangan minat untuk berinteraksi dengan orang lain<br />5. Tidak percaya diri, canggung berhadapan dengan orang banyak<br />6. Cenderung berbohong untuk menutupi perilaku makannya<br />7. Minta perhatian orang lain<br />8. Depresi (sedih terus menerus)<br />Dampak fisik maupun psikis yang dialami oleh penderita gangguan makan tersebut tentu saja tidak dapat diabaikan begitu saja. Mereka memerlukan pertolongan segera dari psikolog, dokter, ahli gizi, dan tentu saja orangtua untuk memulihkan masalahnya agar tidak membawa dampak yang lebih serius lagi, yaitu kematian. Dampak jangka panjang dari bulimia yaitu tubuh kehilangan kalsium sehingga tulang menjadi keropos, rapuh dan mudah patah. Penurunan massa tulang dapat terjadi setidaknya memerlukan waktu 6 bulan, sedangkan efek lain yaitu penurunan tekanan darah, kulit kekuningan dan penyusutan volume otak. Denyut jantung penderita biasanya tidak teratur, sehingga dapat memicu ke gagal jantung bahkan kematian. Komplikasi jangka panjang lainnya meliputi kerusakan pada tenggorokan dan esophafus (saluran dari mulut ke perut) berupa luka dan perdarahan, berkurangnya kadar tulang dan jaringan otot, gejala kurang gizi dan kelaparan, kerusakan ginjal akibat penyalahgunaan diuretika, dan gangguan pencernaan akibat obat pencahar (WangMuba, 2009).<br />Beberapa penelitian menjelaskan bahwa pada penderita bulimia yang parah, kadar neurotransmiternya (pengantar kimia pada otak), terutama serotonin yang berhubungan dengan depresi dan gangguan obsesif-kompulsif cenderung lebih rendah. Bahan kimia tersebut mengontrol tubuh dalam pembuatan hormon. Penderita bulimia memiliki kadar neurotransmitter serotonin dan norepinephrine yang sangat rendah. Keduanya berperan penting dalam mendorong kelenjar pituitari untuk membuat dan melepaskan hormon yang mengontrol sistem neuroendokrin yang mengatur emosi, perkembangan fisik, ingatan dan detak jantung. Ketika hormon tidak terbentuk, kerja beberapa fungsi tubuh tersebut menjadi terganggu. Penelitian lain menemukan rendahnya kadar asam amino triptofan dalam darah. Asam amino triptofan merupakan sejenis zat dalam makanan yang penting untuk produksi serotonin, yang bisa menyebabkan depresi dan mendorong terjadinya bulimia (Elhy, 2008).<br />Meski bulimia umumnya tidak disebabkan oleh adanya gangguan fisik, perilakunya bisa dihubungkan dengan gangguan neurologis, endokrin, dan hipotalamus. Namun masih perlu penelitian lebih lanjut sampai ditemukan bukti pasti hubungan antara sistem fisiologis tubuh dan gangguan makan. Ada kemungkinan siklus bulimia berhubungan dengan faktor biologis. Para ahli yakin, metabolisme tubuh beradaptasi terhadap siklus bulimia dengan memperlambat metabolisme, sehingga mempertinggi risiko kenaikan berat tubuh meski asupan kalori normal. Proses muntah dan penggunaan pencahar dapat merangsang pembentukan opioid alami, narkotika di dalam otak yang menyebabkan ketergantungan pada siklus. Pada umumnya para peneliti percaya bahwa faktor hereditas berpengaruh terhadap gangguan pola makan. Penelitian terhadap kembar identik dan kembar fraternal membuktikan bahwa prilaku gangguan pola makan pada kembar identik lebih besar kemungkinan terjadinya dibandingkan kembar fraternal. Hal itu disebabkan susunan genetik kembar identik sama dibandingkan kembar fraternal.<br />Selain itu, gangguan pola makan juga dipengaruhi oleh komponen gentika lainnya yakni neurochemistry. Para peneliti telah menemukan bahwa neurotransmitter serotonin dan norepinefrin secara signifikan menurun pada pasien yang menderita Anorexia dan Bulimia Nervosa akut. Neurotransmitter ini akan berfungsi secara abnormal pada penderita depresi. Hal ini membuktikan bahwa ada hubungan antara dua gangguan tersebut. Disamping menciptakan rasa kepuasan fisik dan emosi, neurotransmitter serotonin juga menghasilkan efek kurang nafsu makan. Bahan kimia otak juga telah diteliti pengaruhnya terhadap gangguan pola makan. Ditandai dengan meningkatnya kadar hormon vasopressin dan kortisol. Kedua hormone ini secara normal di keluarkan sebagai respon terhadap stress yang dialami oleh penderita tersebut. Pada penelitian lain ditemukan bahwa tingginya level neuropeptida dan peptide juga berpengaruh terhadap penderita Bulimia. Kedua hormon tersebut menyebabkan rangsangan untuk makan pada uji coba binatang. Kadar hormone (http://health.yahoo.com).<br />Jika kita berbicara tentang efek bulimia maka kita dapat melihat bahwa berulang hilangnya cairan dan gizi yang disebabkan oleh bulimia dapat membuat tubuh tidak berguna. Penderita mungkin juga merasa kelelahan dan apatis. Bahkan mungkin mengakibatkan korban, jika penyakit ini tidak diurus. Kekuatan fungsi organ internal bisa sangat terganggu oleh bulimia dan lebih mungkin suatu organ mungkin gagal bekerja (http://www.eaRticlesOnline.com). <br /><br />H. TERAPI<br />Banyak faktor yang menyebabkan terjadinya kelainan dalam pola makan seperti kelainan genetik, tekanan sosial untuk menjadi langsing, tekanan dari teman sebaya, dan lain-lain. Penerimaan dari lingkungan merupakan langkah awal penyembuhan kelainan bulimia. Kebanyakan penderita tetap tinggal dalam penyangkalan dan menolak untuk ditolong. Langkah penyembuhan lain adalah dengan melakukan psikoterapi pada penderita, keluarga maupun lingkungan tempat penderita berasal. Pemberian obat, termasuk antidepresan, kadang-kadang dibutuhkan dalam situasi tertentu. Terapi gizi juga penting sebagai asupan vitamin dan mineral bagi penderita. Namun jika langkah-langkah tersebut tidak membawa hasil, satu-satunya cara yaitu dengan membawa penderita ke rumah sakit untuk diopname, terutama bagi penderita anoreksia. Itu dilakukan jika berat badan penderita menurun hingga 25% dari berat normal atau jika organ-organ vital dalam tubuh mengalami cedera. Ingatlah bahwa pola makan sehat adalah cara hidup yang terbaik. Jangan biarkan diri kita di bawah tekanan sosial atau teman sebaya. Satu lagi yang terpenting, tetaplah percaya diri sebab nilai personaliti kita tidak ditentukan oleh seberapa kurus atau gemuknya tubuh kita. <br />Terapi bulimia nervosa terdiri dari berbagai intervensi, termasuk Psikotherapi individual dengan pandekatan kognitif perilaku, therapi kelompok, therapi keluarga dan farmakotherapi. <br />1. Psikotherapi<br />Umumnya dokter melakukan terapi kognitif, yang bertujuan merubah persepsi dan cara berpikir pasien mengenai tubuhnya. Dokter mendorong pasien untuk berpikir secara benar terhadap dirinya sehingga menjadi lebih obyektif melihat suatu masalah, dan menghilangkan sikap serta reaksi yang salah terhadap makanan (Purwanti, 2008).<br />1). Memberi kepercayaan kepada pasien sehingga pasien mau bekerjasama dalam pengobatan. <br />Pasien bulimia nervosa biasanya terlihat begitu antusias untuk menjalankan pengobatan. Namun kenyataannya dia cenderung menggunakan caranya sendiri dan tetap berusaha memoertahankan kebiasaannya. Jadi sebelum pengobatan sang dokter harus memberikan kepercayaan dan meyakinkan pasien tentang pengobatan yang akan dijalaninya.<br />2). Menghentikan kebiasaan makan yang salah dan episode muntah serta diare. <br />Hal ini dapat dilakukan dengan membatasi jumlah dan jenis makanan pasien bulimia nervosa. Namun sedikit sulit bila pasien tinggal dirumah tanpa pengawasan.<br />3). Usaha-usaha yang dapat dilakukan untuk mempertahankan keadaan yang sudah membaik : <br />a) Setelah pengobatan biasanya pasien akan mengulangi kebiasaannya untuk makan lagi, maka kita jangan menentangnya, tapi kita anggap bahwa hal itu merupakan respon yang fisiologis. <br />b) Agar pasien mau makan, maka kita katakankepadanya bahwa rasa lapar yang timbul itu, karena tubuhnya memerlukan nutrisi.<br />c) Kalau pengobatan berhasil, maka pasien akan mengurangi ketergantungan terhadap kebiasaan jeleknya dan gejala depresinya akan teratasi, ini dapat berlangsung untuk beberapa bulan. Oleh karena kebiasaan makan yang jelek pada bulimua nervosa ini mudah berulang kembali, maka pengobatan yang paling efektif adalah dengan memberikan rasa paercaya diri kepada pasien terhadap penampilan dan berat badannya.<br />2. Farmakotherapi. <br />Untuk penderita bulimia umumnya diberikan obat-obatan jenis antidepresan bersama dengan pengobatan psikoterapi. Obat yang diberikan umumnya dari jenis trisiklik seperti imipramine (dengan merek dagang Tofranil) dan desipramine hydrochloride (Norpramin); atau jenis selective serotonin reuptake inhibitors (SSRIs) seperti fluoxetine (Antiprestin, Courage, Kalxetin, Nopres, dan Prozac), sertraline (Zoloft), dan paroxetine (Seroxat).<br />Semua obat itu digunakan sebagai bagian dari suatu program therapi yan g menyeluruh dengan psikotherapi. Khusus bagi pasien dengan cemas dan agitasi dapat diberikan lorazepam (Ativan) 1-2 mg per oral atau IM. Berat badan kerap menjadi masalah bagi kebanyakan orang dan ini memicu kemunculan berbagai cara untuk mengurangi atau mempertahankan berat badan. Tetapi, karena ingin mengharapkan hasil instan, kebanyakan orang pun kemudian memilih cara singkat : memuntahkan makanan yang baru saja dikonsumsi. Ini adalah salah satu tindakan yang mengindikasikan kalau orang tersebut bulimia nervosa yaitu dilakukan untuk menghindari penambahan berat badan. "Pencegahan" itu bisa dilakukan dengan memuntahkan makanan, mengonsumsi obat pencahar, berpuasa, atau berolahraga berlebihan segera setelah makan kenyang. Bulimia sangat buruk bagi kesehatan. Ini ditunjukkan dengan gejala-gejala yang dialami penderitanya setelah melakukan "pencegahan-pencegahan" tersebut secara terus-menerus, seperti :<br />• Perut berfungsi tidak seperti biasanya (abnormal).<br />• Gigi dan gusi rusak.<br />• Wajah menjadi tirus.<br />• Gangguan di tenggorokan dan mulut.<br />• Perut kembung.<br />• Dehidrasi.<br />• Rasa lelah.<br />• Kulit kering.<br />• Detak jantung tidak teratur.<br />• Rasa sakit di buku jari.<br />• Menstruasi tidak teratur atau tidak menstruasi sama sekali.<br />Selain gejala fisik, penderita bulimia juga akan memperlihatkan gejala-gejala psikis dan emosional, di antaranya :<br />• Diet yang dilakukan secara konstan.<br />• Penderita merasa tidak dapat mengendalikan pola makannya.<br />• Terus makan hingga merasa sakit atau tidak nyaman.<br />• Makan lebih banyak pada saat pesta.<br />• Berolahraga selama berjam-jam setelah makan banyak.<br />• Menggunakan pencahar dengan tidak semestinya.<br />• Rendah diri karena berat dan ukuran badan.<br />• Memiliki pencitraan diri yang negatif.<br />• Selalu ke toilet/kamar mandi setiap selesai makan.<br />• Menimbun makanan.<br />• Mengalami depresi.<br />• Merasa cemas (http://www.eaRticlesOnline.com).<br />3. Terapi psikis<br />Terapi bulimia biasanya meliputi konseling dan terapi tingkah laku. Sebagian besar gangguan makan permasalahannya bukanlah pada makanan itu sendiri, tetapi pada kepercayaan diri dan persepsi diri. Terapi akan efektif jika ditujukan pada penyebabnya, bukan pada gangguan makannya. Terapi individu, dikombinasikan dengan terapi kelompok dan terapi keluarga seringkali sangat membantu. Terapi kelompok adalah terapi dimana penderita penyakit yang sama saling membagi pengalaman mereka. Terapi konseling seringkali harus dikombinasikan dengan obat antidepresan. Terapi ini untuk membantu pasien yang depresi, terganggu secara emosional, atau adanya faktor sosial sehingga mendorong terjadinya gangguan makan. Terapi dilaksanakan agar pasien mampu mengeluarkan perasaan dan permasalahannya sehingga terapis dapat membantu penderita menghadapi perubahan hidup dan memperkuat rasa percaya diri.<br /><br />4. Terapi oral yang dapat dilakukan penderita bulimia nervosa :<br />• Untuk mencegah erosi dan karies pada gigi, pasien dianjurkan tidak menyikat gigi lagi setelah muntah, namun berkumur dengan sodium fluorida 0,05%, alkaline mineral water, sodium bikarbonat, atau magnesium hidroksida untuk menetralkan asam pada rongga mulut.<br />• Mengurangi konsumsi makanan yang mengandung gula atau karbohidrat, sebab meningkatkan terjadinya risiko karies.<br />• Mengunyah permen karet rendah gula untuk meningkatkan produksi saliva atau menggunakan saliva sintetik seperti glosodane.<br />• Gunakan pasta gigi, obat kumur, atau gel yang mengandung fluorida untuk mengurangi rasa sensitif pada gigi dan sebagai pertahanan terhadap karies.<br />• Menyikat gigi tiga kali sehari dan melakukan flossing untuk mengurangi plak pada gigi.<br />5. Terapi nutrisi<br />Ahli gizi dapat mengatur jadwal makan, memberikan penjelasan mengenai tujuan terapi nutrisi, pentingnya diet sehat dan akibat buruk dari pola makan yang salah terhadap kesehatan. Pengaturan diet untuk penderita bulimia nervosa dilakukan secara bertahap tergantung tingkat keparahan serta ada tidaknya komplikasi dengan penyakit penyerta. Kebutuhan energi disesuaikan dengan umur dan jenis kelamin, dihitung berdasarkan berat badan ideal, bukan berat badan yang sebenarnya. Selain dengan pengaturan makan yang sehat dan berimbang diperlukan juga olahraga secara tepat dan teratur. Olahraga yang teratur dapat menormalkan kembali kerja kelenjar yang abnormal sehingga akan diperoleh kadar serotonin yang sesuai dengan kebutuhan penderita (Angelia, 2009).<br /><br />I. PENCEGAHAN DAN PENANGGULANGAN <br />Tindakan pencegahan yang dapat dilakukan yaitu dengan mengamati ada-tidaknya gejala pada keluarga maupun orang-orang terdekat. Ketika beberapa gejala ditemui dapat dilakukan pendekatan secara interpersonal, berempati dan mendorong untuk makan dan berolahraga secara normal, serta memberitahukan dampak negatif bulimia. penderita bulimia tidak dapat sembuh dengan sendirinya oleh karena itu tindakan pertolongan yang harus segera diberikan yaitu disarankan untuk berkonsultasi langsung ke para ahli kesehatan. Secara umum penderita penyakit ini jarang hingga perlu dirawat di rumah sakit, kecuali keadaannya sudah terjadi komplikasi yang parah. Pengobatan pun akan berbeda antar orang. Kesesuaian dengan seseorang belum tentu akan sesuai pula dengan orang lain. Selama pengobatannya diperlukan kelompok terapis dari berbagai keahlian, yang dapat membantu pasien dalam menghadapi masalah medis, psikologis, dan gizi. Pencegahan terjadinya bulimia nervosa terdiri atas dua bagian : <br />1. Program pencegahan primer <br />Pencegahan ini langsung ditujukan pada populasi berisiko tinggi seperti murid wanita SMP untuk mencegah timbulnya gangguan makan pada mereka yang asimtomatik. Pencegahan yang dilakukan dapat berupa program pendidikan mengenai sikap dan prilaku terhadap remaja. <br />2. Program pencegahan sekunder <br />Pencegahan ini bertujuan untuk deteksi dan intervensi dini, dengan memberikan pendidikan pada petugas kesehatan di pusat pelayanan kesehatan primer.<br />Selain diatas untuk mencegah terjadinya gangguan makan berupa bulimia nervosa dapat juga dilakukan dengan beberapa cara, diantaranya:<br />1. Rajin berkonsultasi dengan dokter<br />2. Tingkatkan rasa percaya diri<br />3. Tingkatkan dinamika lingkungan. Usahakan agar tercipta suasana yang nyaman dan kondusif di lingkungan keluarga atau pekerjaan<br />4. Bersikap realistis. Jangan mudah percaya pada apa yang digambarkan oleh media tentang berat dan bentuk badan ideal<br />Prinsip penatalaksanaan Bulimia nervosa adalah :<br />1. Fokus utama pengobatan adalah menurunkan pola makan ala bulimik <br />2. Hindari makanan yang merangsang pola makan binge seperti es krim<br />3. Obati depresi yang niasanya menyertai bulimia <br />4. Libatkan para remaja dalam psikoterapi individu dengan atau tanpa melibatkan keluarga<br />5. Latihan olahraga yang ringan samapi sedang diberikan obat antidepresan<br />6. Terapi kelompok sangat membantu penyembuhan <br />7. Bila penderita menggunakan diuretik, berikan diet rendah garam karena terjadi retensi cairan bila diuretik dihentikan<br />8. Konsultasi ke dokter gigi untuk menangani kerusakan pada gigi (Angelia, 2009).<br /><br />J. KESIMPULAN <br /> Penyebab bulimia belum diketahui secara pasti hanya saja secara umum dapat terjadi karena peran berbagai faktor (psikologis, lingkungan, genetik).<br /> Sehingga penatalaksanaannya dilakukan dengan menerapkan berbagai terapi antara lain : terapi nutrisi, konseling, dan psikoterapi.<br /><br />K. SARAN<br />Bagi remaja yang mengalami bulimia nervosa hendaklah makan secara normal, diet seimbang dan bila menginginkan penurunan berat badan, mulailah dengan bimbingan ahli gizi. Yang paling penting bagi remaja adalah harus percaya diri dengan apa yang terdapat pada dirinya.<br /><br />L. DAFTAR PUSTAKA<br /><br />1. Angelia, Silvia. 2009. Bulimia nervosa. http://www.pojokgizi.com. Diunduh pada hari Kamis, 16 Juli 2009. 02:31 AM.<br />2. Elhy. 2008. Bulimia Nervosa. http://www. bulimia-nervosa.com. Diunduh pada hari Jum’at, 21 maret 2008. 02:17 AM.<br />3. FKM-UI, 2007. Gizi dan Kesehatan Masyarakat. Jakarta : PT. RajaGrafindo Persada.<br />6. Gowers SG. 2004. Eating disorders in childhood and adolescence. J Pediatr Obstetr Gynaecol.<br />7. Himawari, Nissa Nihaya. 2009. Anoreksia nervosa vs. Bulimia nervosa. http://www.Anoreksia_Nervosa_vs._Bulimia_Nervosa.com. Diunduh pada tanggal 21 Maret 2009. 12:28 AM.<br />8. Iy@anz. 2009. Apakah anoreksia dan Bulimia itu. http://www.info-sehat.com/content.php?s_sid=787 . Diunduh pada hari Rabu, 02 Desember 2009. 12:01:12 AM.<br />9. Paisal. 2008. Bulimia. http://www.wartamedika.com. Diunduh pada tanggal 14 pebruari 2008.<br />10. Purwanti. 2008. Terapi Untuk Bulimia Nervosa. http://www.micom@mediaindonesia.com. Diunduh pada hari Rabu, 23 Juli 2008. 18:00 WIB.<br />11. Putra, dr. Deddy Satriya. 2008. Muntah Pada Anak. http://www.dr-rocky.com. Diunduh pada hari Rabu, 02 Juli 2008. 07:00 AM.<br />12. Sakura. 2009. Bulimia Nervosa. http://www.bulimia-nervosa.com. Diunduh pada hari Sabtu, 25 Juli 2009.<br />13. Sidenfeld, M.K. and Ricket. 2001. Impact of Anorexia, bulimia and obesity on the gynecologic of adolescent. Mount sinai adolescent health. New York.<br />14. Tyas rara. 2008. Bulimia Nervosa. http://www.bulimia_nervosa.com. Diunduh pada tanggal 17 Desember 2008. 5:09 AM.<br />15. WangMuba. 2009. Anaroxia Nervosa, bulimia, dan Tubuh yang Ideal. http://www.Anorexia Nervosa, Bulimia, dan Tubuh yang Ideal _ wangmuba.com. Diunduh pada tanggal 14 April 2009.<br />16. Yudhi. 2008. Anoreksia versus Bulimia. http://www.Yudhi’m.com. Diunduh pada tanggal 29 Januari 2008.<br />17. http://www.eaRticlesOnline.com.<br />18. http://www.emedicine.com.<br />19. http://www.health.yahoo.com.<br />20. http://www.medicastore.com.habankhttp://www.blogger.com/profile/09626054388126297040noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-3909943987252109584.post-62648542621876313232010-06-01T06:06:00.000-07:002010-06-01T06:07:46.935-07:00MAKALAHILMU PENGETAHUAN DAN TEKNOLOGI<br />PERKEMBANGAN MUTAKHIR TENTANG HIV atau AIDS<br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br />Disusun oleh :<br />1. Ambar Wicaksono (P0 7131107009)<br />2. Beti Nur Utami (P0 7131107008)<br />3. Dewi Nurwidianti (P0 7131107012)<br />4. Ignasia Ika (P0 7131107020)<br />5. Listya Drasthyani P. (P0 7131107023)<br />6. Nur Arifah (P0 7131107027)<br />7. Nurvita Yuliana Dewi (P0 7131107029)<br /><br />DEPARTEMEN KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA<br />POLITEKNIK KESEHATAN YOGYAKARTA<br />GIZI REGULER III<br />2009<br />A. PENDAHULUAN<br />Berlawanan dengan kebanyakan masalah kesehatan yang ada sekarang ini dimana biasanya menyerang anak muda atau orang-orang tua, tetapi penyakit AIDS menyerang golongan umur 20-49 tahun. Dengan mempertimbangkan bahwa umur-umur demikian itu adalah umur-umur paling produktif. Jadi untuk negara-negara berkembang AIDS akan mengancaman peningkatan derajat kesehatan (WHO, 1997).<br />Di Indonesia sendiri, jumlah penderita HIV/AIDS terus meningkat. Secara nasional, jumlah warga negara Indonesia yang terinfeksi HIV mencapai 18.442 orang dan 34.000 orang positif AIDS (Parjiyono, 2009). Sedangkan jumlah penderita HIV/AIDS di seluruh kabupaten/kota di Indonesia pada 2010 diperkirakan mencapai 93 ribu sampai 130 ribu orang dan prinsip fenomena gunung es yang berlaku mengatakan, jumlah penderita HIV/AIDS yang tampak hanyalah 5-10 persen dari jumlah keseluruhan (Jonathan,2009).<br />Penyakit AIDS merupakan penyakit kekebalan yang bersifat terminal akibat infeksi retrovirus yang dikenal dengan nama virus HIV (Human Immunodeficiency Virus). Penyakit AIDS (Aquired Immunodeficiency Syndrome) akan menimbulkan keadaan imunodefisiensi (penurunan kekebalan tubuh). Sementara itu, status gizi dan imunitas atau kekebalan berhubungan erat. Keadaan malnutrisi akan menggangu fungsi kekebalan sehingga tubuh tidak dapat melawan infeksi. Sebaliknya infeksi akan meningkatkan risiko malnutrisi (Hartono, 2006).<br />Setiap hari, 14.000 orang terinfeksi HIV, virus yang menyebabkan AIDS. Tidak ada obatnya, tapi sekarang terobosan sebuah mesin yang bisa membersihkan darah, menjaga semakin banyak orang yang hidup lebih lama. <br />Penyakit menular ahli merancang sebuah mesin yang disebut hemopurifier. Cara kerjanya mirip mesin dialisis, menggunakan serat tipis untuk menangkap dan menghilangkan virus dari darah itu filter. Mesin memerlukan gambar darah melalui arteri, yang dikirim melalui pipa ke dalam mesin, lalu kembali ke dalam tubuh. Ini dapat mengobati sejumlah penyakit.<br />The hemopurifier menggunakan antibodi untuk menghapus virus sebagai penyaring darah melaluinya. Ini dirancang untuk menyaring virus dan racun sebelum mereka menyerang organ. Metode ini sangat mirip dengan dialisis, dan dapat digunakan untuk membantu pasien dengan HIV, hepatitis C, campak, gondok, flu, dan banyak lagi. Dapat juga mulai bekerja sebelum dokter mengidentifikasi penyebab penyakit.<br />B. ETIOLOGI<br />AIDS (Acquired Immune Deficiency Syndrome) ialah penyakit yang disebabkan oleh virus HIV (Human Immunodeficiency Virus) yang merusak dari system kekebalan tubuh manusia, sehingga orang yang terkena penyakit tersebut mudah terkena berbagai penyakit menular. Kepanjangan dari huruf-huruf yang terdapat dalam AIDS, yaitu Acquried (didapat), ditularkan dari satu orang ke orang lain. Bukan penyakit bawaan. Immune (kebal), system pertahanan/kekebalan tubuh, yang melindungi tubuh terhadap infeksi. Deficiency (kekurangan), menunjukkan adanya kadar atau nilai yang lebih rendah dari normal biasanya. Syndrome (sindrom), suatu kumpulan tanda atau gejala yang bila didapatkan secara bersamaan, menunjukkan bahwa seseorang mengidap suatu penyakit/keadaan tertentu (Depkes,1997).<br />HIV ini sangat lemah dan mudah mati di luar tubuh manusia. Virus ini merusak salah satu jenis sel darah putih yang dikenal sebagai sel T helper dan sel tubuh lainnya antara lain sel otak,sel usus dan sel paru. Sel T helper merupakan titik pusat system pertahanan tubuh, sehingga infeksi HIV menyebabkan daya tahan tubuh menjadi rusak (Depkes,1988).<br />Penularan virus ini terjadi lewat pertukaran cairan tubuh atau darah antara pasien AIDS dengan orang sehat seperti lewat senggama atau pemakaian jarum suntik dan transfusi produk darah yang terinfeksi AIDS, atau terjadi dari ibu kepada bayinya saat hamil, melahirkan atau menyusui (Hartono, 2006).<br />AIDS adalah suatu penyakit yang sangat berbahaya karena mempunyai Case Fatality Rate 100% dalam 5 tahun, artinya dalam waktu 5 tahun setelah diagnosis AIDS ditegakkan, semua penderita akan meninggal (Depkes,1997).<br /><br /><br /><br />C. PATOFISIOLOGI<br />Penyakit HIV dimulai dengan infeksi akut yang hanya dikendalikan sebagian oleh respon imun spesifik dan berlanjut menjadi infeksi kronik progresif pada jaringan limfoid perifer. Perjalanan penyakit dapat dipantau dengan mengukur jumlah virus dalam serum pasien dan menghitung jumlh sel T CD4 + dalam darah tepi. Bergantung pada lokasi masuknya virus kedalam tubuh,sel T CD4 + dan monosit dalam darah atau sel T CD4 + dan makrofag dalam jaringan mukosa merupakan sel-sel pertama yang terinfeksi. Besar kemungkinan bahwa sel dendritik berperan dalam penyebaran awal HIV dalam jaringan limfoid, karena fungsi normal sel dendritik adalah menangkap antigen dalam jaringan epitel lalu masuk kedalam getah bening. Setelah berada dalam kelenjar getah bening, sel dendritik meneruskan virus kepada sel T melalui kontak antar sel. Dalam beberapa hari saja jumlah virus dalam kelenjar berlipat ganda dan mengakibatkan viremia. Pada saat itu jumlah partikel HIV dalam darah banyak sekali disertai sindrom HIV akut. Viremia menyebabkan virus menyebar di seluruh tubuh dna menginfeksi sel T, monosiT atau makrofag dalam jaringan limfoid perifer. System imun spesifik kemudian akan berupaya mengendalikan infeksi yang tampak dari menurunnya kadar viremia, walaupun masih tetap dapat dideteksi.<br /> Setelah infeksi akut, berlangsunglah fase kedua dimana kelenjar getah bening dan limpa merupakan tempat replikasi virus dan destruksi jaringan secara terus menerus. Selama periode ini system imun dapat mengendalikan sebagian besar infeksi,kareena itu fase ini disebut fase laten. Hanya sedikit virus diproduksi selama fase laten dan sebagian besar sel T dalam darah tidak mengandung virus. Walaupun demikian, destruksi sel T dalam jaringan limfoid terus berlangsung sehinga jumlah sel T semakin lama semakin menurun. Jumlah sel T dalam jaringan limfoid adalah 90% dari jumlah sel T di seluruh tubuh. Pada awalnya sel T dalam jaringan perifer yang rusak oleh virus HIV diganti oleh sel baru tetapi destruksi sel oleh virus HIV yang terus bereplikasi dan menginfeksi sel baru selama masa laten akan menurunkan jumlah sel T dalam darah tepi.<br /> Selama masa kronik progresif, respons imun terhadap infeksi lain akan merangsang produksi HIV dan mempercepat destruksi sel T. Selanjutnya penyakit menjadi progresif dan mencapai fase letal yang disebut AIDS, pada saat dimana destruksi sel T dalam jaringan limfoid perifer lengkap dan jumlah sel T dalam darah tepi menurun hingga dibawah 200 per mm3 viremia meningkat drastic karena replikasi virus dibagian lain dalam tubuh meningkat. Pasien menderita infeksi oportinistik, cacheexia, keganasan dan degenerasi susunan saraf pusat. Kehilangan limfosit Th menyebabkan pasien peka terhadap berbagai jenis infeksi dan menunjukan respons imun yang inefektif terhadap virus onkogenik. <br /><br />D. GEJALA<br />Menurut WHO,1997 gejala dan tanda-tanda klinis dari infeksi HIV ini merupakan gejala yang sangat kompleks. Infeksi HIV dapat dibagi dalam 4 tingkat, dimana tidak terjadi semuanya pada penderita yang terinfeksi. Tingkat-tingkat ini adalah :<br />1. Fase akut<br />Fase ini dapat terjadi kira-kira 1 minggu setelah terkena infeksi dan biasanya perubahan serologis akan terjadi 6-12 minggu atau lebih setelah terinfeksi. Menurut beberapa penelitian, manistefasi klinis dari fase akut ini adalah terjadinya demam, pembesaran kelenjar getah bening, keringat malam, kelainan kulit, sakit kepala dan batuk.<br /><br />2. Fase tak bergejala / asimtomatik<br />Selama periode ini, orang yang terinfeksi HIV mungkin tidak memperlihatkan gejala atau pada sebagian kasus mengalami limfademopati atau yang disebut Persistent Generalized Lymphademopathy (pembengkakan kelanjar getah bening persisten) (Corwin:2000).<br /><br />3. AIDS related compelx / ARC<br />Fase ini ditandai oleh adanya beberapa gejala dan tanda-tanda yang biasanya dipertimbangkan sebagai gejala khas dari ARC, yaitu : diare, penurunan berta badan, malas, lelah dan lemas, hilangnya nafsu makan, rasa tidak enak di perut, demam, keringat malam, sakit kepala, pembesaran kelenjar getah bening dan limpa serta perubahan susunan syaraf yang ditandai oleh kehilangan ingatan dan gejala gangguan syaraf tepi.<br /><br /><br />4. AIDS<br />Tenggang waktu yang terjadi antara infeksi dengan HIV dan timbulnya gejala AIDS bervariasi antara 6 bulan sampai 7 tahun atau lebih. <br />Gejala-gejala yang khas adalah terjadinya infeksi oportunistik dan tumor seperti Sarkoma Kaposi, yang terjadi karena timbulnya sel-sel immunodefisiensi dalam jumlah yang besar yang diakibatkan oleh HIV. Tanda dan gejala yang terjadi pada penderita dengan ARC, dapat juga terjadi pada penderita dengan AIDS tetapi tampak klinisnya menjadi lebih besar.<br />Gejala dan tanda-tanda ini biasanya hilang timbul secara berkala. Penurunan berat badan dapat ditemui pada hampir semua penderita dan biasanya terjadi cepat sekali.<br />Gejala yang menimbulkan dampak negative paling besar pada status gizi klien, berhubungan dengan saluran gastrointestinal dan menurukan asupan oral. Gejal-gejala ini mencakup anoreksia, xerostomia, gangguan pengecap, disfagia, keletihan, mual/muntah, diare, malabsorpsi dan konstipasi (Wilkes, 2000).<br /><br />E. TERAPI<br />1. Terapi Obat/Terapi antivirus<br />Penanganan infeksi HIV terkini adalah terapi antiretrovirus yang sangat aktif (highly active antiretroviral therapy, disingkat HAART). Terapi ini telah sangat bermanfaat bagi orang-orang yang terinfeksi HIV sejak tahun 1996, yaitu setelah ditemukannya HAART yang menggunakan protease inhibitor. Pilihan terbaik HAART saat ini, berupa kombinasi dari setidaknya tiga obat (disebut "koktail) yang terdiri dari paling sedikit dua macam (atau "kelas") bahan antiretrovirus. Kombinasi yang umum digunakan adalah nucleoside analogue reverse transcriptase inhibitor (atau NRTI) dengan protease inhibitor, atau dengan non-nucleoside reverse transcriptase inhibitor (NNRTI). Karena penyakit HIV lebih cepat perkembangannya pada anak-anak daripada pada orang dewasa, maka rekomendasi perawatannya pun lebih agresif untuk anak-anak daripada untuk orang dewasa. Di negara-negara berkembang yang menyediakan perawatan HAART, seorang dokter akan mempertimbangkan kuantitas beban virus, kecepatan berkurangnya CD4, serta kesiapan mental pasien, saat memilih waktu memulai perawatan awal. <br />Perawatan HAART memungkinkan stabilnya gejala dan viremia (banyaknya jumlah virus dalam darah) pada pasien, tetapi ia tidak menyembuhkannya dari HIV ataupun menghilangkan gejalanya. HIV-1 dalam tingkat yang tinggi sering resisten terhadap HAART dan gejalanya kembali setelah perawatan dihentikan. Lagi pula, dibutuhkan waktu lebih dari seumur hidup seseorang untuk membersihkan infeksi HIV dengan menggunakan HAART. Meskipun demikian, banyak pengidap HIV mengalami perbaikan yang hebat pada kesehatan umum dan kualitas hidup mereka, sehingga terjadi adanya penurunan drastis atas tingkat kesakitan (morbiditas) dan tingkat kematian (mortalitas) karena HIV. <br />Tanpa perawatan HAART, berubahnya infeksi HIV menjadi AIDS terjadi dengan kecepatan rata-rata (median) antara sembilan sampai sepuluh tahun, dan selanjutnya waktu bertahan setelah terjangkit AIDS hanyalah 9.2 bulan. Penerapan HAART dianggap meningkatkan waktu bertahan pasien selama 4 sampai 12 tahun. Bagi beberapa pasien lainnya, yang jumlahnya mungkin lebih dari lima puluh persen, perawatan HAART memberikan hasil jauh dari optimal. Hal ini karena adanya efek samping/dampak pengobatan tidak bisa ditolerir, terapi antiretrovirus sebelumnya yang tidak efektif, dan infeksi HIV tertentu yang resisten obat. Ketidaktaatan dan ketidakteraturan dalam menerapkan terapi antiretrovirus adalah alasan utama mengapa kebanyakan individu gagal memperoleh manfaat dari penerapan HAART. <br /><br />2. Terapi Diet<br />Menurut Almatsier (2005), terapi diet untuk penderita HIV/ AIDS memiliki tujuan, syarat, dan jenis serta indikasi sebagai berikut :<br />a. Tujuan terapi diet<br />1) Tujuan umum<br />a) Memberikan intervensi gizi secara cepat dengan mempertimbangkan seluruh aspek dukungan gizi pada semua tahap dini penyakit infeksi HIV.<br />b) Mencapai dan mempertahankan berat badan serta komposisi tubuh yang diharapkan, terutama jaringan otot (Lean Body Mass).<br />c) Memenuhi kebutuhan energy dan semua zat gizi.<br />d) Mendorong perilaku sehat dalam menerapkan diet, olahraga dan relaksasi.<br />2) Tujuan khusus<br />a) Mengatasi gejala diare, intoleransi lakstosa, mual dan muntah.<br />b) Meningkatkan kemampuan untuk memusatkan perhatian, yang terlihat pada : pasien dapat membedakan antar gejala anorexia, perasaan kenyang, perubahan indera pengecap dan kesulitan menelan. <br />c) Mencapai dan mempertahankan berat bdan normal.<br />d) Mencegah penurunan berat badan yang berlebihan (terutama jaringan otot).<br />e) Memberikan kebebasan pasien untuk memilih makanan yang adekuat yang sesuai dengan kemampuan makan dan jenis terapi yang diberikan.<br /><br />b. Syarat terapi diet<br />1) Energy tinggi. Pada perhitungan kebutuhan energy, diperhatikan factor stress, aktifitas fisik dan kenaikan suhu tubuh. Tambahkan energy sabanyak 13% untuk setiap kenaikan suhu 10 C.<br />2) Protein tinggi, yaitu 1,1-1,5 g/Kg BB untuk memelihara dan mengganti jaringan sel tubuh yang rusak. Pemberian protein disesuaikan bila ada kelainan ginjal dan hati.<br />3) Lemak cukup, yaitu 10-25% dari kebutuhan energy total. Jenis lemak disesuaikan dengan toleransi pasien. Apabila ada malabsorbsi lemak digunakan lemak dengan ikatan rantai sedang (Medium Chain Trigliserida/ MCT). Minyak ikan (Asam Lemak Omega3) diberikan bersama minyak MCT dapat memperbaiki fungsi kekebalan.<br />4) Vitamin dan mineral tinggi, yaitu 1½ kali (150%) angka kecukupan gizi yang diajnurkan, terutama vitamin A, B12, C, E, Folat, Kalsium, Magnesium, Seng dan Selenium. <br />5) Serat cukup, gunakan serat yang mudah cerna.<br />6) Cairan cukup, sesuai dengan keadaan pasien. Pada pasien engan gangguan fungsi menelan, pemberian cairan harus hati-hati dan diberikan bertahap dengan konsistensi yang sesuai. Konsistensi cairan dapat berupa cairan kental (Thick fluid), semi kental (Semi thick fluid) dan cair (Thin fluid). <br />7) Elektrolit. Kehilangan elektrolid melalui muntah dan diare perlu diganti (Natrium, Kalium dan Klorida).<br />8) Bentuk maknan dimodifikasi sesuaid dengan keadaan pasien. Hal ini sebaiknya dilakukan dengan cara pendekatan perorangan, dengan melihat kondisi dan toleransi pasien. Apabila terjadi penurunana berat badan yang cepat, maka dianjurkan pemberian makanan melalui pipa atau sonde sebagai makanan utama atau makanan selingan.<br />9) Makanan diberikan dalam porsi kecil dan sering.<br />10) Hindari makanan yang merangsang pencernaan baik secara mekanik, termik maupun kimia. <br /><br />c. Jenis diet dan indikasi pemberian<br />Diet AIDS diberikan pada pasien akut setelah terkena infeksi HIV, yaitu kepada pasien dengan :<br />1) Infeksi HIV positif tanpa gejala.<br />2) Infeksi HIV dengan gejala (misalnya : panas lama, batuk, diare, kesulitan menelan, sariawan dan pembesaran kelenjar getah bening).<br />3) Infeksi HIV dengan gangguan syaraf.<br />4) Infeksi HIV dengan TBC.<br />5) Infeksi HIV dengan Kanker dan HIV Wasting Syndrome. <br />Makanan untuk pasien AIDS dapat diberikan melalui tiga cara, yaitu secara oral, enteral (sonde) dan parenteral (infuse). Asupan makanan secara oral sebaiknya dievaluasis secara rutin. Bila tidak mencukupi, dianjurkan pemberian makanan enteral atau parenteral sebagai tambahan atau sebagai makanan utama. Ada tiga macam diet AIDS yaitu Diet AIDS I, II dan III.<br />1) Diet AIDS I<br />Diet ini diberikan pada pasien infeksi HIV akut, dengan gejala panas tinggi, sariawan, kesulitan menelan, sesak nafas berat, diare akut, kesadarn menurun, atau segera setelah pasien dapat diberi makan. <br /> Makanan berupa cairan dan bubur susu, diberikan selama beberapa hari sesuai dengan keadaan pasien, dalam porsi kecil setiap tiga jam. Bila ada kesulitan menelan, makanan diberikan dalam bentuk sonde atau dalam bentuk kombinasi makanan cair dengan makanan sonde. Makanan sonde dapat dibuat sendiri atau menggunakan makanan enteral komersial energy dan protein tinggi. Makanan ini cukup Energy, Zat besi, Tiamin dan Vitamin C. Bila dibutuhkan lebih banyak energy dapat ditambahkan glukosa polimer (misalnya Poyijoule).<br />2) Diet AIDS II<br />Diet ini diberikan sebagai perpindahan Diet AIDS I setelah tahap akut teratasi. Makanan diberikan dalam bentuk saring atau cincang setiap tiga jam. Makanan ini rendah nilai gizinya dan membosankan. Untuk memenuhi kebutuhan energy dan zat gizi diberikan makanan enteral atau sonde sebagai tambahan atau sebagai makanan utama.<br />3) Diet AIDS III<br />Diet ini diberikan sebagai perpindahan dari Diet AIDS II atau kepada pasien dengan infeksi HIV tanpa gejala. Bentuk makanan lunak atau biasa, diberikan dalam porsi kecil dan sering. Diet ini tinggi energy, protein, vitamin dan mineral. Apabila kemamuan makanan melaui mulut terbatas dan masih tejadi penurunan berat badan, maka dianjurkan pemberian makanan sonde sebagai makanan tambahan atau sebagai makanan utama.<br /> <br />3. Terapi Mutakhir<br />Penyakit menular ahli merancang sebuah mesin yang disebut hemopurifier. Cara kerjanya mirip mesin dialisis, menggunakan serat tipis untuk menangkap dan menghilangkan virus dari darah itu filter. Mesin memerlukan gambar darah melalui arteri, yang dikirim melalui pipa ke dalam mesin, lalu kembali ke dalam tubuh. Ini dapat mengobati sejumlah penyakit.<br />The hemopurifier menggunakan antibodi untuk menghapus virus sebagai penyaring darah melaluinya. Ini dirancang untuk menyaring virus dan racun sebelum mereka menyerang organ. Metode ini sangat mirip dengan dialisis, dan dapat digunakan untuk membantu pasien dengan HIV, hepatitis C, campak, gondok, flu, dan banyak lagi. Dapat juga mulai bekerja sebelum dokter mengidentifikasi penyebab penyakit.<br /><br /><br />F. DAFTAR PUSTAKAhabankhttp://www.blogger.com/profile/09626054388126297040noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-3909943987252109584.post-17858905638491008732010-06-01T05:56:00.001-07:002010-06-01T06:05:58.010-07:00MAKALAHMAKALAH DIET LANJUT<br />”GAGAL JANTUNG”<br /><br /><br /><br /> <br /><br /><br /><br /><br /><br />Disusun Oleh :<br />Gizi Reguler Tk III<br />1. Ambar Wicaksono ( PO 7131107002 )<br /><br /><br />DEPARTEMEN KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA<br />POLITEKNIK KESEHATAN YOGYAKARTA<br />JURUSAN GIZI<br />2009<br /><br /><br />GAGAL JANTUNG<br /><br />A. DEFINISI<br />Gagal jantung adalah suatu keadaan dimana jantung tidak lagi mampu memompa darah ke jaringan untuk memenuhi kebutuhan metabolisme tubuh, walaupun darah balik masih normal. Dengan kata lain, gagal jantung adalah ketidakmampuan jantung untuk memompa darah dalam jumlah yang memadai untuk memenuhi kebutuhan metabolic tubuh ( forward failure ), atau kemampuan tersebut hanya dapat terjadi dengan tekanan pengisian jantung yang tinggi (backward failure), atau kedua-duanya.<br />Gagal jantung adalah keadaan patofisiologik di mana jantung sebagai pompa tidak mampu memenuhi kebutuhan darah untuk metabolisme jaringan. Ciri-ciri yang penting dari definisi ini adalah pertama, definisi gagal adalah relatif terhadap kebutuhan metabolisme tubuh, dan kedua, penekanan arti gagal ditujukan pada fungsi pompa jantung secara keseluruhan.<br />Gagal Jantung (Heart Failure) adalah suatu keadaan yang serius, dimana jumlah darah yang dipompa oleh jantung setiap menitnya (cardiac output, curah jantung) tidak mampu memenuhi kebutuhan normal tubuh akan oksigen dan zat-zat makanan.<br /><br />B. ETIOLOGI<br />Keadaan ini dapat disebabkan oleh karena gangguan primer otot jantung atau beban jantung yang berlebihan atau kombinasi keduanya<br />Terdapat tiga kondisi yang mendasari terjadinya gagal jantung, yaitu :<br />a) Gangguan mekanik <br />Beberapa faktor yang mungkin bisa terjadi secara tunggal atau bersamaan yaitu :<br />• Beban tekanan <br />• Beban volume <br />• Tamponade jantung atau konstriski perikard, jantung tidak dapat diastole <br />• Obstruksi pengisian ventrikel <br />• Aneurisma ventrikel <br />• Disinergi ventrikel <br /> • Restriksi endokardial atu miokardial <br />b) Abnormalitas otot jantung<br />• Primer : kardiomiopati, miokarditis metabolik (DM, gagal ginjal kronik, anemia) toksin atau sitostatika. <br />• Sekunder: Iskemia, penyakit sistemik, penyakit infiltratif, korpulmonal <br />c) Gangguan irama jantung atau gangguan konduksi <br />Di samping itu penyebab gagal jantung berbeda-beda menurut kelompok umur, yakni pada masa neonatus, bayi dan anak. <br />Setiap penyakit yang mempengaruhi jantung dan sirkulasi darah dapat menyebabkan gagal jantung. Beberapa penyakit dapat mengenai otot jantung dan mempengaruhi kemampuannya untuk berkontraksi dan memompa darah. <br />Penyebab paling sering adalah penyakit arteri koroner, (myocardial infarction atau serangan jantung) yang menyebabkan berkurangnya aliran darah ke otot jantung dan bisa menyebabkan suatu serangan jantung. Penyakit arteri koroner menyebabkan berkurangan aliran darah ke otot jantung. Jika arteri menjadi tersumbat, maka jantung menjadi kelaparan akan oksigen dan zat nutrisi (iskemia). Dalam jangka waktu pendek, kerusakan otot jantung (serangan jantung) terjadi. Daerah yang rusak tidak dapat memompa secara normal, yang menyebabkan gagal jantung. <br />Sebab-sebab lain meliputi:<br />a) Cardiomyopathy: kerusakan pada otot jantung karena infeksi, alkohol, atau penyalah-gunaan obat, kehamilan atau tanpa penyebab yang jelas. <br />b) Kondisi-kondisi yang menyebabkan jantung bekerja terlalu berat: tekanan darah tinggi (hipertensi), penyakit katup jantung, penyakit tiroid, penyakit ginjal, diabetes mellitus atau cacat jantung. <br />c) Faktor sistemik : tirotoksikosis, hipokisa, anemia, asidosis dan ketidakseimbangan elektrolit.<br />Penyakit katup jantung bisa menyumbat aliran darah diantara ruang-ruang jantung atau diantara jantung dan arteri utama. Selain itu, kebocoran katup jantung bisa menyebabkan darah mengalir balik ke tempat asalnya. Keadaan ini akan meningkatkan beban kerja otot jantung, yang pada akhirnya bisa melemahkan kekuatan kontraksi jantung. <br />Penyakit lainnya secara primer menyerang sistem konduksi listrik jantung dan menyebabkan denyut jantung yang lambat, cepat atau tidak teratur, sehingga tidak mampu memompa darah secara efektif. Jika jantung harus bekerja ekstra keras untuk jangka waktu yang lama, maka otot-ototnya akan membesar; sama halnya dengan yang terjadi pada otot lengan setelah beberapa bulan melakukan latihan beban. <br />Pada awalnya, pembesaran ini memungkinkan jantung untuk berkontraksi lebih kuat; tetapi akhirnya jantung yang membesar bisa menyebabkan berkurangnya kemampuan memompa jantung dan terjadilah gagal jantung. <br />Tekanan darah tinggi (hipertensi) bisa menyebabkan jantung bekerja lebih berat. Jantung juga bekerja lebih berat jika harus mendorong darah melalui jalan keluar yang menyempit (biasanya penyempitan katup aorta). <br />Penyebab yang lain adalah kekakuan pada perikardium (lapisan tipis dan transparan yang menutupi jantung). Kekakuan ini menghalangi pengembangan jantung yang maksimal sehingga pengisian jantung juga menjadi tidak maksimal. <br />Penyebab lain yang lebih jarang adalah penyakit pada bagian tubuh yang lain, yang menyebabkan meningkatnya kebutuhan akan oksigen dan zat-zat makanan, sehingga jatnung yang normalpun tidak mampu memenuhi peningkatan kebutuhan tersebut dan terjadilah gagal jantung. <br />Penyebab gagal jantung bervariasi di seluruh dunia karena penyakit yang terjadipun tidak sama di setiap negara. Misalnya di negara tropis sejenis parasit tertentu bisa bersemayam di otot jantung dan menyebabkan gagal jantung pada usia yang jauh lebih muda.<br />Penyebab gagal jantung dapat berupa faktor dari dalam jantung itu sendiri maupun dari luar. Faktor dari dalam lebih sering karena terjadinya kerusakan-kerusakan yang sudah dibawa, sedangkan faktor dari luar cukup banyak, antara lain: penyakit jantung koroner, hipertensi, dan diabetes mellitus.<br />Dalam menilai pasien gagal jantung, penting untuk mengenali tidak saja penyebab yang mendasari penyakit jantung tetapi juga penyebab yang memicu timbulnga gagal jantung. Pengenalan penyebab pemicu seperti ini sangat penting, sebab peringanan yang cepat terhadap penyebab ini dapat menyelamatkan hidup. Jika dapat dikenali dengan tepat, penyebab pemicu gagal jantung biasanya dapat diobati dengan lebih efektif dibanding penyebab yang mendasari. Penyebab pemicu gagal jantung antara lain :<br />1) Infeksi<br />Infeksi apapun dapat memicu terjadinya gagal jantung. Demam, takikardi dan hipoksemia yang terjadi serta kebutuhan metabolik yang meningkat akan memberi tambahan beban kepada miokard yang sudah kelebihan beban. <br />2) Anemia<br />Pada keadaan anemia, kebutuhan oksigen jaringan yang melakukan metabolism hanya dapat dipenuhi dengan meningkatkan curah jantung. Meskipun peningkatan curah jantung ini dapat dipertahankan oleh jantung normal, tetapi jantung yang sakit, kelebihan beban, tidak dapat meningkatkan volume darah yang cukup untuk dialirkan ke perifer. Pada keadaan ini, kombinasi anemia dan penyakit jantung terkompensasi sebelumnya dapat menyebabkan penghantaran oksigen yang tidak memadai ke perifer dan memicu gagal jantung.<br />3) Aritmia<br />Pada pasien dengan penyakit jantung terkompensasi, aritmia merupakan penyebab pemicu gagal jantung yang paling sering. Aritmia menimbulkan efek yang menggangu karena :<br />a. Mengurangi periode waktu yang tersedia untuk pengisian ventrikel<br />b. Menyebabkan hilangnya mekanisme pompa penguat atrium karena meningkatkan tekanan atrium<br />c. Kemampuan miokard dapat lebih tergangggu karena hilangnya keselarasan kontraksi ventrikel yang normal<br />d. Mengurangi curah jantung <br />4) Reumatik dan bentuk miokarditis lainnya<br />Demam reumatik akut dan sejumlah proses infeksi atau peradangan lain yang mengenai miokard dapat menggangu fungsi miokard pada pasien dengan atau tanpa penyakit jantung sebelumnya <br />5) Beban fisis, makanan, cairan, lingkungan dan emosional yang berlebihan<br />Penambahan asupan sodium, penghentian obat gagal jantug yang tidak tepat, transfusi darah, kegiatan fisis yang terlalu berat, kelembapan atau panas lingkungan yang berlebihan dan krisis emosional dapat memicu gagal jantung pada pasien dengan penyakit jantung yang sebelumnya masih dapat terkompensasi <br />6) Hipertensi sistemik<br />Peningkatan tekanan arteri yang cepat, seperti yang terjadi pada beberapa hipertensi yang berasal dari ginjal atau karena penghentian obat antihipertensi, dapat menyebabkan dekompensasi jantung <br />7) Infark miokard<br />Pada pasien dengan penyakit jantung iskemik kronik tetapi terkompensasi, selain tidak ada gejala klinis kadang-kadang infark baru yang terjadi dapat lebih menggangu fungsi ventrikel dan memicu gagal jantung<br />Bentuk-bentuk gagal jantung dibedakan menjadi :<br />a. Gagal jantung curah-tinggi atau curah-rendah<br />b. Gagal jantung akut atau kronik<br />c. Gagal jantung sisi kanan atau sisi kiri<br />1. Gagal jantung kiri disebabkan oleh penyakit jantung koroner, penyakit katup aorta dan mitral serta hipertensi. Gagal jantung kiri berdampak pada :<br />- Paru<br />- Ginjal <br />- Otak <br />2. Penyebab gagal jantung kanan harus juga termasuk semua yang dapat menyebabkan gagal jantung kiri, seharusnya stenosis mitral yang menyebabkan peningkatan tekanan dalam sirkulasi paru. Gagal jantung kanan dapat berdampak pada :<br />- Hati<br />- Ginjal<br />- Jaringan subkutis<br />- Otak<br />- Sistem Aliran aorta<br />d. Gagal jantung depan (forward) atau belakang (backward)<br />e. Gagal jantung sistolik atau diastole<br /><br />C. PATOFISIOLOGI<br />Gagal jantung bukanlah suatu keadaan klinis yang hanya melibatkan satu sistem tubuh melainkan suatu sindroma klinik akibat kelainan jantung sehingga jantung tidak mampu memompa memenuhi kebutuhan metabolisme tubuh. Gagal jantung ditandai dengan dengan satu respon hemodinamik, ginjal, syaraf dan hormonal yang nyata serta suatu keadaan patologik berupa penurunan fungsi jantung.<br />Respon terhadap jantung menimbulkan beberapa mekanisme kompensasi yang bertujuan untuk meningkatkan volume darah, volume ruang jantung, tahanan pembuluh darah perifer dan hipertropi otot jantung. Kondisi ini juga menyebabkan aktivasi dari mekanisme kompensasi tubuh yang akut berupa penimbunan air dan garam oleh ginjal dan aktivasi system saraf adrenergik. <br />Kemampuan jantung untuk memompa darah guna memenuhi kebutuhan tubuh ditentukan oleh curah jantung yang dipengaruhi oleh empar faktor yaitu: preload; yang setara dengan isi diastolik akhir, afterload; yaitu jumlah tahanan total yang harus melawan ejeksi ventrikel, kontraktilitas miokardium; yaitu kemampuan intrinsik otot jantung untuk menghasilkan tenaga dan berkontraksi tanpa tergantung kepada preload maupun afterload serta frekuensi denyut jantung. <br />Dalam hubungan ini, penting dibedakan antara kemampuan jantung untuk memompa (pump function) dengan kontraktilias otot jantung (myocardial function). Pada beberapa keadaan ditemukan beban berlebihan sehingga timbul gagal jantung sebagai pompa tanpa terdapat depresi pada otot jantung intrinsik. Sebaliknya dapat pula terjadi depresi otot jantung intrinsik tetapi secara klinis tidak tampak tanda-tanda gagal jantung karena beban jantung yang ringan. <br />Pada awal gagal jantung, akibat CO yang rendah, di dalam tubuh terjadi peningkatan aktivitas saraf simpatis dan sistem renin angiotensin aldosteron, serta pelepasan arginin vasopressin yang kesemuanya merupakan mekanisme kompensasi untuk mempertahankan tekanan darah yang adekuat. Penurunan kontraktilitas ventrikel akan diikuti penurunan curah jantung yang selanjutnya terjadi penurunan tekanan darah dan penurunan volume darah arteri yang efektif. Hal ini akan merangsang mekanisme kompensasi neurohumoral. <br />Vasokonstriksi dan retensi air untuk sementara waktu akan meningkatkan tekanan darah sedangkan peningkatan preload akan meningkatkan kontraktilitas jantung melalui hukum Starling. Apabila keadaan ini tidak segera teratasi, peninggian afterload, peninggian preload dan hipertrofi/ dilatasi jantung akan lebih menambah beban jantung sehingga terjadi gagal jantung yang tidak terkompensasi<br />Tubuh memiliki beberapa mekanisme kompensasi untuk mengatasi gagal jantung. <br />1) Mekanisme respon darurat yang pertama berlaku untuk jangka pendek (beberapa menit sampai beberapa jam), yaitu reaksi fight-or-flight. Reaksi ini terjadi sebagai akibat dari pelepasan adrenalin (epinefrin) dan noradrenalin (norepinefrin) dari kelenjar adrenal ke dalam aliran darah; noradrenalin juga dilepaskan dari saraf. Adrenalin dan noradrenalin adalah sistem pertahanan tubuh yang pertama muncul setiap kali terjadi stres mendadak. Pada gagal jantung, adrenalin dan noradrenalin menyebabkan jantung bekerja lebih keras, untuk membantu meningkatkan curah jantung dan mengatasi gangguan pompa jantung sampai derajat tertentu. Curah jantung bisa kembali normal, tetapi biasanya disertai dengan meningkatnya denyut jantung dan bertambah kuatnya denyut jantung. Pada seseorang yang tidak mempunyai kelainan jantung dan memerlukan peningkatan fungsi jantung jangka pendek, respon seperti ini sangat menguntungkan. Tetapi pada penderita gagal jantung kronis, respon ini bisa menyebabkan peningkatan kebutuhan jangka panjang terhadap sistem kardiovaskuler yang sebelumnya sudah mengalami kerusakan. Lama-lama peningkatan kebutuhan ini bisa menyebabkan menurunya fungsi jantung. <br />2) Mekanisme perbaikan lainnya adalah penahanan garam (natrium) oleh ginjal. Untuk mempertahankan konsentrasi natrium yang tetap, tubuh secara bersamaan menahan air. Penambahan air ini menyebabkan bertambahnya volume darah dalam sirkulasi dan pada awalnya memperbaiki kerja jantung. Salah satu akibat dari penimbunan cairan ini adalah peregangan otot jantung karena bertambahnya volume darah. Otot yang teregang berkontraksi lebih kuat. Hal ini merupakan mekanisme jantung yang utama untuk meningkatkan kinerjanya dalam gagal jantung. Tetapi sejalan dengan memburuknya gagal jantung, kelebihan cairan akan dilepaskan dari sirkulasi dan berkumpul di berbagai bagian tubuh, menyebabkan pembengkakan (edema). Lokasi penimbunan cairan ini tergantung kepada banyaknya cairan di dalam tubuh dan pengaruh gaya gravitasi. Jika penderita berdiri, cairan akan terkumpul di tungkai dan kaki. Jika penderita berbaring, cairan akan terkumpul di punggung atau perut. Sering terjadi penambahan berat badan sebagai akibat dari penimbunan air dan garam. ginjal menyebabkan tubuh menahan cairan dan sodium. Ini menambah jumlah darah yang beredar melalui jantung dan pembuluh darah. <br />3) Mekanime utama lainnya adalah pembesaran otot jantung (hipertrofi). Otot jantung yang membesar akan memiliki kekuatan yang lebih besar, tetapi pada akhirnya bisa terjadi kelainan fungsi dan menyebabkan semakin memburuknya gagal jantung. <br />Tubuh anda mencoba untuk berkompensasi dengan melepaskan hormon yang membuat jantung bekerja lebih keras. Dengan berlalunya waktu, mekanisme pengganti ini gagal dan gejala-gejala gagal jantung mulai timbul. Seperti gelang karet yang direntang berlebihan, maka kemampuan jantung untuk merentang dan mengerut kembali akan berkurang. Otot jantung menjadi terentang secara berlebihan dan tidak dapat memompa darah secara efisien. Darah kembali ke lengan, tungkai, pergelangan kaki, kaki, hati, paru-paru atau organ-organ lainnya; tubuh menjadi macet. Inilah yang disebut gagal jantung kongestif. <br />Pompa yang lemah" tidak dapat memenuhi keperluan terus-menerus dari tubuh akan oksigen dan zat nutrisi. <br /><br /><br /><br />Sebagai reaksi : <br /> <br /> <br /><br /><br /><br /><br /><br /> <br />Gagal jantung merupakan proses progresif, bahkan jika tidak ada kerusakan baru terjadi pada jantung. <br /><br />D. GEJALA KLINIS<br />1) Dispnea ( sesak napas )<br />2) Ortopnea ( sesak napas dalam posisi berbaring )<br />3) Dispnea paroksismal (noktural/ sesak napas dan batuk malam hari )<br />4) Kelelahan,, kelemahan dan berkurangnya kapasitas exercise<br />5) Anoreksia, mual, nyeri abdomen dan rasa penuh<br />6) Gejala serebral ( pada gagal jantung berat/usia lanjut ditandai dengan konfunsio, sulit konsentrasi, insomnia, sakit kepala, gangguan mengingat, kecemasan dan nokturia )<br />7) Edema jantung<br /><br /><br />Pada penderita gagal jantung kongestif, hampir selalu ditemukan :<br />1) Gejala paru berupa dyspnea, orthopnea dan paroxysmal nocturnal dyspnea<br />2) Gejala sistemik berupa lemah, cepat lelah, oliguri, nokturi, mual, muntah, asites, hepatomegali, dan edema perifer. <br />3) Gejala susunan saraf pusat berupa insomnia, sakit kepala, mimpi buruk sampai delirium. <br />Pada kasus akut, gejala yang khas ialah gejala edema paru yang meliputi : dyspnea, orthopnea, tachypnea, batuk-batuk dengan sputum berbusa, kadang-kadang hemoptisis, ditambah gejala low output seperti : takikardi, hipotensi dan oliguri beserta gejala-gejala penyakit penyebab atau pencetus lainnya seperti keluhan angina pectoris pada infark miokard akut. Apabila telah terjadi gangguan fungsi ventrikel yang berat, maka dapat ditemukn pulsus alternan. Pada keadaan yang sangat berat dapat terjadi syok kardiogenik.<br />Penderita gagal jantung yang tidak terkompensasi akan merasakan lelah dan lemah jika melakukan aktivitas fisik karena otot-ototnya tidak mendapatkan jumlah darah yang cukup. Pembengkakan efek pembengkakan juga dipengaruhi oleh sisi jantung yang mengalami gangguan. Gagal jantung kanan cenderung mengakibatkan pengumpulan darah yang mengalir ke bagian kanan jantung. Hal ini menyebabkan pembengkakan di kaki, pergelangan kaki, tungkai, hati dan perut. <br />Gagal jantung kiri menyebabkan pengumpulan cairan di dalam paru-paru (edema pulmoner), yang menyebabkan sesak nafas yang hebat. Pada awalnya sesak nafas hanya terjadi pada saat melakukan aktivitas; tetapi sejalan dengan memburuknya penyakit, sesak nafas juga akan timbul pada saat penderita tidak melakukan aktivitas. Kadang sesak nafas terjadi pada malam hari ketika penderita sedang berbaring, karena cairan bergerak ke dalam paru-paru. Penderita sering terbangun dan bangkit untuk menarik nafas atau mengeluarkan bunyi mengi. Duduk menyebabkan cairan mengalir dari paru-paru sehingga penderita lebih mudah bernafas. Untuk menghindari hal tersebut, sebaiknya penderita gagal jantung tidur dengan posisi setengah duduk. <br />Pengumpulan cairan dalam paru-paru yang berat (edema pulmoner akut) merupakan suatu keadaan darurat yang memerlukan pertolongan segera dan bisa berakibat fatal.<br />Gejala yang muncul sesuai dengan gejala jantung kiri diikuti gagal jantung kanan dapat terjadinya di dada karana peningkatan kebutuhan oksigen. Pada pemeriksaan fisik ditemukan tanda – tanda gejala gagal jantung kongestif biasanya terdapat bunyi derap dan bising akibat regurgitasi mitral.<br />Gagal Jantung Kiri :<br />a. Dispneu<br />b. Orthopneu<br />c. Paroksimal Nokturnal Dyspneu<br />d. Batuk<br />e. Mudah lelah<br />f. Gelisah dan cemas<br /><br />Gagal Jantung Kanan :<br />a. Pitting edema<br />b. Hepatomegali<br />c. Anoreksia<br />d. Nokturia<br />e. Kelemahan<br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br />E. PENATALAKSANAAN<br />Tata laksana gagal jantung didasarkan pada usaha untuk menentukan diagnosis yang tepat, menyingkirkan kelainan yang menyerupai gagal jantung, sambil memberikan pengobatan untuk mengurangi keluhan. Tindakan dan pengobatan pada gagal jantung ditujukan pada 5 aspek, yaitu :<br />1) Mengurangi beban kerja jantung<br />2) Memperkuat kontraktilitas miokard<br />3) Mengurangi kelebihan cairan dan garam<br />4) Melakukan tindakan dan pengobatan khusus terhadap penyakit,<br />5) Faktor-faktor pencetus dan kelainan yang mendasari.<br />Pada umumnya semua penderita gagal jantung dianjurkan untuk membatasi aktivitas sesuai beratnya keluhan. Terapi nonfarmakologi antara lain: diet rendah garam, mengurangi berat badan, mengurangi lemak, mengurangi stress psikis, menghindari rokok, olahraga teratur (Nugroho, 2009). Beban awal dapat dikurangi dengan pembatasan cairan, pemberian diuretika, nitrat, atau vasodilator lainnya. Beban akhir dikurangi dengan obat-obat vasodilator, seperti ACE-inhibitor, hidralazin. Kontraktilitas dapat ditingkatkan dengan obat ionotropik seperti digitalis, dopamin, dan dobutamin (Sugeng dan Sitompul, 2003).<br />Penunjang pemeriksaan seperti :<br />1. EKG (elektrokardiogram): untuk mengukur kecepatan dan keteraturan denyut jantung.<br />2. Echokardiogram: menggunakan gelombang suara untuk mengetahui ukuran dan bentuk jantung, serta menilai keadaan ruang jantung dan fungsi katup jantung. Sangat bermanfaat untuk menegakkan diagnosis gagal jantung.<br />3. Foto rontgen dada: untuk mengetahui adanya pembesaran jantung, penimbunan cairan di paru-paru atau penyakit paru lainnya.<br />4. Tes darah BNP: untuk mengukur kadar hormon BNP (B-type natriuretic peptide) yang pada gagal jantung akan meningkat.<br /><br />F. TERAPI DIIT<br />Merokok, garam, kelebihan berat badan dan alkohol akan memperburuk gagal jantung. Dianjurkan untuk berhenti merokok, melakukan perubahan pola makan, berhenti minum alkohol atau melakukan olah raga secara teratur untuk memperbaiki kondisi tubuh secara keseluruhan. Untuk penderita gagal jantung yang berat, tirah baring selama beberapa hari merupakan bagian penting dari pengobatan. <br />Penggunaan garam yang berlebihan dalam makanan sehari-hari bisa menyebabkan penimbunan cairan yang akan menghalangi pengobatan medis. Jumlah natrium dalam tubuh bisa dikurangi dengan membatasi pemakaian garam dapur, garam dalam masakan dan makanan yang asin. Penderita gagal jantung yang berat biasanya akan mendapatkan keterangan terperinci mengenai jumlah asupan garam yang masih diperbolehkan. <br />Cara yang sederhana dan dapat dipercaya untuk mengetahui adanya penimbunan cairan dalam tubuh adalah dengan menimbang berat badan setiap hari. Kenaikan lebih dari 1 kg/hari hampir dapat dipastikan disebabkan oleh penimbunan cairan. Penambahan berat badan yang cepat dan terus menerus merupakan petunjuk dari memburuknya gagal jantung. Karena itu penderita gagal jantung diharuskan menimbang berat badannya setepat mungkin setiap hari, terutama pada pagi hari , setelah berkemih dan sebelum sarapan. Timbangan yang digunakan harus sama, jumlah pakaian yang digunakan relatif sama dan dibuat catatan tertulis. <br />Syarat diet penyakit jantung adalah :<br />1. Energi cukup, untuk mencapai dan mempertahankan berat badan normal.<br />2. Protein cukup yaitu 0,8g/kg BB.<br />3. Lemak sedang, yaitu 25–30% dari kebutuhan energi total, 10% berasal dari lemak jenuh, dan 10-15% lemak tidak jenuh.<br />4. Kolesterol rendah, terutama jika disertai dengan dislipidemia.<br />5. vitamin dan mineral cukup. Hindari penggunaan suplemen kalium, kalsium, dan magnesium jika tidak dibutuhkan.<br />6. Garam rendah, 2-3g/hari, jika disertai hipertensi atau edema.<br />7. Makanan mudah cerna dan tidak menimbulkan gas.<br />8. Serat cukup untuk menghindari konstipasi.<br />9. Cairan cukup, ± 2 liter/hari sesuai dengan kebutuhan.<br />10. Bentuk makanan disesuaikan dengan keadaan penyakit, diberikan dalam porsi kecil.<br />11. Bila kebutuhan gizi tidak dapat dipenuhi melalui makanan dapat diberikan tambahan berupa makanan enteral, parenteral, atau suplemen gizi.<br /><br /><br /><br /><br />DAFTAR PUSTAKA<br /><br />Almatsier, DR.Sunita,M.Sc. 2005. Penuntun Diet Edisi Baru. Jakarta : PT Gramedia Pustaka Utama.<br />Harrrison prinsip-prinsip ilmu penyakit dalam / editor edisi bahasa Inggris, Kurt J.Isselbacher…(et al.); editor edisi bahasa Indonesia, Ahmad H.Asdie.-Ed.13-Jakarta : EGC, 2000.<br />Rilantono, Lily Ismudiati, dkk. 1996. Buku Ajar Kardiologi. Jakarta : FK Kedokteran UI.<br />http://www.sahabatginjal.com/display_articles.aspx?artid=17<br />http://astaqauliyah.com/2006/07/20/penyakit-gagal-jantung/<br />http://medicastore.com/penyakit/3/Gagal_Jantung.html<br />http://drlizakedokteran.blogspot.com/2008/01/gagal-jantungmudah-lelah-baru-aja-jalan.html<br />http://id.wikipedia.org/wiki/Gagal_jantung<br />http://ackogtg.wordpress.com/2009/03/10/gagal-jantung-decompensatio-cordis/<br />http://images.google.co.id/imgres?imgurl=http://pdpersi.co.id/images/news/content/jantung2.jpg&imgrefurl=http://pdpersi.co.id/%3Fshow%3Ddetailnews%26kode%3D538%26tbl%3Dcakrawala&usg=__Dvh5AvcSdVX1oaRSrWBRXecc-rk=&h=205&w=200&sz=31&hl=id&start=2&um=1&tbnid=cstNBChJs3Gl9M:&tbnh=105&tbnw=102&prev=/images%3Fq%3Dgagal%2Bjantung%26hl%3Did%26sa%3DN%26um%3D1habankhttp://www.blogger.com/profile/09626054388126297040noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-3909943987252109584.post-28998593192918167072010-06-01T05:56:00.000-07:002010-06-01T06:02:42.071-07:00KATA PENGANTAR<br /><br />Puji syukur atas kehadirat Tuhan Yang Maha Esa atas limpahan rahmat dan hidayah-Nya, sehinga penulis dapat menyelesaikan laporan asuhan gizi dalam rangka praktek kerja lapangan manajemen asuhan gizi klinik dengan judul “Penatalaksanaan Terapi Diet Pada penderita Tumor Paru Ruang Palem di RSUD Dr. Soetomo Surabaya.<br />Penulis menyadari sepenuhnya laporan penelitian sederhana ini dapat tersusun atas bimbingan, pengarahan dan bantuan dari berbagai pihak yang tidak bisa disebutkan satu persatu dan pada kesempatan ini penulis menyampaikan ucapan terima kasih kepada :<br />1. Ibu Poerwaningsih, SKM, M.Kes selaku Kepala Instalasi Gizi RSUD Dr. Soetomo Surabaya.<br />2. Bapak Nono Tri Nugroho, SGz selaku Pembimbing Asuhan Gizi Ruang Palem I di Instalasi Gizi RSUD Dr. Soetomo. <br />3. Ibu F.X. Wahyurin Mitano, SKM selaku Koordinator PKL di Instalasi Gizi RSUD Dr. Soetomo Surabaya.<br />4. Teman – teman PKL angkatan 2007 di RSUD Dr. Soetomo Surabaya Rahma, Nita, Rinda, Fitri, Nunung dan seluruh pihak yang turut membantu dalam menyelesaikan asuhan gizi ini.<br />Penulis menyadari bahwa dalam menyusun laporan asuhan gizi ini masih jauh dari sempurna, oleh karena itu penulis mengharapkan kritik dan saran yang membangun demi kesempatan laporan ini pada waktu yang akan datang.<br />Semoga laporan asuhan gizi ini dapat bermanfaat bagi kita semua, amin.<br /><br />Surabaya, Maret 2010<br /><br /> Penulis <br /><br />BAB I<br />PENDAHULUAN<br /><br />A. Latar Belakang<br />Menurut Depkes (2005), Pelayanan gizi rumah sakit adalah pelayanan gizi yang disesuaikan dengan keadaan pasien berdasarkan kadaan klinis, status gizi, serta status metabolisme tubuhnya. Keadaan gizi pasien sangat berpengaruh pada proses penyembuhan penyakit, sebaliknya proses perjalanan penyakit dapat berpengaruh terhadap keadaan gizi pasien. Sering terjadi kondisi pasien semakin buruk karena tidak diperhatikan keadaan gizinya. Pengaruh tersebut akan berjalan timbal balik, seperti lingkaran setan. Hal tersebut diakibatkan karena tidak tercukupinya kebutuhan zat gizi tubuh untuk perbaikan organ tubuh. Fungsi organ yang terganggu akan lebih terganggu lagi dengan adanya penyakit dan kekurangan gizi.<br />Terapi gizi menjadi salah satu faktor utama dalam membantu proses penyembuhan yang tentunya harus memperhatikan cara – cara pemberian terapinya agar dapat memenuhi kebutuhan zat gizinya. Pemberian terapi diet ini dapat dilakukan di rumah sakit yang salah satunya pada ruang rawat inap (Depkes, 2005).<br />Penentuan terapi diet pada pasien perlu memperhatikan diagnose gizi yang ada. Diagnosa gizi diketahui dari pengkajian data yang telah dikumpulkan sebelumnya (assessment gizi). Data yang dikumpulkan antara lain antropometri, biokimia, fisik – klinis dan dietery history. Oleh karena itu perlu dilakukan studi kasus pada ruang rawat inap untuk penatalaksanaan terapi diet pada penderita Ca Paru di Ruang Palem Dr. Soetomo Surabaya.<br /><br />B. Tujuan Studi Kasus<br />1. Tujuan Umum <br />Mengetahui penatalaksanaan terapi diet pada penderita Ca Paru di Ruang Palem RSUD Dr. Soetomo Surabaya.<br />2. Tujuan Khusus<br />a. Mengetahui data dasar dalam tata laksana asuhan gizi pasien.<br />b. Mengetahui pangkajian gizi.<br />c. Mengetahui diagnosa gizi sesuai dengan masalah gizi.<br />d. Mengetahui perencanaan terapi gizi untuk pasien.<br />e. Mengetahui implementasi pasien.<br />f. Mengetahui monitoring evaluasi dari kegiatan asuhan gizi pasien.<br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br />BAB II<br />TINJAUAN PUSTAKA<br /><br />A. Kanker Paru<br />1. Pengertian <br />Sebagian besar kanker paru-paru berasal dari sel-sel di dalam paru-paru; tetapi kanker paru-paru bisa juga berasal dari kanker di bagian tubuh lainnya yang menyebar ke paru-paru. Kanker paru-paru merupakan kanker yang paling sering terjadi, baik pada pria maupun wanita. Kanker paru-paru juga merupakan penyebab utama dari kematian akibat kanker. <br />2. Jenis Kanker Paru-paru <br />Lebih dari 90% kanker paru-paru berawal dari bronki (saluran udara besar yang masuk ke paru-paru), kanker ini disebut karsinoma bronkogenik, yang terdiri dari: <br />• Karsinoma sel skuamosa <br />• Karsinoma sel kecil atau karsinoma sel gandum <br />• Karsinoma sel besar <br />• Adenokarsinoma. <br />Karsinoma sel alveolar berasal dari kantong udara (alveoli) di paru-paru. Kanker ini bisa merupakan pertumbuhan tunggal, tetapi seringkali menyerang lebih dari satu daerah di paru-paru. <br />Tumor paru-paru yang lebih jarang terjadi adalah: <br />• Adenoma (bisa ganas atau jinak) <br />• Hamartoma kondromatous (jinak) <br />• Sarkoma (ganas) <br />Limfoma merupakan kanker dari sistem getah bening, yang bisa berasal dari paru-paru atau merupakan penyebaran dari organ lain. Banyak kanker yang berasal dari tempat lain menyebar ke paru-paru. Biasanya kanker ini berasal dari payudara, usus besar, prostat, ginjal, tiroid, lambung, leher rahim, rektum, buah zakar, tulang dan kulit.<br />3. Diagnose<br />Jika seseorang (terutama perokok) mengalami batuk yang menetap atau semakin memburuk atau gejala paru-paru lainnya, maka terdapat kemungkinan terjadinya kanker paru-paru. Kadang petunjuk awalnya berupa ditemukannya bayangan pada rontgen dada dari seseorang yang tidak menunjukkan gejala. Rontgen dada bisa menemukan sebagian besar tumor paru-paru, meskipun tidak semua bayangan yang terlihat merupakan kanker. Biasanya dilakukan pemeriksaan mikroskopik dari contoh jaringan, yang kadang berasal dari dahak penderita (sitologi dahak). Untuk mendapatkan jaringan yang diperlukan, dilakukan bronkoskopi. <br />CT scan bisa menunjukkan bayangan kecil yang tidak tampak pada foto rontgen dada dan bisa menunjukkan adanya pembesaran kelenjar getah bening. Untuk mengetahui adanya penyebaran ke hati, kelenjar adrenal atau otak, dilakukan CT scan perut dan otak. Penyebaran ke tulang bisa dilihat melalui skening tulang. Kadang dilakukan biopsi sumsum tulang, karena karsinoma sel kecil cenderung menyebar ke sumsum tulang <br />Penggolongan (stadium) kanker dilakukan berdasarkan: <br />- ukuran tumor <br />- penyebaran ke kelenjar getah bening di dekatnya <br />- penyebaran ke organ lain. <br />Stadium ini digunakan untuk menentukan jenis pengobatan yang akan dilakukan dan ramalan penyakit pada penderita. <br />B. Efusi Pleura <br />1. Pengertian<br />Efusi pleura adalah suatu keadaan dimana terdapatnya cairan pleura dalam jumlah yang berlebihan di dalam rongga pleura, yang disebabkan oleh ketidakseimbangan antara pembentukan dan pengeluaran cairan pleura. Dalam keadaan normal, jumlah cairan dalam rongga pleura sekitar 10-200 ml. Cairan pleura komposisinya sama dengan cairan plasma, kecuali pada cairan pleura mempunyai kadar protein lebih rendah yaitu < 1,5 gr/dl. Etiologi terjadinya efusi pleura bermacam-macam, yaitu: tuberkulosis paru (merupakan penyebab yang palng sering di Indonesia), penyakit primer pada pleura, penyakit penyakit sistemik dan keganasan baik pada pleura maupun diluar pleura.<br />2. Anatomi Pleura<br />Pleura adalah membra tipis terdiri dari 2 lapisan yaitu pleura visceralis dan parietalis. Secara histologis kedua lapisan ini terdiri dari sel mesothelial, jaringaan ikat, dan dalam keadaan normal, berisikan lapisan cairan yang sangat tipis. Membran serosa yang membungkus parekim paru disebut pleura viseralis, sedangkan membran serosa yang melapisi dinding thorak, diafragma, dan mediastinum disebut pleura parietalis. Rongga pleura terletak antara paru dan dinding thoraks. Rongga pleura dengan lapisan cairan yang tipis ini berfungsi sebagai pelumas antara kedua pleura. Kedua lapisan pleura ini bersatu pada hillus paru. Dalam hal ini, terdapat perbedaan antara pleura viseralis dan parietalis, diantaranya :<br />• Pleura visceralis :<br />- Permukaan luarnya terdiri dari selapis sel mesothelial yang tipis < 30mm.<br />- Diantara celah-celah sel ini terdapat sel limfosit<br />- Di bawah sel-sel mesothelial ini terdapat endopleura yang berisi fibrosit dan histiosit<br />- Di bawahnya terdapat lapisan tengah berupa jaringan kolagen dan serat-serat elastik<br />- Lapisan terbawah terdapat jaringan interstitial subpleura yang banyak mengandung pembuluh darah kapiler dari a. Pulmonalis dan a. Brakhialis serta pembuluh limfe<br />- Menempel kuat pada jaringan paru<br />- Fungsinya. untuk mengabsorbsi cairan. Pleura<br /><br /><br />• Pleura parietalis<br />- Jaringan lebih tebal terdiri dari sel-sel mesothelial dan jaringan ikat (kolagen dan elastis)<br />- Dalam jaringan ikat tersebut banyak mengandung kapiler dari a. Intercostalis dan a. Mamaria interna, pembuluh limfe, dan banyak reseptor saraf sensoris yang peka terhadap rasa sakit dan perbedaan temperatur. Keseluruhan berasal n. Intercostalis dinding dada dan alirannya sesuai dengan dermatom dada<br />- Mudah menempel dan lepas dari dinding dada di atasnya<br />- Fungsinya untuk memproduksi cairan pleura<br />3. Patofisiologi<br />Dalam keadaan normal, selalu terjadi filtrasi cairan ke dalam rongga pleura melalui kapiler pada pleura parietalis tetapi cairan ini segera direabsorpsi oleh saluran limfe, sehingga terjadi keseimbangan antara produksi dan reabsorpsi, tiap harinya diproduksi cairan kira-kira 16,8 ml (pada orang dengan berat badan 70 kg). Kemampuan untuk reabsorpsinya dapat meningkat sampai 20 kali. Apabila antara produk dan reabsorpsinya tidak seimbang (produksinya meningkat atau reabsorpsinya menurun) maka akan timbul efusi pleura.<br />Diketahui bahwa cairan masuk kedalam rongga melalui pleura parietal dan selanjutnya keluar lagi dalam jumlah yang sama melalui membran pleura parietal melalui sistem limfatik dan vaskular. Pergerakan cairan dari pleura parietalis ke pleura visceralis dapat terjadi karena adanya perbedaan tekanan hidrostatik dan tekanan koloid osmotik. Cairan kebanyakan diabsorpsi oleh sistem limfatik dan hanya sebagian kecil yang diabsorpsi oleh sistem kapiler pulmonal. Hal yang memudahkan penyerapan cairan pada pleura visceralis adalah terdapatnya banyak mikrovili di sekitar sel-sel mesothelial.<br />Akumulasi cairan pleura dapat terjadi bila:<br />1. Meningkatnya tekanan intravaskuler dari pleura meningkatkan pembentukan cairan pleura melalui pengaruh terhadap hukum Starling.Keadaan ni dapat terjadi pada gagal jantung kanan, gagal jantung kiri dan sindroma vena kava superior.<br />2. Tekanan intra pleura yang sangat rendah seperti terdapat pada atelektasis, baik karena obstruksi bronkus atau penebalan pleura visceralis<br />3. Meningkatnya kadar protein dalam cairan pleura dapat menarik lebih banyak cairan masuk ke dalam rongga pleura<br />4. Hipoproteinemia seperti pada penyakit hati dan ginjal bisa menyebabkan transudasi cairan dari kapiler pleura ke arah rongga pleura<br />5. Obstruksi dari saluran limfe pada pleum parietalis. Saluran limfe bermuara pada vena untuk sistemik. Peningkatan dari tekanan vena sistemik akan menghambat pengosongan cairan limfe.<br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br />BAB III<br />METODOLOGI<br /><br />A. Waktu dan Tempat Studi Kasus<br />1. Waktu <br />Waktu pelaksanaan studi kasus mulai tanggal 21 sampai 22 Maret 2010.<br />2. Tempat <br />Tempat pelaksanaan studi kasus dilaksanakan di Ruang Palem I.<br /><br />B. Cara Mengumpulkan Data<br />Pengumpulan data dilaksanakan dengan wawancara dan observasi.<br /><br />C. Instrument Studi Kasus<br />Alat penunjang yang digunakan untuk studi kasus, yaitu :<br />1. Form asuhan gizi<br />2. Alat tulis<br />3. Timbangan <br />4. Metline<br />5. Food model<br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br />BAB IV<br />HASIL<br /><br />A. Identitas Pasien<br />Nama : Tn. Liwon <br />Jenis Kelamin : Laki – laki<br />Umur : 52 th<br />No. Registrasi : 11. 02. 90. 01<br />Pekerjaan : Swasta<br />Pendidikan : SMP<br />St perkawinan : Nikah<br />Tanggal Skrining : 21 – 03 – 2010<br />Tanggal dimulai kasus : 21 – 03 – 2010<br />Diagnose : Efusi Pluera (D) + Tumor Paru.<br /><br />B. Skrining Gizi<br />Hasil skrining pada Tn. Liwon dapat dilihat pada tabel 1 berikut ini :<br />Tabel 1. Hasil skrining pasien tanggal 19 Maret 2010<br />No Keluhan Ya Tidak Keterangan<br />1<br />2<br />3<br />4<br />5<br />6<br />7<br />8 Perubahan berat badan<br />Nafsu makan menurun<br />Mual/muntah<br />Diare<br />Anorexia<br />Perubahan aktivitas<br />Gangguan menelan<br />Gangguan mengunyah V<br /><br /><br /><br /><br />V <br />V<br />V<br />V<br />V<br /><br />V<br />V Sejak Desember tahun 2009<br /><br /><br /><br /><br />Sejak MRS<br /><br />C. Data Subyektif<br />1. Keluhan Pasien<br />Pasien mampunyai keluhan nyeri dada kanan dan batuk.<br /><br />2. Riwayat Penyakit (RPD, RPS, RPK)<br />a. Riwayat penyakit dahulu<br />Pasien hanya mengalami batuk dan pilek.<br />b. Riwayat penyakit sekarang<br />Pasien masuk rumah sakit dengan keluhan sesak nafas sejak 2 hari SMRS, batuk, nyeri dada kanan sejak 3 bulan lalu. Berat bdan turun sejak bulan desember sampai sekarang sebanyak 15 kg.<br />c. Riwayat penyakit keluarga<br />Tidak ada yang menderita penyakit ini sebelumnya dalam keluarga pasien.<br /><br />3. Kebiasaan Hidup<br />Pasien biasa merokok sebanyak 12 batang perhari, obat – obatan yang biasa diminum yaitu Mixagrip, pasien tidak minum – minuman keras dan berolahraga lari pagi tiap minggu.<br /><br />4. Makanan Kesukaan<br />Pasien menyukai semua jenis makan – makanan dan pasien paling suka minum kopi. <br /> <br />5. Pantangan Makanan<br />Pasien tidak mempunyai pantangan dalam mengkonsumsi suatu makanan.<br /><br />6. Alergi Makanan <br />Pasien tidak mempunyai alergi terhadap semua jenis bahan makanan.<br /><br />7. Analisa Keadaan Gizi<br />Dari data subjektif yang didapat bahwa status gizi pasien baik.<br /><br />D. Data Obyektif<br />1. Antropometri<br />BB : 60 kg<br />TB : 171 cm<br />2. Biokimia<br />a. Pemeriksaan laboratorium<br />• Data tanggal 12 Maret 2010<br />Tabel 3. Pemeriksaan laboratorium<br />Pemeriksaan Hasil Nilai Normal Penilaian<br />Hb <br />Eritrosit<br />Leukosit<br />Trombosit<br />Na<br />K<br />Cl<br />Glukosa<br />SGOT<br />SGPT<br />BUN<br />Creatinin 10,6<br />4,3 juta<br />20.700<br />628.000<br />105,4<br />4,51<br />76,4<br />85<br />33<br />33<br />5,6<br />0,6 13,4 – 17,7 g/dl<br />4,33–5,95 x 1012/dl 4,7 – 10,3 x 10/dl<br />150 – 350 x 10/L<br />144 – 556 mmol/L<br />3,8 – 5,0 mmol/L<br />97 – 103 mg/dl<br />70 – 110 mg/dl<br /><29,30 U/L<br /><24,30 U/L<br />10 – 20 mg/dl<br /><1,5 Rendah<br />Normal<br />Rendah<br />Tinggi<br />Rendah<br />Normal<br />Rendah<br />Normal<br />Tinggi<br />Tinggi<br />Rendah<br />Normal <br /><br />• Data tanggal 17 Maret 2010<br />Pemeriksaan Hasil Nilai Normal Penilaian<br />Hb<br />Leukosit<br />Eritrosit<br />Trombosit <br />MCV<br />MCH<br />MCHC 14,4<br />7300<br />5,77<br />151000<br />76,4<br />25<br />32,7 13,4 – 17,7 g/dl<br />4,7 – 10,3 x 10/dl<br />4,33–5,95 x 1012/dl<br />150 – 350 x 10/L<br />80 – 93 fl<br />27 – 31 pg<br />32 – 36 % Normal<br />Normal<br />Normal<br />Normal Rendah <br />Rendah<br />Normal <br /><br />b. Pemeriksaan penunjang lain<br />- Pada tanggal 08 Maret 2010 dilakukan Ct Torax Ca Paru dengan hasil Efusi Pleura kanan massif yang mendorong mediastinum ke sisi kiri dan menyebabkan kolaps paru kanan. Tak tampak jelas gambaran massa dikedua paru.<br />- Pada tanggal 17 Maret 2010 dilakukan USG Upper Abdomen dengan hasil Radiologis Pleura yang sebagian sudah mengalami organisasi.<br />- Pada tanggal 17 Maret 2010 dilakukan pemeriksaan Radiologistik dengan hasil Radiologis<br />Efusi Pleura kanan yang sebagian sudah mengalami organisasi.<br />Hepar/ GB/ Lien/ Pancreas/ Ginjal kanan/ Buli dan Prostat tak tampak kelainan.<br />- Pada tanggal 17 Maret 2010 dilakukan pemerikasaan patologi anatomi dengan hasil tidak ditemukan sel ganas. <br /><br />3. Pemerikasaan Klinis<br />• Data klinis Tn. L pada waktu masuk rumah sakit tanggal 12 Maret 2010<br /> Tabel 4. Hasil pemeriksaan klinis<br />Pemeriksaan Hasil Nilai rujukan Penilaian<br />Tensi darah 110/80 110 – 120/ 70-80 Normal <br />Nadi 108x 80 – 100x/ menit Tinggi <br />RR 28x 24x Tinggi <br />Suhu 37ºC 36 - 37ºC Normal <br />GCS 456 <br /> <br />• Data klinis Tn. L pada waktu dilakukan skrining tanggal 19 Maret 2010<br /> Tabel 5. Hasil pemeriksaan klinis<br />Pemeriksaan Hasil Nilai rujukan Penilaian <br />Tensi darah 140/80 110 – 120/ 70–80 Tinggi <br />Nadi 84x 80 – 100x/ menit Normal <br />RR 20x 24x Rendah <br />Suhu 36,8ºC 36-37ºC Normal <br />GCS 456 <br /><br />4. Pemeriksaan Fisik<br />Nyeri dada dan keadaan umum baik.<br />E. Assessment Gizi<br />1. Status Gizi<br />BB : 60 Kg<br />TB : 171 cm<br />IMT = 20,15 (normal)<br />BBI = 63,9 kg<br /><br />2. Dietary History<br />Anamnesa kulitatif pola makan Px sebelum masuk rumah sakit<br />Tabel 5. Pola makan pasien<br />Bahan Makanan Frekuensi Ket<br /> ≥ 1x/hr 1-3x/mg <1x/mg Tdk pernah <br />1. KH:<br /> Nasi <br /> Roti tawar<br /> Jagung <br /> Singkong <br />V <br /><br />V<br />V<br />V <br />- Pasien makan nasi 3x perhari<br />- Pasien makan roti tawar, jagung dan singkong 1x per minggu<br />2. LH:<br /> Telur ayam<br /> Daging ayam<br /> Daging sapi<br /> Ikan <br /> <br />V<br />V<br />V<br />V <br />- Pasien makan lauk hewani selang seling 1-3x per minggu<br />3. LN:<br /> Tempe<br /> Tahu <br />V<br />V<br /> <br /><br /> <br />- Pasien makan tahu dan tempe<br /><br />4. Sayuran:<br /> Sawi <br /> Kangkung<br /> Wortel<br /> Kubis <br /> Bayam <br /> Terong <br /> <br />V<br />V<br />V<br />V<br />V<br />V <br />- Pasien makan sayuran selang seling 1-3x per minggu<br />5. Buah:<br /> Apel <br /> Jeruk <br /> Mangga <br /> Pisang <br /> Papaya <br />V<br />V<br />V<br />V<br />V<br />V <br />- Pasien makan buah – buahan selang seling 1-3x per minggu<br />6. Minuman:<br /> Susu<br /> Air putih<br /> Teh manis<br /> Kopi <br /><br />V<br />V<br />V <br />V <br />- Pasien minum – minumn seperti teh, kopi manis 1-2 kali per hari sedangkan susu 1-3x perminggu.<br />7. Lain – lain<br /> Bakso V <br /><br />F. Diagnosa Gizi<br />Diagnosa Medis : Efusi Pelura + Ca Paru<br />Diagnosa Gizi<br />1. Kebiasaan yang salah mengenai makanan yang tidak sesuai dengan prinsip ilmu gizi yang ditandai dengan kebiasaan minum kopi 3 x perhari.<br />2. Penurunan berat badan yang tidak diharapkan disebabkan karena peningkatan katabolisme yang berlebihan tumor paru yang ditandai dengan kehilangan berat badan 20% dalam 6 bulan.<br />3. Perubahan nilai laboratorium terkait zat gizi asam folat dan vitamin C disebabkan anemia yang ditandai dengan MCV dan MCH menurun.<br /><br /><br />G. Terapi Medis<br />1. Evakuasi Pleura<br />2. Copar 6x1 tab<br />3. Diet TKTP.<br /><br />H. Implementasi<br />1. Jenis Diet : TKTP<br />2. Bentuk Makanan : Nasi<br />3. Cara Pemberian : Makanan diberikan melalui oral<br />4. Tujuan Diet :<br />a. Memberikan makanan yang seimbang sesuai dengan keadaan penyakit serta daya terima pasien.<br />b. Mencegah atau menghambat penurunan berat badan secara berlebihan.<br />c. Mengurangi rasa mual, muntah, dan diare.<br />d. Mengupayakan perubahan sikap dan perilaku sehat terhadap makanan oleh pasien dan keluarganya.<br />5. Syarat Diet<br />a. Energy diberikan tinggi sebanyak 2361 kkal.<br />b. Protein diberikan sebanyak 13% dari total kalori yaitu 77 gram per hari. <br />c. Lemak diberikan sebanyak 22% dari total kalori yaitu 58 gram per hari<br />d. Karbohidrat diberikan sebanyak 65% dari total kalori yaitu 384 gram per hari. <br />e. Vitamin dan mineral diberikan cukup.<br />6. Perhitungan Kebutuhan Zat gizi<br />IMT = 60<br /> 1,712 <br /> = 20,51 Normal <br />BB = TB - 100 x 90%<br />= 171 – 100 x 90%<br /> = 71 x 90%<br /> = 63,9 kg<br /><br />BEE = 66,5 + (13,7 x 60) + (5 x 171) + (6,76 x 52)<br /> = 66,5 + 822 + 855 – 351,52<br /> = 1396,98<br />Kebutuhan Energi = BEE x Faktor Aktivitas x Faktor Stres<br />= 1397 x 1,3 x 1,3<br /> = 2361 kkal<br />Kebutuhan Protein = 13% x 2361<br /> = 306,93/ 4 <br /> = 77 gram<br />Kebutuhan Lemak = 22% x 2361<br /> = 519,42/ 9<br /> = 58 gram<br />Kebutuhan KH = 65% x 2361<br /> = 1534,65/ 4<br /> = 384 gram<br />7. Perencanaan Menu<br />Terlampir<br />8. Perencanaan Konsultasi Gizi<br />a. Konsultasi Gizi<br />1) Tujuan<br />a). Tujuan Umum<br /> Merubah perilaku pasien tentang pola makan dan diet agar lebih baik sesuai dengan anjuran diet yang diberikan serta meningkatkan pengetahuan keluarga pasien sehubungan dengan diet yang diberikan.<br />b). Tujuan khusus <br />o Keluarga pasien mau menerima informasi yang diberikan.<br />o Keluarga pasien mengerti tentang diet yang diberikan.<br />o Keluarga pasien mampu menerapkan diet untuk pasien sesuai yang diberikan.<br />o Keluarga ikut berpartisipasi dalam kelancaran diet yang telah diberikan.<br />2) Materi<br />a) Penjelasan tentang diet yang dijalani yaitu diet TKTP<br />b) Penjelasan tentang makanan yang boleh dimakan atau tidak boleh dimakan.<br />c) Penjelasan penggunaan Bahan Makanan Penukar.<br />3) Sasaran : Pasien dan keluarga pasien<br />4) Media : Leaflet tentang Diet TKTP dan leaflet bahan makanan penukar.<br />5) Metode : Diskusi dan Tanya jawab.<br />6) Waktu : 15 menit<br />7) Tempat : Ruang rawat pasien Palem I kelas III Bed 1<br />8) Evaluasi <br />• Menanyakan kembali materi yang telah disampaikan kepada keluarga pasien.<br />• Melakukan diskusi tanya jawab dengan pasien.<br /><br />I. Monitoring dan Evaluasi <br />1. Pemeriksaan Antropometri<br />Hasil pemeriksaan antropometri dapat dilihat pada tabel 6 di bawah ini :<br />Tabel 6. Hasil Pemeriksaan Antropometri<br />Pengukuran Hari ke - 1 Hari ke – 2<br />BB<br />TB 60<br />171 59<br />171<br />IMT 20,51 20,17<br /><br />2. Pemerikasaan Biokimia (laboratorium)<br />Tabel 7. Hasil Pemeriksaan Laboratorium tanggal 17 – 03 - 2010<br />Jenis Pemeriksaan Nilai Rujukan Hasil Pemeriksaan<br />Hb 12,2 – 18,1 g/dl 14,4<br />MCV 76,4 fL 60 – 93<br />MCH 25 pg 27 – 31<br />MCHC 32,7 g/dl 32 – 36<br />3. Pemeriksaan Klinis <br />Pemeriksaan Nilai Rujukan Tanggal Pemeriksaan<br /> 19 Maret 2010 22 Maret 2010<br />Nadi 20,51 84/ i 98/ i<br />Suhu 37ºC 36,8ºC 36,8ºC<br />RR 24 x/ menit 20x/ i 29/ i<br />Tensi 110–120/ 70-80 140/ 80 120/ 80<br /><br />4. Pemeriksaan Penunjang <br />• Pada tanggal 19 Maret 2010 dilakukan pemeriksaan patologi dengan kesimpulan Efusi Pleura Dekstra dan Small Cell Carsinoma.<br />• Pada tanggal 19 Maret 2010 dilakukan pemeriksaan Serologi<br />Tumor Marker<br />CEA ( Lung, Breast, Colorental ) 1,4 ng/ ml < 5<br />PHCC, Germ Cell tumor 1,9 ng/ ml < 12 <br /><br />5. Asupan Makanan<br />Hasil asupan makan selama 2 hari berturut – turut dapat dilihat pada tabel 9 di bawah ini :<br />Tabel 9. Hasil implementasi asupan makan pasien<br />Tanggal Analisis Zat Gizi Energy<br />(kkal) Protein<br />(gram) Lemak<br />(gram) KH<br />(gram)<br />21 Maret 2010 Kebutuhan<br />Penyajian<br />Total Asupan<br />% Asupan 2361<br />2218<br />1909<br />80,85% 77<br />72<br />61<br />79,22% 58<br />54<br />45<br />77,58% 384<br />361<br />322<br />83,85%<br />22 Maret 2010 Kebutuhan<br />Penyajian<br />Total Asupan<br />% Asupan 2361<br />2314<br />2296<br />97,24% 77<br />74<br />74<br />96,10% 58<br />58<br />67<br />115,51% 384<br />373<br />352<br />91,66%<br />Rata – rata Total Asupan 2102,5 67,5 56 337<br />Rata – rata % Asupan 89,04% 87,66% 96,54% 87,75%<br /><br />Keterangan :<br />Penentuan tingkat konsumsi energy dan zat gizi (protein, lemak dan karbohidrat) berdasarkan pada kriteria Depkes RI 1990 yaitu sebagai berikut :<br />• Diatas normal : ≥ 120%<br />• Normal : 90 – 119%<br />• Defisit tingkat ringan : 80 – 89%<br />• Defisit tingkat sedang : 70 – 79%<br />• Defisit tingkat berat : < 69%<br />Rata – rata asupan makanan pasien selama implementasi 2 hari tersebut sudah mencukupi prosentase asupan energy, protein, lemak dan karbohidrat yaitu antara 87 – 96% hal ini dikarenakan nafsu makan pasien baik.<br />Asupan makan selama asuhan gizi (studi kasus) dapat dilihat dalam grafik berikut :habankhttp://www.blogger.com/profile/09626054388126297040noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-3909943987252109584.post-66670268185200660242009-06-27T12:08:00.000-07:002009-06-27T12:13:59.276-07:00Mata Kuliah PKGI. Topik : Konsumsi Garam berlebih pemicu Hipertensi<br />II. Diagnosa Masalah : <br />Hipertensi merupakan penyakit kronis degeneratif yang banyak diderita oleh masyarakat. Kelompok masyarakat pantai (nelayan) dalam beberapa penelitian disebutkan memiliki prevalensi hipertansi yang cukup tinggi bila dibandingkan dengan kelompok masyarakat lain. Nelayan memiliki karakteristik dan gaya hidup yang membedakan dengan pekerjaan lain, yang memungkinkan menjadi faktor risiko terjadinya hipertensi. Tujuan penelitian ini adalah untuk memperoleh gambaran faktor-faktor risiko yang berhubungan dengan kejadian hipertensi pada nelayan di Pelabuhan Tegal. <br />Konsumsi garam rata-rata masyarakat Indonesia sebesar 15 gram/hari. Itulah salah satu sebab angka penderita hipertensi di Indonesia terus meningkat setiap tahun. Angka prevalensi hipertensi di Indonesia berdasarkan riskesdas (riset kesehatan dasar) 2007 mencapai 30 % dari populasi. Dari jumlah itu 60% penderita hipertensi berakhir pada stroke. Sedangkan sisanya pada jantung, gagal ginjal, dan kebutaan (www.gizi.net).<br /><br />III. Sasaran : Masyarakat pesisir pelabuhan Tegal<br />IV. Tujuan :<br />a. Tujuan Umum<br />Memberikan penetahuan tentang faktor pemicu hipertensi kepada masyarakat di pelabuhan tegal<br />b. Tujuan khusus<br />1. Untuk mengubah kebiasaan masyarakat tentang konsumsi garam berlebih dalam pengolahan makanan<br />2. Untuk menurunkan prevalensi kasus hipertensi di pelabuhan tegal<br />3. Untuk memberi pengetahuan tentang jenis-jenis makanan yang dapat memicu hipertensi <br />V. Isi materi<br />Darah tinggi atau disebut juga denganHipertensi (Hypertension) adalah merupakan peningkatan tekanan darah di atas normal saat dilakukan pemeriksaan tensi darah. Pengukuran tekanan darah bisa dilakukan dengan alat yang berupa cuff air raksa (sphygmomanometer) ataupun alat digital tensimeter.<br />Normal tekanan darah seseorang adalah sekitar 120/80 mmHG yakni dalam melakukan aktivitas sehari-hari. Umumnya tekanan darah akan menurun disaat tidur serta akan meningkat diwaktu beraktifitas atau berolahraga. Bila seseorang mengalami hipertensi/tekanan darah yang cenderung tinggi dan tidak melakukan pengobatan dan pengontrolan secara teratur (rutin), ini dapat membawa si penderita kedalam kasus-kasus serius bahkan bisa menyebabkan kematian. mengapa? Tekanan darah tinggi akan menyebabkan jantung bekerja extra keras, sehingga akan berakibat terjadinya kerusakan pada pembuluh darah dan jantung yang menjadi penyebab umum stroke/ serangan jantung (Heart attack). yang menyebabkan kelumpuhan/kematian.<br />Penyakit darah tinggi atau Hipertensi<br />Secara Ilmu kedokteran, dikenal ada 2 hal yakni Hipertensi Primary dan Hipertensi Secondary :<br />• Hipertensi Primary <br />Kondisi terjadinya tekanan darah tinggi akibat dampak gaya hidup dan faktor lingkungan.<br />Pola makan tidak terkontrol mengakibatkan obesitas/kelebihan berat badan, adalah penyebab awal tekanan darah tinggi. Sesorang yang berada dalam tingkat tekanan yang tinggi sangat mungkin terkena penyakit tekanan darah tinggi, termasuk orang yang kurang olahraga pun bisa mengalami tekanan darah tinggi.<br />• Hipertensi Secondary<br />Adalah kondisi terjadinya tekanan darah tinggi akibat dari penyakit lainnya seperti gagal jantung, gagal ginjal, atau kerusakan sistem hormon tubuh. Tekanan darah tinggi umumnya juga terjadi pada Ibu hamil, yakni saat kehamilan berusia sekitar 20 minggu, terutama perlu diwaspadai pada wanita yang kelebihan berat badan, yang umumnya merasakan keluhan seperti pusing, sakit kepala, gangguan penglihatan, nyeri perut, muka yang membengkak, kurang nafsu makan, mual bahkan muntah.<br />1. Penyebab hipertensi<br />penggunaan obat-obatan hormon, beberapa obat antiradang (anti-inflammasi) dapat meningkatkan tekanan darah seseorang. Merokok adalah satu penyebab terjadinya tekanan darah tinggi. Minuman beralkohol termasuk satu faktor yang dapat menimbulkan tekanan darah tinggi.<br />2. Penanganan dan Pengobatan Hipertensi<br />a. Diet Penyakit Darah Tinggi (Hipertensi) <br />• Kandungan garam (Sodium/Natrium)<br />Seseorang yang mengidap penyakit darah tinggi sebaiknya mengontrol diri dalam mengkonsumsi asin-asinan garam. ada beberapa tips yang bisa dilakukan untuk pengontrolan diet sodium/natrium ini ;<br />- Jangan meletakkan garam diatas meja makan<br /> Pilih jumlah kandungan sodium rendah saat membeli makan<br /><br />- Batasi konsumsi daging dan keju<br />- Hindari cemilan yang asin-asin<br />- Kurangi pemakaian saos yang umumnya memiliki kandungan sodium<br />• Kandungan Potasium/Kalium<br />Suplements potasium 2-4 gram perhari dapat membantu penurunan tekanan darah, Potasium umumnya bayak didapati pada beberapa buah-buahan dan sayuran. Buah dan sayuran yang mengandung potasium dan baik untuk di konsumsi penderita tekanan darah tinggi antara lain semangka, alpukat, melon, buah pare, labu siam, bligo, labu parang/labu, mentimun, lidah buaya, seledri, bawang dan bawang putih. Selain itu, makanan yang mengandung unsur omega-3 sagat dikenal efektif dalam membantu penurunan tekanan darah (hipertensi).<br />Pengobatan hipertensi biasanya dikombinasikan dengan beberapa obat;<br />- Diuretic {Tablet Hydrochlorothiazide (HCT), Lasix (Furosemide)}. Merupakan golongan obat hipertensi dengan proses pengeluaran cairan tubuh via urine. Tetapi karena potasium berkemungkinan terbuang dalam cairan urine, maka pengontrolan konsumsi potasium harus dilakukan.<br />- Beta-blockers {Atenolol (Tenorim), Capoten (Captopril)}. Merupakan obat yang dipakai dalam upaya pengontrolan tekanan darah melalui proses memperlambat kerja jantung dan memperlebar (vasodilatasi) pembuluh darah.<br />- Calcium channel blockers {Norvasc (amlopidine), Angiotensinconverting enzyme (ACE)}. Merupakan salah satu obat yang biasa dipakai dalam pengontrolan darah tinggi atau Hipertensi melalui proses rileksasi pembuluh darah yang juga memperlebar pembuluh darah.<br />Penyakit Tekanan Darah Tinggi merupakan penyakit turun/menurun?<br />Umumnya satu keluarga, dalam mengelola aktifitas ataupun pola makanan adalah hampir tipical/kebiasaan yang sama. apakah minum kopi bersama, ataukah menikmati junkfood bersama keluarga dsb. Sehingga hal ini menjadi fenomena klasik, bahwa penyakit tekanan darah tinggi merupakan penyakit menurun.<br />Cegahlah gejala hipertensi dengan mengatur pola konsumsi makan/minum, serta aktifitas olahraga yang seimbang dengan ukuran berat badan kita masing-masing. Mengurangi makanan fast food dan junk food.<br />Pilihlah berbagai ragam menu makan/minuman yang menyehatkan dan diperlukan sesuai kebutuhan badan kita. mengapa? karena berbagai hal yang notabene terlalu adalah kurang baik bagi badan kita. apakah hal tsb terlalu manis/terlalu asin/terlalu banyak dsb.<br />Kenalilah segala aktifitas kita agar terjaga keseimbangannya antara aktifitas, kebutuhan untuk istirahat serta konsumsi makanan/minum yang sehat&menyehatkan. Menjaga kesehatan adalah prioritas bagi pribadi kita semua, karena kesehatan adalah hal yang utama.( nindh)<br />VI. Metode / cara <br />Ceramah dan tanya jawab<br />VII. Alat Peraga<br />a. Leaflet <br />b. food model<br />c. form pre test dan post test<br />VIII. waktu pelaksanaan<br />hari / tanggal : senin, 16 agustus 2009<br />waktu : pukul 09.00 s/d 12.00 WIB<br />tempat : Balai desa pelabuhan Tegalhabankhttp://www.blogger.com/profile/09626054388126297040noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-3909943987252109584.post-31399044540055002212009-03-26T09:39:00.000-07:002009-03-26T09:44:53.686-07:00EPIDEMIOLOGIPENGUKURAN KEJADIAN PENYAKIT<br /><br />APA ARTINYA ?<br />Yaitu menghitung angka kejadian suatu penyakit berdasarkan umur, jenis kelamin, riwayat penyakit dan variabel lainnya misal status sosial ekomoni.<br /><br />KEGUNAAN :<br />Untuk mendeteksi kelompok mana yang memiliki risiko paling tinggi dan faktor-faktor apa saja yang bertindak sebagai faktor risiko.<br /><br />Keadaan Kesehatan à 5 D<br />Death à Suatu akibat dari keadaan sehat universal, yang mrpk batas waktu dari kelangsungan kejadian itu sendiri<br /><br />Disease à Suatu kombinasi dari gejala-gejala, tanda-tanda fisik dan hasil uji laboratorium<br /><br />Disability à Suatu status fungsional pasien/ ketergantungan dg orang lain<br /><br />Discomfort à gejala2 yang tidak enak (nyeri,vertigo)<br /><br />Dissatisfaction à keadaan emosional/mental, misalnya kegelisahan, kesusahan, marah, dll.<br /><br /><br />Mengukur Frekuensi<br /><br />1. Ukuran Absolut à menggunakan angka absolut/ mutlak<br />2. Ukuran Relatif à memproyeksikan angka absolut tersebutkepada populasi berisiko atau di antara group di dalam populasi berisiko.<br /><br />Hal-hal yang harus dipertimbangkan<br />dalam pengukuran<br />Ketepatan pengukuran (precicion of measurement)<br />Pentingnya suatu pengukuran (importance)<br />Isu Etikal ( ethical issues)<br />Sensitivitas(sensitivity)<br /><br />1. Rate<br />Perbandingan yg mengukur kemungkinan tjdnya peristiwa/kejadian tertentu <br /> X<br /> Rate = x K<br /> Y <br />Contoh :<br /><br />1. Berdasarkan penimbangan di Posyandu se Kecamatan Mlati pada bulan Agustus 2005 tercatat Balita gizi buruk sebesar 20 orang. Balita semua yang ditimbang pada bulan itu sebanyak 100 orang. Hitung rate nya !<br /><br />2. Pada tahun 2004 terdapat 5000 kasus GO dari 1.000.000 penduduk di Kab. Klaten. Hitung Rate nya !<br /><br />2. Rasio<br />Rasio adalah frekuensi relatif dari suatu sifat tertentu dibandingkan denga frekuensi dari sifat lain.<br /><br /> Kuantitas Numerator<br />Rasio = <br /> Kuantitas Denominator<br /><br />Contoh :<br /> Dalam suatu kejadian KLB Hepatitis, jumlah penderita laki-laki sebnayak 20 orang dan jumlah penderita perempuan sebanyak 10 orang. Hitung ratio penderita laki-laki : perempuan !<br /><br />3. Proporsi<br />Suatu bentuk khusus dari perhitungan rasio<br />Yaitu pembilang merupakan bagian dari penyebut.<br />Frekuensi dari suatu sifat tertentu dibandingkan dengan seluruh populasi dimana sifat tersebut didapatkan.<br /><br /> X<br />Proporsi = <br /> X +Y <br />Contoh :<br /> Dalam suatu kejadian KLB Hepatitis, jumlah penderita laki-laki sebanyak 20 orang dan jumlah penderita perempuan sebanyak 10 orang. Hitung proporsi penderita laki-laki !<br /><br />INSIDENSI<br />a.Insiden Rate<br /> adl jml slrh kasus baru pd suatu pop pd suatu saat/ periode waktu ttt.<br /><br /> Insiden rate = Jumlah seluruh kasus baru dlm pop pd wkt ttt<br /> Jumlah population at risk pada periode wkt yg sama<br /><br />Setiap individu dlm denominator tidak diobservasi scr penuh dlm periode wkt yg ditentukan<br />Masing-masing individu mempunyai lama periode observasi yang berbeda <br /><br /> b. Insiden Kumulatif<br /> adl. suatu ukuran ttg kejadian peny/uk status kesh yg lbh sederhana.<br /><br /> Insidens Kumulatif = Jumlah kasus dalam periode wkt ttt<br /> Jumlah population at risk pada awal periode pengamatan<br /><br />Setiap individu dlm denominator di follow up sampai akhir periode<br /><br />Population At Risk<br />Bagian dari populasi yang memiliki risiko untuk terjadinya suatu penyakit.<br />Contoh à <br /> Dampak penggunaan kontrasepsi oral à Pop at risk adl. wanita usia subur yang telah menikah<br /> Ca paru à Pop at risk adl orang-orang merokok <br /><br /><br /> c. Attack Rate<br /> biasanya dinyatakan dg persen dan dipergunakan dlm jml pop yg relatif sdkt dan wkt yg relatif singkat<br /><br /> Cth : Keadaan wabah, keracunan makanan<br /><br /> attack rate = Jumlah kasus sekunder selama epidemi<br /> Population at risk<br /><br /><br />Manfaat : <br />1.Untuk mengetahui kecepatan dan jangkauan penyebaran suatu peny di suatu wil pd suatu wabah<br />2.Untuk menget keberhasilan upaya pencegahan dan penaggulangan wabah<br /><br /><br />PREVALENSI<br /> Prevalens rate mengukur jml orang dikalangan pddk yg menderita suatu penyakit pd satu titik waktu tertentu<br /><br /> Prevalens Rate = jml kasus peny yg ada x pd suatu titik waktu<br /> jml pddk seluruhnya <br /><br />a.Point Prevalens<br /> <br /> Yaitu : prevalensi penyakit pada suatu titik waktu tertentu<br /> <br />b.Period Prevalens<br /><br /> Yaitu : berapa banyak individu yang pernah kena penyekit selama periode waktu pengamatan <br /><br /> kasus : kasus baru dan kasus kambuh/relaps selama periode observasi.<br /><br /><br />Masalah metodologis yg terkait dg estimasi morbiditas<br />1.Numerator :<br /> a. Variabilitas dalam mendefinisikan penyakit<br /> - tingkatan sakit<br /> - diagnosis<br /><br /> b. Variabilitas metode pengumpulan data<br /> - data sekunder (MR, laporan penyakit)<br /> - data primer (wawancara, pemeriksaan lgs)<br /> <br />2.Denominator<br /> a. Pendefinisian populasi beresiko<br /> b. penghitungan populasi <br /><br />Beberapa keterbatasan data rumah sakit<br />1.MR di rumah sakit tidak dirancang untuk penelitian ttt, shg catatan tsb mgk tidak lengkap, hilang, bervariasi dalam hal kuantitas diagnostik<br />2.Populasi beresiko umumnya tidak terdefinisikan<br /><br />Sumber – sumber kekeliruan wawancara<br /><br />1.Orang yg berpenyakit mgk tdk memp gejala dan mgk tdk sadar bahwa dia sakit<br />2.Orang yg berpenyakit mgk punya gjl peny akan ttp tdk memp perhatian medis, shg tdk tahu nama peny tsb<br />3.Orang yg berpenyakit mgk py perhatian medis, ttp tdk terdiagnosa atau dia salah mengerti<br />4.Responden mgk tdk bs mengingat dg baik episode peny atau peritiwa dan pemaparan yg mgk terkait dg penyakit<br />5.Responden mgk memberikan informasi ttp pewawancara mgk tdk mencatatnya atau salah mencatat<br />6.Pewawancara mgk tdk menanyakan pertanyaan yg seharusnya ditanyakan atau salah menanyakan<br />7.Bias seleksihabankhttp://www.blogger.com/profile/09626054388126297040noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-3909943987252109584.post-16462917025620561402009-03-26T09:37:00.000-07:002009-03-26T09:39:23.794-07:00PENGOBATAN DM TIPE IIcara Pengobatan DM Tipe 2<br />Beberapa tahun yang lalu, penderita DM tipe 2 memerlukan suntikan insulin, tetapi dengan kemajuan ilmu pengetahuan, suntikan tersebut mulai dapat digantikan dengan obat-obatan yang diminum.<br />Berikut adalah jenis-jenis obat-obatan DM tipe 2 yang diminum dan cara kerjanya :<br />Sulfonylureas<br />Merangsang pankreas untuk menghasilkan insulin yang lebih banyak.<br />Biguanides<br />Mengurangi kadar zat gula yang diproduksi oleh hati.<br />Alpha-glucosidase inhibitors<br />Mengurangi penyerapan kadar gula dari karbohidrat yang kita makan.<br />Thiazolidinediones<br />Membuat tubuh menjadi lebih peka terhadap insulin.<br />Meglitinides<br />Merangsang pankreas untuk menghasilkan insulin yang lebih banyak.Konsultasikan dengan dokter Anda untuk mendapatkan jenis obat ataupun kombinasi obat yang tepat dengan dosis yang efektif.<br /><br /><br />Tips Bagi Penderita DM tipe 2<br />Makan makanan yang sehat, olah raga yang teratur dan menurunkan berat badan dapat membantu menurunkan kadar gula<br />Meminum obat yang dianjurkan oleh dokter secara teratur.<br />Menghindari terjadinya penurunan gula darah secara drastis yang disebabkan oleh :<br />Menunda waktu makan atau tidak makan<br />Makan terlalu sedikit<br />Olahraga yang lebih berat dari biasanya<br />Kelebihan minum obat diabetes<br />Mengkonsumsi alkohol<br />Tanda-tanda penurunan gula darah secara drastis :<br />Pening dan kepala terasa ringan<br />Lapar<br />Gugup dan gemetaran<br />Mengantuk dan bingung<br />Penanggulangannya dapat dengan cara meminum / memakan salah satu jenis makanan ini :<br />½ gelas jus buah<br />1 gelas susu<br />1 atau 2 sendok teh gula atau madu<br />5-6 permenhabankhttp://www.blogger.com/profile/09626054388126297040noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-3909943987252109584.post-7082647071619507512009-03-26T09:35:00.000-07:002009-03-26T09:37:27.797-07:00KANKERKonsep dasar Kanker<br /><br />Setiap kehidupan ada proses pertumbuhan proses yang selalu terkontrol ~ ada keseimbangan anatomik & fungsional<br /><br />“penyimpangan” dr proses diatas ta ada lagi mekanisme yang mengatur ! Pertumbuhan baru tanpa kontrol / kendali = NEOPLASMA di cirikan: menimbulkan benjolan = TUMOR (Tumor bersifat OTONOM tanpa fungsi bahkan dpt menimbulkan gangguan fungsi tubuh.<br /><br />TUMOR jenis jinak (benigna) & ganas (maligna)<br />Tumor Jinak: bersimpai & tumbuh mendesak (ekspansif)<br />T. ganas (KANKER): tdk bersimpai, tumbuh mendesak & menyebuk (infiltratif), ada anak sebar (metastasis) ke organ lain. Bersifat progresif fatal (kematian)<br /><br />KANKER dpt menghinggapi semua jenis sel / jar. Tubuh dg gejala-gejala yang khas sesuai dg “sel targetnya” <br /><br />ETIOLOGI<br />Etiol yang pasti blm diketahui, tapi kejadian kanker (karsinogenesis) dipengaruhi oleh berbagai factor resiko (1) genetic / keturunan / herediter, (2) factor lingkungan hidup berperan lebih banyak dalam karsinogenesis.<br />Faktor Genetik<br />Kanker yang dianggap herediter: retino blastoma bilateral, tumor Wilms, & kanker pd penderita poliposis kolon<br /><br />Faktor Lingkungan Hidup<br />Penyinaran / radiasi<br />Sinar peng-ion ex: Leukemia, kanker payudara & paru.<br />Sinar ultra-violet dari sinar matahari kanker kulit. (dpt ditangkal oleh pigmen melamin!) <br /><br />Faktor Pekerjaan<br />Bahan kimia, CA nasopharing, dll<br />Asbes (inkubasi 4~50 th) Paru, pleura, peritoneum<br />Jelaga/ter (-“- 9~23 th) paru, kulit,larings<br />Benzene (-“- 6~14 th), cat sumsum tulang ~ leukaemia<br />Benzidin, naftilamin, aminodefenil (-“- 13~30 th), cat, textil, batik, ban kandung kencing<br />Vinil klorid (-“- 20~30 th), pabrik plastik hati, otak<br />Kromium (-“- 15~25 th), batray rongga hidung, sinus, paru, laring<br />Arsen (-“-10 th), insektisida, minyak kulit, parru, hati<br />Sinar-X (10~25 th), radiology kulit, sumsum tulang<br /><br />Faktor Makanan<br />Penelitian di Jepang 30% pria & 60% wanita menderita CA dr factor makanan.<br />Aflatoksin jamur Aspergillus flavus (biji-bijian yang ditumbuhi jamur) CA hati primer<br />Nitrosamin zat pengawet & pewarna makanan<br />Makanan berlemak (terjadi perubahan [ESTROGEN] dalam tubuh) CA payudara & CA endometrium<br /><br />Faktor Obat-obatan<br />Zat thorothrast bhn medium kontras (radio-diagnostik)<br />Obat Sitostatika & obat imunosupresif, Hormon u/ KB,…<br />Faktor Gaya Hidup<br />Merokok CA paru, CA laring, CA rongga mulut<br />Minuman alcohol CA rongga mulut, larings, esofagus<br />Kehidupan seksual<br />CA serviks uterus wanita telah menikah > perawan<br />-“- hubungan seksual semakin dini semakin beresiko<br />–“- MULTIPARA (telah melahirkan banyak anak) > dibanding wanita yang sedikit kehamilannya<br />CA Payudara Wanita tdk menikah, NULLIPARA (blm pernah melahirkan), wanita yang hamil lambat > dr pd yang menikah & Multipara<br />PRIMIPARA = tealh melahirkan satu anak<br /><br />Sirkumsisi pd usia sblm 2 th dpt mengurangi insidensi kanker penis & insiden CA serviks; TAPI sirkumsisi setelah pubertas kurang dpt untuk mencegah CA penis<br /><br />Faktor Parasit & Virus<br />Schistosoma haematobium CA kandung kemih pd penduduk Mesir, Sudan & Irak<br />Virus Epstein-Barr CA nasofarings di Cina Selatan, Asia tenggara; CA pd jar limfatik (ex: Limfoma Burkitt Afteng)<br />V. Hepatitis B CA hati primer (terutama yang terinfeksi saat neonatal)<br />Human papilloma virus (HPV) CA serviks uterus<br />HIV Sarcoma Kaposi<br /><br /><br />KARSINOGENESIS<br /><br />70~80% CA pd manusia akibat dr factor lingkungan<br />proses perubahan sel menjadi ganas ( KARSINOGENESIS ) merupakan perjalanan panjang; ada semacam masa pendahuluan / perangsangan (fase induksi ) sblm sel berubah jadi sel ganas<br /><br /><br />Kanker sebagai proses panjang<br />Fase<br />Induksi<br />In-situ<br />Invasif<br />Metastasis<br />Tahun<br />15~30<br />5~10<br />1~5<br />1~5<br /><br />“Tidak setiap orang yang berhadapan dg factor resiko karsinogenik akan mendapat kanker” Persyaratan:<br />sifat, jumlah, & konsentrasi bahan karsinogen<br />luas bagian tubuh yang terserang<br />lamanya<br />ada/tidak ada bahan karsinogen lain / penunjangnya<br />kepekaan jaringan tubuh / kepekaan individual<br /><br />Fase Induksi<br />perubahan bentuk sel DISPLASIA; dpt bersifat ringan ~ sedang (moderat) kadang kembali normal lagi ~ berubah dst…<br /><br />Fase in-situ<br />sel DISPLASIA displasia keras atau telah mendekati struktur sel ganas; Sel masih terlokalisir / belum infiltratif<br />deteksi dini & pengobatan pada fase ini keberhasilan <br /><br /><br />Sel Ganas<br /><br />JENIS-JENIS KANKER<br />1.Karsinoma berasal dari sel ephitel (ectoderm, endoderm) metastasis melalui saluran limfe (Limfrogen).<br />Metastasis awal dalam kel limfe regional yang menerima aliran limfe dari daerah tempat tumor ganas itu timbul<br /><br />2.Sarkoma berasal dari jaringan penyokong (mesoderm; ex: jar. Otot, jar. Ikat, tulang, pembuluh darah, dsb) metastasis melalui darah (hematogen) anak sebar bisa terdistribusi jauh dari lokasi.<br /><br />3.Teratoma tersusun dari sel epithelial maupun sel penyokong; campuran unsure ectoderm, endoderm, & mesoderm) bila ganas dsbt: TERATOKARSINOMA<br /><br />CA Kulit berasal dari sel-sel basal yang berpigmen; dsbt: basalioma (karsinoma basoseluler; ulkus rhodens), tdk metastasis tapi bersifat destruktif ulkus kulit yang makin melebar.<br /><br />Melanokarsinoma CA dari sel pembentuk pigmen melamin (melanosit) tdk bermestastasis limfogen tapi hematogen.<br /><br /><br /><br />Stadium Klinik & Derajat Keganasan (Staging & Grading)<br /> menggambarkan tahapan perkembangan sesuatu jenis kanker sistim TNM<br />T = tumor primer; besar ukuran. T0 (tdk nyata), T1~T4, TIS = kanker in-situ<br />N = limfonodus / kelenjar getah bening. N1~N3, N0 (tdk teraba getah bening), <br />M = Metastasis, MO (tdk ada metastasis), M1 ada metastasis selain dalam kel limfe<br /><br />Grading / derajat keganasan<br /> dasar biopsy asal tumor ganas: pemeriksaan histopatologi<br />Derajat I prognosis lebih baik drpd derajat II>III>IV<br />Derajat IV bersifat lebih radiosensitive<br /><br />Pencegahan & Deteksi dini<br /> factor-faktor bersifat mulllti factor tdk sendiri-sendiri<br /><br />pap-smear u/ deteksi dini kanker serviks<br /><br />SADARI periksa Payudara Sendiri; Mamografi<br /><br />W<br />Pada saat BAB / BAC ada perubahan kebiasaan / gangguan ?<br />A<br />Alat pencernakan terganggu & susah menelan<br />S<br />Suara serak & batuk yang tdk sembuh-sembuh<br />P<br />Payudara / tempat lain ada benjolan / tumor ?<br />A<br />Andeng-andeng yang berubah sifat membesar & gatal<br />D<br />Darah & lendir yang abnormal keluar dari tubuh<br />A<br />Ada koreng / borok yang tdk sembuh-sembuh<br /> <br />Hiperplasi ditandai oleh bertambahnya jumlah sel dalam suatu jaringan atau alat tubuh. (mitosis) <br />H. fisiologi jenis hormonal & jenis kompensasi<br />H. patologik H. endometrium, H. tiroid, H. epidermis<br /><br />Metaplasi ditandai oleh adanya substansi yang bersifat adaptif suatu macam sel dewasa / sel yang telah mengalami difrensiasi penuh menjadi suatu sel dewasa jenis yang lain.<br /><br />Displasi hilangnya keseragaman sel secara individual & juga hilangnya orientasi susunan sel-sel tsb.habankhttp://www.blogger.com/profile/09626054388126297040noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-3909943987252109584.post-20850760293100342742009-03-26T09:34:00.000-07:002009-03-26T09:35:11.142-07:00PERADANGAN / INFLAMASIPERADANGAN / INFLAMASI<br /><br />POLITEKNIK KESEHATAN YOGYAKARTA, DEPT.KES.<br /><br />OLEH:<br />Dr.SUPARTUTI, Mkes.<br /> RADANG ( INFLAMASI )<br /><br />Pengertian Radang Dan Proses Terjadinya Radang<br /><br />Bila sel-sel atau jaringan tubuh mengalami cedera atau mati, selama hospes tetap hidup ada respon yang menyolok pada jaringan hidup disekitarnya. Respon terhadap cedera ini dinamakan peradangan. Yang lebih khusus peradangan adalah reaksi vascular yang hasilnya merupakan pengiriman cairan, zat-zat yang terlarut dan sel-sel dari sirkulasi darah ke jaringan-jaringan interstitial pada daerah cedera atau nekrosis.<br />Peradangan sebenarnya adalah gejala yang menguntungkan dan pertahanan, hasilnya adalah netralisasi dan pembuangan agen penyerang,penghancuran jaringan nekrosis dan pembentukan keadaan yang dibutuhkan untuk perbaikan dan pemulihan. Reaksi peradangan itu sebenarnya adalah peristiwa yang dikoordinasi dengan baik yang dinamis dan kontinyu. Untuk menimbulkan reaksi peradangan maka jaringan harus hidup dan khususnya harus memiliki mikrosirkulasi fungsional.<br />Jadi yang dimaksud dengan radang adalah rangkaian reaksi yang terjadi pada tempat jaringan cedera.<br />Pada proses peradangan terjadi pelepasan histamine dan zat-zat humoral lain kedalam cairan jaringan sekitarnya.<br />Akibat dari sekresi histamine tersebut berupa:<br />1. Peningkatan aliran darah lokal.<br />2. Peningkatan permeabilitas kapiler.<br />3. Perembesan ateri dan fibrinogen kedalam jaringan interstitial. <br />4. Edema ekstraseluler lokal.<br />5. Pembekuan cairan ekstraseluler dan cairan limfe.<br />Peradangan dapat juga dimasukkan dalam suatu reaksi non spesifik, dari hospes terhadap infeksi.<br /><br />Adapun kejadiannya sebagai berikut: pada setiap luka pada jaringan akan timbul reaksi inflamasi atau reaksi vaskuler.Mula-mula terjadi dilatasi lokal dari arteriole dan kapiler sehingga plasma akan merembes keluar. Selanjutnya cairan edema akan terkumpul di daerah sekitar luka, kemudian fibrin akan membentuk semacam jala, struktur ini akan menutupi saluran limfe sehingga penyebaran mikroorganisme dapat dibatasi.Dalam proses inflamasi juga terjadi phagositosis, mula-mula phagosit membungkus mikroorganisme, kemudian dimulailah digesti dalam sel. Hal ini akan mengakibatkan perubahan pH menjadi asam. Selanjutnya akan keluar protease selluler yang akan menyebabkan lysis leukosit.Setelah itu makrofag mononuclear besar akan tiba di lokasi infeksi untuk membungkus sisa-sisa leukosit.Dan akhirnya terjadilah pencairan (resolusi) hasil proses inflamasi lokal.<br />Cairan kaya protein dan sel darah putih yang tertimbun dalam ruang ekstravaskular sebagai akibat reaksi radang disebut eksudat.<br /><br />Beda Eksudat dan Transudat<br /><br />Eksudat adalah cairan radang ekstravaskular dengan berat jenis tinggi (diatas 1.020) dan seringkali mengandung protein 2-4 mg % serta sel-sel darah putih yang melakukan emigrasi.Cairan ini tertimbun sebagai akibat permeabilitas vascular (yang memungkinkan protein plasma dengan molekul besar dapat terlepas), bertambahnya tekanan hidrostatik intravascular sebagai akibat aliran lokal yang meningkat pula dan serentetan peristiwa rumit leukosit yang menyebabkan emigrasinya.<br />Transudat adalah cairan dalam ruang interstitial yang terjadi hanya sebagai akibat tekanan hidrostatik atau turunnya protein plasma intravascular yang meningkat (tidak disebabkan proses peradangan/inflamasi).Berat jenis transudat pada umumnya kurang dari 1.012 yang mencerminkan kandungan protein yang rendah. Contoh transudat terdapat pada wanita hamil dimana terjadi penekanan dalam cairan tubuh.<br /> Jenis-Jenis Eksudat<br /><br />1. Eksudat non seluler<br />Eksudat serosa<br />Pada beberapa keadaan radang, eksudat hampir terdiri dari cairan dan zat-zat yang terlarut dengan sangat sedikit leukosit. Jenis eksudat nonseluler yang paling sederhana adalah eksudat serosa,yang pada dasamya terdiri dari protein yang bocor dari pembuluh-pembuluh darah yang permiable dalam daerah radang bersama-sama dengan cairan yang menyertainya. Contoh eksudat serosa yang paling dikenal adalah cairan luka melepuh. <br /><br />Eksudat fibrinosa<br />Jenis eksudat nonseluler yang kedua adalah eksudat fibrinosa yang terbentuk jika protein yang dikeluarkan dari pembuluh dan terkumpul pada daerah peradangan yang mengandung banyak fibrinogen. Fibrinogen ini diubah menjadi fibrin, yang berupa jala jala lengket dan elastic (barangkali lebih dikenal sebagai tulang belakang bekuan darah). Eksudat fibrinosa sering dijumpai diatas permukaan serosa yang meradang seperti pleura dan pericardium dimana fibrin diendapkan dipadatkan menjadi lapisan kasar diatas membran yang terserang. Jika lapisan fibrin sudah berkumpul di permukaan serosa,sering akan timbul rasa sakit jika terjadi pergeseran atas permukaan yang satu dengan yang lain. Contoh pada penderita pleuritis akan merasa sakit sewaktu bernafas, karena terjadi pergesekan sewaktu mengambil nafas.<br /><br />Eksudat musinosa (Eksudat kataral)<br />Jenis eksudat ini hanya dapat terbentuk diatas membran mukosa, dimana terdapat sel-sel yang dapat mengsekresi musin. Jenis eksudat ini berbeda dengan eksudat lain karena eksudat ini merupakan sekresi set bukan dari bahan yang keluar dari aliran darah. Sekresi musin merupakan sifat normal membran mukosa dan eksudat musin merupakan percepatan proses dasar fisiologis.Contoh eksudat musin yang paling dikenal dan sederhana adalah pilek yang menyertai berbagai infeksi pemafasan bagian atas. <br /><br />2. Eksudat Seluler<br />Eksudat netrofilik<br />Eksudat yang mungkin paling sering dijumpai adalah eksudat yang terutama terdiri dari neutrofil polimorfonuklear dalam jumlah yang begitu banyak sehingga bagian cairan dan protein kurang mendapat perhatian. Eksudat neutrofil semacam ini disebut purulen. Eksudat purulen sangat sering terbentuk akibat infeksi bakteri.lnfeksi bakteri sering menyebabkan konsentrasi neutrofil yang luar biasa tingginya di dalam jaringan dan banyak dari sel-sel ini mati dan membebaskan enzim-enzim hidrolisis yang kuat disekitarnya. Dalam keadaan ini enzim-enzim hidrolisis neutrofil secara haraf ah mencernakan jaringan dibawahnya dan mencairkannya. Kombinasi agregasi netrofil dan pencairan jaringan-jaringan di bawahnya ini disebut suppuratif,atau lebih sering disebut pus/nanah. <br />Jadi pus terdiri dari :<br />- neutrofil pmn. yang hidup dan yang mati neutrofil pmn. yang hancur<br />- hasil pencairan jaringan dasar (merupakan hasil pencernaan) <br />- eksudat cair dari proses radang<br />- bakteri-bakteri penyebab<br />- nekrosis liquefactiva.<br />3. Eksudat Campuran<br />Sering terjadi campuran eksudat seluler dan nonseluler dan campuran ini dinamakan sesuai dengan campurannya.Jika terdapat eksudat fibrinopurulen yang terdiri dari fibrin dan neutrofil polimorfonuklear,eksudat mukopurulen, yang terdiri dari musin dan neutrofil, eksudat serofibrinosa dan sebagainya. <br /><br /> Luka Bakar Mudah Terjadi Septikhemi.<br />Pada luka bakar saluran-saluran limfe tetap terbuka yaitu karena jaringan yang terbakar tidak menimbulkan tromboplastin sehingga tidak terjadi kooagulasi eksudat. Jika aliran cairan limfe tidak tersumbat akan memudahkan menyebarkan kuman-kuman sehingga masuk dalam sirkulasi darah dan terjadi septikhemi.<br /><br />Reaksi sel pada radang<br /><br />Leukositosis terjadi bila ada jaringan cedera atau infeksi sehingga pada tempat cedera atau radang dapat terkumpul banyak leukosit untuk membendung infeksi atau menahan microorganisme menyebar keseluruh jaringan.<br />Leukositosis ini disebabkan karena produksi sumsum tulang meningkat, sehingga jumlahnya dalam darah cukup untuk emigrasi pada waktu terjadi cedera atau radang. Karena itu banyak leukosit yang masih muda dalam darah, dalam pemeriksaan laboratorium dikatakan pergeseran ke kiri<br /><br />Jenis-Jenis Leukosit Dan Masing-Masing Fungsinya Dalam Peradangan<br /><br />Leukosit yang bersirkulasi dalam aliran darah dan emigrasi ke dalam eksudat peradangan berasal dari sumsum tulang, di mana tidak saja leukosit tetapi juga sel-sel darah merah dan trombosit dihasilkan secara terus memenerus.Dalam keadaan normal, di dalam sumsum tulang dapat ditemukan banyak sekali leukosit yang belum matang dari berbagai jenis dan "pool" leukosit matang yang ditahan sebagai cadangan untuk dilepaskan ke dalam sirkulasi darah. Jumlah tiap jenis leukosit yang bersirkulasi dalam darah perifer dibatasi dengan ketat tetapi diubah "sesuai kebutuhan" jika timbul proses peradangan. Artinya, dengan rangsangan respon peradangan, sinyal umpan balik pada sumsum tulang mengubah laju produksi dan pengeluaran satu jenis leukosit atau lebih ke dalam aliran darah.<br />1. Granulosit.<br />Terdiri dari : neutrofil, eosinofil, dan basofil.<br />Dua jenis leukosit lain ialah monosit dan limposit, tidak mengandung banyak granula dalam sitoplasmanya.<br />a) Neutrofil<br />Sel-sel pertama yang timbul dalam jumlah besar di dalam eksudat pada jamjam pertama peradangan adalah neutrofil.Inti dari sel ini berlobus tidak teratur atau polimorf. Karena itu sel-sel ini disebut neutrofil polimorfonuklear (pmn) atau "pool". Sel-sel ini memiliki urutan perkembangan di dalam sumsum tulang, perkembangan ini kira-kira memerlukan 2 minggu. Bila mereka dilepaskan ke dalam sirkulasi darah, waktu paruhnya dalam sirkulasi kira-kira 6 jam. Per millimeter kubik darah terdapat kira-kira 5000 neutrofil, kira-kira 100 kali dari jumlah ini tertahan dalam sumsum tulang sebagai bentuk matang yang siap untuk dikeluarkan bila ada sinyal.<br />Granula yang banyak sekali terlihat dalam sitoplasma neutrofil sebenarnya merupakan paket-paket enzim yang terikat membran yaitu lisosom, yang dihasilkan selama pematangan sel. Jadi neutrofil pmn yang matang adalah kantong yang mengandung banyak enzim dan partikel-partikel antimicrobial. Neutrofil pmn mampu bergerak aktif dan mampu menelan berbagai zat dengan proses yang disebut fagositosis. Proses fagositosis dibantu oleh zat-zat tertentu yang melapisi obyek untuk dicernakan dan membuatnya lebih mudah dimasukkan oleh leukosit. Zat ini dinamakan opsonin. Setelah mencernakan partikel dan memasukkannya ke dalam sitoplasma dalam vakuola fagositosis atau fagosom, tugas berikutnya dari leukosit adalah mematikan partikel itu jika partikel itu agen microbial yang hidup, dan mencernakannya. Mematikan agen-agen yang hidup itu diselesaikan melalui berbagai cara yaitu perubahan pH dalam sel setelah fagositosis, melepaskan zat-zat anti bakteri. Pencernaan partikel yang terkena fagositosis itu umumnya diselesaikan di dalam vakuola dengan penyatuan lisosom dengan fagosom. Enzim-enzim pencernaan yang sebelumnya tidak aktif sekarang diaktifkan di dalam fagolisosom, mengakibatkan pencernaan obyek secara enzimatik. <br />b) Eosinofil<br />Merupakan jenis granulosit lain yang dapat ditemukan dalam eksudat peradangan, walaupun dalam jumlah yang lebih kecil. Eosinofil secara fungsional akan memberikan respon terhadap rangsang kemotaksis khas tertentu yang ditimbulkan pada perkembangan allergis dan mereka mengandung enzim-enzim yang mampu menetralkan efek-efek mediator peradangan tertentu yang dilepaskan dalam reaksi peradangan semacam itu.<br /><br />c) Basofil<br />Berasal dari sumsum tulang yang juga disebut mast sel/basofil jaringan. Granula dari jenis sel ini mengandung berbagai enzim, heparin, dan histamin. Basofil akan memberikan respon terhadap sinyal kemotaksis yang dilepaskan dalam perjalanan reaksi immunologis tertentu. Dan basofil biasanya terdapat dalam jumlah yang sangat kecil dalam eksudat.<br />Basofil darah dan mast sel jaringan dirangsang untuk melepas granulanya pada berbagai keadaan cedera, termasuk reaksi immunologis maupun reaksi non spesifik.Dalam kenyataannya mast sel adalah sumber utama histamin pada reaksi peradangan.<br /><br />2. Monosit<br />Adalah bentuk leukosit yang penting. Pada reaksi peradangan monosit akan bermigrasi, tetapi jumlahnya lebih sedikit dan kecepatannya lebih lambat. Karena itu, pada jam jam pertama peradangan relative sedikit terdapat monosit dalasn eksudat. Namun makin lama akan makin bertambah adanya monosit dalam eksudat. Sel yang sama yang dalam aliran darah disebut monosit, kalau terdapat dalam eksudat disebut makrofag. Ternyata, jenis sel yang sama ditemukan dalam jumlah kecil melalui jaringan penyambung tubuh walaupun tanpa peradangan yang jelas. Makrofag yang terdapat dalam jaringan penyambung ini disebut histiosit. Dengan banyak hal fungsi makrofag sangat mirip dengan fungsi neutrofil pmn. dimana makrofag akan bergerak secara aktif yang memberi respon terhadap stimulasi kemotaksis, fagosit aktif dan mampu mematikan serta mencernakan berbagal agen. Ada perbedaan penting antara makrofag dan neutrofil, dimana siklus kehidupan makrofag lebih panjang, dapat bertahan berminggu-minngu atau bahkan berbulan-bulan dalam jaringan dibanding dengan neutrofil yang berumur pendek. Selain itu waktu monosit memasuki aliran darah dari sumsum tulang dan waktu memasuki jaringan dari aliran darah, ia belum matang betul seperti halnya neutrofil. Karena neutrofil dalam jaringan dan aliran darah sudah mengalami pematangan (sudah matang), sehingga ia tidak mampu melakukan pembelahan sel dan juga tidak mampu melakukan sintesis enzim-enzim pencenna. Pada monosit dapat dirangsang untuk membelah dalam jaringan, dan mereka mampu memberi respon terhadap keadaan lokal dengan mensintesis sejumlah enzim intrasel. Kemampuan untuk menjalani "on the.job training", ini adalah suatu sifat makrofag yang vital, khususnya pada reaksireaksi immunologis tertentu. Selain itu makrofag-makrofag dapat mengalami perubahan bentuk, selama mengalami perubahan itu, mereka menghasilkan seI-se1 secara tradisional disebut sel epiteloid. Makrofag juga mampu bergabung membentuk sel raksasa berinti banyak disebut giant cell.<br />Walaupun makrofag merupakan komponen penting dalam eksudat namun mereka tersebar secara luas dalam tubuh, dalam keadaan normal dan disebut sebagai system reticuloendotelial atau RES (Reticulo Endotelial System), yang mempunyai sifat fagositosis, termasuk juga dalam hati, sel tersebut dikenal sebagai sel kupffer. Fungsi utama makrofag sebagai pembersih dalam darah ataupun seluruh jaringan tubuh.Fungsi RES yang sehari-hari penting menyangkut pemrosesan haemoglobin sel darah merah yang sudah mencapai akhir masa hidupnya. Sel-sel ini mampu memecah Hb menjadi suatu zat yang mengandung besi dan zat yang tidak mengandung besi. Besinya dipakai kembali dalam tubuh untuk pembuatan sel-sel darah merah lain dalam sumsum tulang dan zat yang tidak mengandung besi dikenal sebagai bilirubin, di bawa ke dalam aliran darah ke hati, dimana hepatosit mengekstrak bilirubin dari aliran darah dan mengeluarkannya sebagai bagian dari empedu.<br />3. Limposit<br />Umumnya terdapat dalam eksudat hanya dalam jumlah yang sangat kecil,meskipu eksudat sudah lama terbentuk yaitu sampai reaksi-reaksi peradangan menjadi kronis.<br /><br />Tanda-Tanda Kardinal Peradangan<br /><br />Pada peristiwa peradangan akut dapat dilihat tanda-tanda pokok (gejala kardinal).<br />1. Rubor (kemerahan)<br />Rubor atau kemerahan biasanya merupakan hal pertama yang terlihat di daerah yang mengalami peradangan. Waktu reaksi peradangan mulai timbul maka arteriol yang mensupali daerah tersebut melebar, dengan demikian lebih banyak darah mengalir ke dalam mikrosirkulasi lokal. Kapiler-kapiler yang sebelumnya kosong atau sebagian saja yang meregang dengan cepat terisi penuh dengan darah. Keadaan ini yang dinamakan hyperemia atau kongesti,menyebabkan warna merah lokal karena peradangan akut. Timbulnya hyperemia pada permulaan reaksi peradangan diatur oleh tubuh baik secara neurogenik maupun secara kimia,melalui pengeluaran zat seperti histamin.<br /><br />2. Kalor (panas)<br />Kalor atau panas terjadi bersamaan dengan kemerahan dari reaksi peradangan yang hanya terjadi pada permukaan tubuh, yang dalam keadaan normal lebih dingin dari -37 °C yaitu suhu di dalam tubuh. Daerah peradangan pada kulit menjadi lebih panas dari sekelilingnya sebab darah yang disalurkan tubuh kepermukaan daerah yang terkena lebih banyak daripada yang disalurkan kedaerah normal. Fenomena panas lokal ini tidak terlihat pada daerah-daerah yang terkena radang jauh di dalam tubuh, karena jaringan-jaringan tersebut sudah mempunyai suhu inti 37°C, hyperemia lokal tidak menimbulkan perubahan.<br /><br />3. Dolor (rasa sakit)<br />Dolor atau rasa sakit, dari reaksi peradangan dapat dihasilkan dengan berbagai cara. Perubahan pH lokal atau konsentrasi lokal ion-ion tertentu dapat merangsang ujung-ujung saraf. Hal yang sama, pengeluaran zat kimia bioaktif lainnya dapat merangsang saraf. Selain itu, pembengkakan jaringan yang meradang mengakibatkan peningkatan tekanan lokal yang tanpa diragukan lagi dapat menimbulkan rasa sakit.<br /><br />4. Tumor (pembengkaan)<br />Segi paling menyolok dari peradangan akut mungkin adalah pembengkaan lokal (tumor). Pembengkaan ditimbulkan oleh pengiriman cairan dan sel-sel dari sirkulasi darah ke jaringan-jaringan interstitial. Campuran dari cairan dan sel yang tertimbun di daerah peradangan disebut eksudat. Pada keadaan dini reaksi peradangan sebagian besar eksudat adalah cair, seperti yang terjadi pada lepuhan yang disebabkan oleh luka bakar ringan. Kemudian sel-sel darah putih atau leukosit meninggalkan aliran darah dan tertimbun sebagai bagian dari eksudat.<br /><br />5. Fungsio laesa (perubahan fungsi)<br />Fungsio laesa atau perubahan fungsi adalah reaksi peradangan yang telah dikenal. Sepintas lalu, mudah dimengerti, mengapa bagian yang bengkak, nyeri disertai sirkulasi abnormal dart lingkungan kimiawi lokal yang abnormal, berfungsi secara abnormal. Namun sebetulnya kita tidak mengetahui secara mendalam dengan cara apa fungsi jaringan yang meradang itu terganggu.<br /> Berbagai bentuk/Jenis Radang<br /><br />Bentuk peradangan dapat timbul didasarkan atas jenis eksudat yang terbentuk, organ atau jaringan tertentu yang terlibat, dan lamanya proses peradangan. Tata nama proses peradangan memperhitungkan masing-masing variable ini. Berbagai eksudat diberi nama deskriptif. Lamanya respon peradangan disebut akut;disebut kronik jika ada bukti perbaikan yang sudah lanjut bersama dengan dumadhsi;dan disebut subakut jika ada bukti awal perbaikan bersama dengan eksudasi. Lokasi reaksi peradangan disebut dengan akhiran -it is yang ditambahkan pada nama organ (misalnya; apendisitis, tonsillitis).<br /><br />Jenis Radang<br /><br />Misalnya: radang kataral, radang pseudomembran, ulkus, abses, flegmon, radang purulen, suppurativaa dan lain-lain.<br />a) Radang Kataral <br />Terbentuk diatas permukaan membran mukosa,dimana terdapat sel-sel yang dapat mensekresi musin. Eksudat musin yang paling banyak dikenal adalah puck yang menyertai banyak infeksi pernafasan bagian atas.<br /><br />b) Radang Pseudomembran<br />Istilah ini dipakai untuk reaksi radang pada permukaan selaput lendir yang ditandai dengan pembentukan eksudat berupa lapisan selaput superficial, mengandung agen penyebab, endapan fibrin, sel-sel nekrotik aktif dan sel-sel darah putih radang.Radang membranosa sering dijumpai dalam orofaring, trachea,bronkus, dan traktus gastrointestinal.<br /><br />c) Ulkus.<br />Terjadi apabila sebagian permukaan jaringan hilang sedangkan jaringan sekitarnya meradang.<br /><br />d) Abses<br />Abses adalah lubang yang terisi nanah dalam jaringan. Abses adalah lesi yang sulit untuk diatasi oleh tubuh karena kecenderungannya untuk meluas dengan pencairan, kecenderungannya untuk membentuk lubang dan resistensinya terhadap penyembuhan. Jika terbentuk abses, maka obat-obatan seperti antibiotik dalam darah sulit masuk ke dalam abses. Umumnya penanganan abses oleh tubuh sangat dibantu oleh pengosongannya secara pembedahan, sehingga memungkinkan ruang yang sebelumnya berisi nanah mengecil dan sembuh. Jika abses tidak dikosongkan secara pembedahan oleh ahli bedah, maka abses cenderung untuk meluas, merusak struktur lain yang dilalui oleh abses tersebut.<br /> <br />e) Flegmon<br />Flegmon: radang purulen yang meluas secara defuse pada jaringan. <br /><br />f) Radang Purulent<br />Terjadi akibat infeksi bakteri.terdapat pada cedera aseptik dan dapat terjadi dimana-mana pada tubuh yang jaringannya telah menjadi nekrotik. <br /><br />g) Radang supuratif<br />Gambaran ini adalah nekrosis liqeuvaktifa yang disertal emigrasi neutrofil dalam jumlah banyak.Infeksi supuratif local disebabkan oleh banyak macam bakteri yang secara kolektif diberi nama piogen (pembentukan nanah).Yang termasuk piogen adalah stafilokokkus,banyak basil gram negatif. Perbedaan penting antara radang supuratif dan radang purulen bahwa pada radang supuratif terjadi nekrosis liquefaktiva dari jaringan dasar. Nekrosis liquefaktiva adalah jaringan nekrotik yang sedikit demi sedikit mencair akibat enzim.<br /> Aspek/Reaksi Sistemik Pada Peradangan<br /><br />Reaksi sistemik yang menyertai reaksi local pada peradangan diantaranya adalah<br />1. Demam.<br />Yang merupakan akibat dari pelepasan zat pirogen endogen yang berasal dari neutrofil dan makrofag. Selanjutnya zat tersebut akan memacu pusat pengendali suhu tubuh yang ada dihypothalamus.<br /><br />2. Perubahan hematologis.<br />Rangsangan yang berasal dari pusat peradangan mempengaruhi proses maturasi dan pengeluaran leukosit dari sumsum tulang yang mengakibatkan kenaikan suatu jenis leukosit, kenaikan ini disebut leukositosis. Perubahan protein darah tertentu juga terjadi bersamaan dengan perubahan apa yang dinamakan laju endap darah.<br /><br />3. Gejala konstitusional.<br />Pada cedera yang hebat, terjadi perubahan metabolisme dan endokrin yang menyolok. Akhirnya reaksi peradangan local sering diiringi oleh berbagai gejala konstitusional yang berupa malaise, anoreksia atau tidak ada nafsu makan dan ketidakmampuan melakukan sesuatu yang beratnya berbeda-beda bahkan sampai tidak berdaya melakukan apapun.<br /><br />Beda Radang Dengan Infeksi<br /><br />Peradangan dan infeksi itu tidak sinonim.Pada infeksi ditandai adanya mikroorganisme dalam jaringan, sedang pada peradangan belum tentu, karena banyak peradangan yang tejadi steril sempurna.Jadi infeksi hanyalah merupakan sebagian dari peradangan.<br /><br /> Nasib Radang Dan Pemulihan Jaringan Pada Radang<br /><br />Dengan adanya reaksi peradangan, maka hasil perbaikan yang paling menggembirakan yang dapat diperoleh adalah, jika terjadi hanya sedikit kerusakan atau tidak ada kerusakan jaringan di bawahnya sama sekali. Pada keadaan semacam itu jika agen penyerang sudah dinetralkan dan dihilangkan. Pembuluh darah kecil di daerah itu memperoleh kembali semipermeabilitasnya, aliran cairan berhenti dan emigrasi leukosit dengan cara yang sama juga berhenti. Cairan yang sebelumnya sudah dieksudasikan sedikit demi sedikit diserap oleh pembuluh limfe dan sel-sel eksudat mengalami disintegrasi dan keluar melalui pembuluh limfe atau benar-benar dihilangkan dari tubuh. Hasil akhir dari proses ini adalah penyembuhan jaringan yang meradang jaringan tersebut pulih seperti sebelum reaksi. Gejala ini disebut resolusi.<br />Sebaliknya, bila jumlah jaringan yang rusak cukup bermakna jaringan yang rusak harus diperbaiki oleh proliferasi sel-sel hospes berdekatan yang masih hidup. Perbaikan sebenarnya melibatkan dua komponen yang terpisah tetapi terkoordinir. Pertama disebut regenerasi Hasil akhirnya adalah penggantian unsureunsur yang telah hilang dengan jenis sel yang sama. Komponen perbaikan kedua melibatkan proliferasi unsur-unsur jaringan penyambung yang mengakibatkan pembentukan jaringan parut.<br /><br />Penyembuhan luka.<br /><br />Koordinasi pembentukan parut dan regenerasi barangkali paling mudah dilukiskan pada kasus penyembuhan luka kulit. Jenis penyembuhan yang paling sederhana terlihat pada penanganan luka oleh tubuh seperti pada insisi pembedahan, dimana pinggir luka dapat didekatkan agar proses penyembuhan dapat terjadi. Penyembuhan semacam ini disebut penyembuhan primer atau healing by first intention. Setelah teijadi luka maka tepi luka dihubungkan oleh sedikit bekuan darah yang fibrinnya bekerja seperti lem. Segera setelah itu terjadilah reaksi peradangan akut pada tepi luka itu dan sel-sel radang, khususnya makrofag, memasuki bekuan darah dan mulai menghancurkanya. Dekat reaksi peradangan eksudat ini, terjadi pertumbuhan ke dalam oleh jaringan granulasi ke dalam daerah yang tadinya ditempati oleh bekuan darah. Dengan demikian maka dalam jangka waktu beberapa hari luka itu dijembatani oleh jaringan granulasi yang disiapkan agar matang menjadi jaringan parut. Sementara proses ini berjalan maka epitel permukaan di bagian tepi mulai melakukan regenerasi dan dalam waktu beberapa hari bermigrasi lapisan tipis epitel diatas permukaa luka.Waktu jaringan parut di bawahnya menjadi matang, epitel ini juga menebal dan matang sehingga menyerupai kulit yang didekatnya. Hasil akhirnya adalah terbentuknya kembali permukaan kulit dan dasar jaringan parut yang tidak nyata atau hanya terlihat sebagai satu garis yang menebal. Pada luka lainnya diperlukan jahitan untuk mendekatkan kedua tepi luka sampai terjadi penyembuhan.<br />Bentuk penyembuhan kedua terjadi jika luka kulit sedemikian rupa sehingga tepi luka tidak dapat saling didekatkan selama proses penyembuhan. Keadaan ini disebut healing by second intention atau kadang kala disebut penyembuhan yang disertai granulasi<br /><br />Penyembuhan Abses<br /><br />Penyembuhan akan berlangsung lebih cepat bila isi abses dapat keluar. Abses kecil akan diorganisasi dan menjadi jaringan ikat. Abses besar hanya sekitarnya akan diorganisasi dan menjadi jaringan ikat.<br /> DAFTAR PUSTAKA<br /><br />Price, Sylvia Anderson, 1994, Patofisiologi : Konsep Klinis Proses proses Penyakit ;Alih Bahasa, Peter Anugrah ; editor Caroline Wijaya, Ed. 4, EGC, Jakarta. <br />Robbine dan Kumar, 1992, Buku Ajar Patologi; Alih Bahasa, Staf Pengajar Laboratorium Patologi Anatomik FK-UNAIR Surabaya, Ed. 4, EGC, Jakarta.habankhttp://www.blogger.com/profile/09626054388126297040noreply@blogger.com4tag:blogger.com,1999:blog-3909943987252109584.post-41514953848591955892009-03-26T09:32:00.000-07:002009-03-26T09:34:06.575-07:00DARAHDARAH<br /><br />Darah adalah suspensi dari partikel dalam larutan koloid encer yang mengandung elektrolit. Berguna sebagai medium pertukaran antara sel-sel yang terfiksasi dari tubuh dan lingkungan luar, serta memiliki sifat-sifat protektif terhadap organisme sebagai suatu keseluruhan dan khususnya terhadap dirinya sendiri.<br />Komponen cair darah dinamakan plasma yang terdiri dari air (91% - 92%) sebagai medium transport.<br />Zat padat (7% - 9%) padat tersebut adalah protein-protein seperti: albumin, globulin dan fibrinogen: unsur anorganik berupa natrium, kalsium, kalium, fosfor, besi dan yodium.<br />Unsur organik (berupa zat-zat nitrogen non protein); urea, asam urat, xantin, kreatinin, asam amino, lemak netral, fosfolipid kolesterol, glucose dan berbagai enzim seperti amilase protease dan lipase.<br />Setelah fibrinogen dan faktor-faktor pembekuan dihilangkan dari plasma tertinggal serum yang mengambang di atas.<br />Setelah fibrinogen dan faktor-faktor pembekuan dihilangkan dari plasma tertinggal serum yang mengambang di atas.<br />Peranan ke 3 jenis protein darah:<br />o Albumin (53%): mempertahankan volume darah dengan memberikan tekanan asmotik koloid, pH dan keseimbangan elektrolit transport ion-ion logam, asam lemak, steroid dan obat-obatan.<br />o Terbentuk dalam hati<br />o Globulin (43%) untuk pembentukan antibody dan protrombin<br />o Terbentuk dalam hati dan jaringan limfoid<br />o Fibrinogen (4%) penting untuk pembekuan darah<br />Unsur seluler seluruh darah terdiri dari:<br />1. Sel darah merah (eritrosit RBC red blood corpuscular yang berfungsi transport dan pertukaran) dan CO2<br />2. Sel darah putih (leukusit, WBC: White Blood Corpscular) yang berfungsi untuk mengatasi infeksi dan trombosit untuk hemostatis (hematoposis: pembentukan dan pematangan sel darah yang mana terjadi dalam sumsum tulang tengkorak, verebra, pelvis, sternum, iga-iga dan proximal tulang panjang.<br /><br />Bila kebutuhan meningkat seperti pada pendarahan atau penghancuran sel (hemolisis), pembentukan dapat timbul lagi dalam semua tulang panjang, seperti halnya pada anak-anak.<br /><br />CARA MEMPELAJARI DARAH<br />Yang menjadi sifat diagnosis yang cermat pada gangguan hemolitik (diskrasia) adalah penilaian yang teliti pada individu. Penilaian ini mencakup anamnesia yang menyeluruh (yaitu: keadaan sakit masa lampau dan yang sedang berlangsung kontak terhadap obat, kecenderungan pendarahan, keadaan nutrisi, dan sejarah keluarga), pemeriksaan spesifik untuk menentukan kuantitas berbagai unsur darah dan unsur tulang.<br />Hal tersebut dapat dilakukan dengan memeriksa volume darah. Dan ambil darah vena, karena hasilnya lebih cermat.<br />Untuk pengambilan darah perifir dengan menusuk pinggiran bebas lobus telinga atau ujung jari, bisa saja dilakukan, namun hasilnya lebih sedikit dan kurang cermat.<br />Komponen utama sel darah merah adalah protein hemoglobin (Hb) Sintesis hemoglobin dalam sel darah berlangsung dari aritrosit sampai stadium perkembangan retikulosit. Fungsi utamanya adalah transport O2 dan CO2.<br /><br />SEL DARAH MERAH<br />Atau eritosit secara mikroskopis merupakan piringan binkonkaf tidak berinti, sel tersebut lunak dan lentur, maka dalam perjalanannya melalui mikrosirkulasi, konfigurasinya akan berubah sesuai dengan besar kecilnya pembuluh darah yang dilewatinya.<br />Stroma bagian luar yang mengandung protein terdiri dari antigen kelompok A dan B serta faktor Rh yang menentukan golongan darah seseorang. Sedang komponen utama sel darah merah adalah protein hemoglobin (Hb) yang mengangkut O2 dan CO2 mempertahankan pH normal intrasel. Molekul-molekul Hb terdiri dari globulin dan hem, yang masing-masing mengandung sebuah atom besi, keadaan ini memungkinkan pertukaran gas dengan sempurna.<br />Jumlah sel darah merah kira-kira 5 juta per millimeter kubik darah rata-rata orang dewasa dan berumur 120 hari. Keseimbangan yang tetap dipertahankan antara kehilangan dan penggantian sel darah normal setiap hari.<br />Pembentukan sel darah merah bergantung pada jumlah zat-zat makanan yang cukup dan cocok penggunaannya yaitu vitamin B12, asam volat, protein-protein, enzim-enzim dan mineral serta logam-logam seperti besi dan tembaga.<br />Pembentukan hemoglobin terjadi dalam sumsum tulang melalui semua stadium pematangan. Sel darah merah memasuki sirkulasi sebagai retikulosit dari sumsum tulang.<br />Sejumlah kecil hemoglobin masih dihasilkan selama satu atau dua hari, reticulum kemudian larut dan menjadi sel darah merah yang matang. Waktu sel menjadi tua, ia menjadi kaku dan rapuh, akhirnya pecah. Hemoglobin kemudian difagosit dalam dan hati, kemudian direduksi menjadi besi, globin dan biliverdin.<br />Globin masuk kembali ke pool asam amino, dan biliverdin direduksi menjadi bilirubin. Besi diangkut oleh protein transferin plasma ke sumsum tulang. Untuk pembentukan sel darah merah.<br />Globin masuk kembali ke pool asam amino, dan biliverdin direduksi bilirubin. Besi diangkat oleh protein tranferin plasma ke sumsum tulang. Untuk pembentukan sel darah merah.<br />Oksi Hb dalam darah arteri adalah merah matang<br />Dioksi Hb dalam darah adalah merah tua<br /><br /> CARA MENGANGKUT DARAH MERAH<br />Hematokrit dibagi oleh jumlah sel darah merah menghasilkan volume ertrosit rata-rata MCV/Mean Corpuscular volume. Harga normal MCV: 31 s.d 96 mikro meter kubik. MCV menunjukkan ukuran sel darah merah, kurang dari batas normal, dikatakan mikrositik. Ukuran yang lebih besar dari 96 mikro meter kubik, disebut mikrositik.<br />Konsetrasi hemoglobin eritrosit rata-rata = MCHC / Mean Corpuscular Hemoglobin Konsetration, mengukur banyaknya hemoglobin dalam 100 ml sel darah padat.<br />Hemoglobin dibagi hematokrit = MCHC, dinyaakan dalam gram per 100 ml. batas normal adalah 30 sampai 36 gram per 100 ml darah.<br />MCHC adalah batas normal dinamakan normokrom.<br />Kurang dari harga nomal: hipokromik, karena pada sediaan apus kelihatan padat.<br />Konsentrasi hemoglobin rata-rata = MCH / Mean Corpusclar Hemoglobin, mengukur banyaknya hemoglobin yang terdapat dalam satu sel darah merah dengan jumlag sel darah merah per millimeter kubik darah.<br />MCH dinyatakan dalam pikogram hemoglobin per sel darah merah.<br />Nilai normal adalah kira-kira 27 sampai 31 pg sel darah merah.<br />Jumlah retikulosit menggambarkan aktivitas sumsum tulang, retikulosit merupakans el darah merah yang immature tidak berinti dan mengandung sisa-sisa RNA dalam sitoplasma.<br />Jumlah retikulosit pada sediaan darah apus / perifer adalah 1 sampai 2%.<br />SEL DARAH PUTIH<br />Dibagi 2 kelompok besar:<br />1. Fagosit<br />2. Limfosit (36%)<br /><br />FAGOSIT<br />1. NEtrofil (55%)<br />2. Eosinofil (1 – 2%)<br />3. Basofil (0,5% - 1%)<br />4. Monosit (6%)<br /><br />LIMFOSIT<br />Immunosit + prekusor : sel plasma<br />Fungsi fagosit dan limfosit untuk melindungi tubuh melawan infeksi. Dan batas normal dalam tubuh antara: 4000 sampai 10.000 per mm3<br />Selain itu juga dibedakan dalam:<br />Yang granulosit (bergranula dalam sitoplasmanya)<br />Arganulosit (granul sedikit, samar)<br />GRANULOSIT : NEUTROFIL<br /> EOSINOFIL<br />Monosit dan limfosit: granula tampak samar (dalam sitoplasmanya)<br /><br /><br />NEUTROFIL:<br />Granula tidak berwana.<br />Diameter 10 – 12 mm/lebih besar dari sel darah merah, nuklei bersegmen sehingga disebut polimorfonuklear (pmn) fagositosis aktif.<br />Banyak terdapat pada jam-jam pertama peradangan.<br />Sel neitrofil pmn:<br />- 55% dari seluruh leukosit<br />- Petahanan pertama<br />- Fagosit aktif<br />- Banyak pada infeksi karena virus<br />- Diproduksi dalam sumsum tulang<br />- Terdapat banyak pada jam-jam pertama peradangan<br />- Panjang hidupnya terbatas.<br />Sel eosinofil:<br />- 2% dari jumlah leukosit<br />- Fungsi belum diketahui dengan pasti<br />- Fagositosis tidak begitu besar<br />- Terdapat meningkat pada hipersensitif: misal asma, alergi, cacing<br />- Granula berwarna merah pada hipersensitif: misal asma, alergi, cacing<br />- Granula berawarna merah pada pewarnaan asam<br />Sel basofil:<br />- 1% dari jumlah leukosit<br />- Sinyal khemotaksis terhadap reaksi immunologis<br />- Berasal dari sunsum tulang<br />- Sel tidak bertambah pada inefksi<br />- Sangat tidak sedikit dalam eksudat<br />- Disebut juga mast sel<br />- Granula berwarna biru dengan pewarnaan basa.<br />Sel monosit:<br />- 6% dari jumlah leukosit <br />- Disebut juga makrofag, hoistiosit sel retikuloendotelial<br />- Makrofag yang melapisi sinus-sinus hati, disebut juag sel kupper<br />- Fungsi aktif : radang akut – sedikit<br /> radang kronis - banyak<br />- Makrofag dengan inti banyak disebut GIANT SEL<br />- Siklus hidup panjang<br />- Infeksi virus/typus abdominalis di fagosit oleh makrofag<br />- Merupakan garis Pertahanan kedua<br />- Disebut juga sel epiteloid<br />- Belum matang waktu masuk aliran darah / jaringan<br />- Terbentuk dalam sumsum tulang<br />Sel limfosit:<br />- 30% dari jumlah leukosit<br />- Jumlah sedikit, tampak pada radang kronis<br />- Berperan dalam pembentukan zat inti<br />- Terbentuk dalam jaringan limfe<br />GAMBARAN KLINIS<br />Jumlah dari sel darah putih bisa berkurang atau bertambah.<br />LEUKOSITOSIS<br />Adalah peningkatan jumlah sel-sel darah putih, hal ini dapat terjadi pada:<br />Berbagai infeksi misal pneumonia.<br />Leukemia<br />Serangan penyakit malignasi yang cepat<br />Setelah hemorhagi atau sidera berat.<br /><br />LIMFOSITOSIS:<br />Adalah peningkatan dalam jumlah limfosit, hal ini dapat terjadi pada:<br />Beberapa infeksi, misal: pada batuk rejan.<br />Limfatik leukemia<br /><br />EOSINOFILIA<br />Adalah peningkatan jumlah granulosit eosinoil, hal ini dapat terjadi pada:<br />Infeksi oleh parasit, misal pada infeksi cacing <br /><br />LEUKIMIA<br />Adalah penyakit dimana terjadi pembentukan sel-sel darah putih yang berlebihan<br />Terdapat beberapa tipe leukemia secara klasik berhubungan dengan dua hal:<br />a. Apakah kronik atau akut<br />b. Tipe sel-sel yang meningkat.<br />Limfatik leukemia : peningkatan jumlah limfosit<br />Monosit leukemia : peningkatan jumlah monosit<br />Meiloid leukemia : terdapatnya sel-sel meiloid, yang merupakan sel-sel<br /> primitif dari mana granulosit terbentuk<br />Leucopenia : merupakan penurunan dalam jumlah leukosit, hal ini<br /> biasanya terjadi pada neutropenia, misal pada<br /> penurunan jumlah-jumlah neutrofil<br />Yaitu pada : beberapa infeksi virus (influenza)<br />Anemi aplastika : fungsi sumsum tulang mengalami gangguan atau<br /> berhenti fungsi<br />Beberapa reaksi obat : amidopryne, golongan thourasil<br />Agranulositosis : merupakan keadaan dimana secara total atau hampir total<br /> kekurangan granulosit, keadaan ini merupakan gejala-<br /> gejala berat<br /><br />TROMBOSIT<br />Jumlah trombosit antara 150 dan 400 x 109 / liter (150000 – 40000 ml) bentuknya oval atau bulat, bikonveks, lempeng yang tidak berinti dan hidup sekitar 10 hari.<br />Trombosit merupakan bagian sel-sel yang terbesar dalam sumsum tulang. Sekitar 30 – 40% dari jumlah trombosit keseluruhan disimpan dalam limpa sisanya bersirkulasi dalam darah, berdekatan dengan endotelium (terletak pada bagian yang paling dalam dari pembuluh darah)<br />Fungsi:<br />- untuk mempertahankan integritas endothelium<br />- untuk mengatasi pendarahan<br /><br />GAMBARAN KLINIS<br />Trombositopeni adalah reduksi abnormal dalam sejumlah trombosit.<br />Penyebabnya adalah:<br />a. Hilangnya fungsi sumsum tulang karena leukemia, beberapa obat (salisilat, silonamid, dll) terserangnya sumsum tulang oleh penyakit keganasan.<br />b. Destruksi yang berlebihan akibat beberapa penyakit otoimun<br />c. Syok dan beberapa kasus septichemia<br />Akan terjadi pendarahan atau hemorhagi bila jumlah trombosit turun di bawah 20.000/ml<br /> <br />Ptekhie : Pendarahan kecil-kecil pada subkutan <br />Ekhimosis : Setiap keadaan dimana terjadi multi hemorhagi pada kulit jaringan subkutan <br />Plasma : Plasma merupakan bagian cair dari tubuh darah, plasma membentuk sekitar 5% dari berat badan <br />Fungsi : - Sebagai media sirkulasi elemen-elemen darah yang berbentuk (sel darah merah, sel darah putih, trombosit)<br />- Sebagai media transportasi bahan-bahan organik dan anorganik dari satu organ atau jaringan ke organ atau jaringan ke organ atau jaringan yang lain.<br />- Bersama dengan asam alkali protein plasma bertindak sebagai penyangga dalam mempertahankan pH normal tubuh<br />- Fibrinogen dan protrombin adalah penting untuk pembekuan darah<br />- Immunoglobulin merupakan hal yang esensial dalam Pertahanan tubuh melawan infeksi <br /><br />GAMBARAN KLINIS:<br />Plasma didapat dengan cara melakukan pemisahan sel-sel darah dari darah dengan cara pemusingan.<br />Plasma diberikan secara intervena:<br />a. Untuk memulihkan volume darah, misalnya setelah mengalami kehilangan banyak cairan pada luka bakar yang hebat.<br />b. Untuk memberikan bahan-bahan yang hilang dari darah pasien: misal untuk menggantikan faktor-faktor 2-1, VII, IX, XI bagi pasien yang tidak memilikinya<br /><br />Perbedaan dalam kandungan plasma protein terjadi dalam: PENYAKIT GINJAL, plasma albumin turun, ketika terdapat kebocoran albumin yang besar melalui glumeruli ginjal.<br />PENYAKIT HEPAR KRONIK dan KELAPARAN<br />Plasma albumin turun sebagai akibat dari kebocoran protein dan gagalnya hepar untuk membentuk protein plasma.<br />INFEKSI<br />Jumlah globulin biasanya meningkat sebagai bagian dari mekanisme pertahanan tubuh.<br /><br />BEBERAPA GANGGUAN PEMBENTUKAN PROTEIN<br />Congenital atau didapat penurunan dalam pembentukan globulin dalam pembentukan globulin adalah mungkin dapat meningkatkan kecenderungan terkena infeksi.<br /><br />HEMOSSTASIS<br />Adalah penghentian pendarahan yang terlibat di dalamnya: pembuluh darah, trombosit, koagulasi darah.<br /><br />PEMBULUH DARAH<br />Kerusakan pembuluh darah akan menyebabkan konstriksi oleh refleks saraf sehingga jumlah darah yang hilang berkurang.<br /><br />TROMBOSIT<br />Trombosit tetap tinggal pada pinggiran pembuluh darah yang mengalami kerusakan. Dalam keadaan ini dibentuk masa yang menyumbat lubang yang terbentuk sebagian atau keseluruhan. Terbentuk serotonim pada masa tersebut menyebabkan konstriksi pembuluh darah lebih lanjut.<br /><br />KOAGULASI DARAH:<br />Darah membeku di atas setiap area kerusakan pembuluh darah, peregangan dari obstruksi dibentuk oleh trombosit dan selanjutnya terjadi penutupan lubang.<br />Koagulasi dari darah merupakan serangkaian mekanisme biokimia yang kompleks melibatkan paling tidak dua belas elemen komponen plasma yang berbeda yang diberi nomor dari I sampai XII. Fibrin merupakan faktor yang terbentuk paling akhir.<br />Bahan-bahan yang terlibat meliputi:<br />o Protrombin<br />o Tromboplastin (dibentuk oleh sel-sel yang rusak dan trombosit)<br />o Kalsium, vit K<br />o Faktor-faktor pembekuan plasma<br />o Fibrinogen<br />Dengan interaksi bahan-bahan di atas:<br />a. Protomborin terbungkus di dalam trombin<br />b. Trombin dengan fibrinogen membentuk fibrin<br />c. Fibrin terbungkus di dalam fibrin yang tidak dapat dipecahkan<br />d. Fibrin yang tidak dapat dipecahkan membentuk jaringan-jaringan sel-sel darah merah terjerat di dalamnya dan menjadi kekakuan.<br />Fibrin berkonstarksi pada saat itu dan serum cairan kuning pucat dikeluarkan dari bekuan.<br /><br />LIMPA<br />Adalah organ berwarna ungu muda berukuran kira-kira satu genggaman orang. Terletak di dalam rongga abdomen kiri atas, dilindungi oleh tulang-tulang rusuk. Limpa mempunyai permukaan medialis yang cekung berhubungan dengan lambung, fleksus splenika kolon dan ginjal kiri.<br />Hilum merupakan tempat pada permukaan medialisnya dimana pembuluh-pembuluh masuk dan keluar dari limpa.<br />Sebelah anterior membentuk insisura<br />Limpa dibungkus oleh peritoneum<br />STRUKTUR<br />Limpa terdiri atas:<br />Kapsul limfe : masa dari jaringan limfe, dengan yang terdapat pada modus limfe<br />Pulp merah : merupakan jaringan dari jaringan penunjang, sel-sel darah putih<br /> dsb. Dengan banyak sinusoid besar melewatinya.<br /><br />SUPLAY DARAH<br />Oleh a. splenika yang timbul dari a. koeliaka<br />Drainase vena oleh v. splenika merupakan cabang dari v. perta<br /><br />FUNGSI<br />1. Pembentukan sel-sel darah merah (hanya pada kehidupan foetus)<br />2. Penghancuran sel-sel darah merah yang sudah tua<br />3. Penyimpanan zat besi dari sel-sel darah merah yang dihancurkan<br />4. Membentuk bilirubin dari sel-sel darah merah<br />5. Pembentukan limfosit<br />6. Pembentukan immunoglobin<br />7. Membuang partikel-partikel benda asing dari dalam darah sebagai tempat penampungan (untuk jumlah yang kecil).<br />8. enggan kontraksi dari kapsul, bisa menekan darah ke sirkulasi bila diperlukan.<br /><br />GAMBARAN KLINIS<br />Pembesaran limfa terjadi pada beberapa infeksi (khusus malaria) leukemia, limfadenoma dsb.<br /><br />SISTEM RETIKULI – ENDOTELIAL<br />Retikulo – Endetel (RE) terdiri dari sejumlah sel-sel yang mempunyai struktur yang serupa dan dengan fungsi yang sama terletak dalam berbagai organ dan jaringan.<br />RE terdapat pada limpa, hepar, thymus, modus limfe, sumsum tulang, dinding pembuluh darah<br />Fungsi umum:<br />Adalah membuang partikel-partikel benda asing, menghancurkan sel-sel darah merah yang sudah tua, dan menghancurkan beberapa sel lainnya.<br />Nilai normal pada unsur pemeriksaan darah :<br />1. Hb : L : 13,5-18 ; P : 11,5-16,0 .<br /><br />Hematokrit. : L: 40-57 % ; P : 38-42 %.<br /><br /><br />Desember 2006<br />DAFTAR PUSTAKA<br /><br />1. ………….Anatomi Fisiologis untuk Akademi Perawat <br />2. Helmut Leonhart, Alih Bahasa: Dr. H. Tonang: Atlas dan Buku Teks Anatomi Manusia <br />3. Sobata: Prof. Dr. Med. R. Puts – Prof. Dr. Med. R. Pabst: Atlas Anatomi Manusia<br />4. Sylvia A. Price Lorraine M. Wilson: Patofisiologi, ECGhabankhttp://www.blogger.com/profile/09626054388126297040noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-3909943987252109584.post-59018764897072248842009-03-26T09:31:00.000-07:002009-03-26T09:32:46.456-07:00GANGGUAN PADA SISITEM PERNAFASANGANGGUAN PADA SISTEM PERNAFASAN.<br /><br />RONGGA HIDUNG DAN SINUS PARANASAL :<br /><br />RADANG :Kelainan yang paling sering ditemukan pada hidung dan sinus paranasal ialah radang, dan biasa disebut “common cold “ (pilek), biasanya tidak membahayakan hanya menimbulkan rasa tidak enak. Radang mendadak pada rongga hidung disebut rhinitis acuta , sedang penyebabnya virus, allergi dan bakteri.<br />Rhinitis acuta catarrhalis, berupa radang selaput lendir yang membentuk banyak eksudat jernih dan cair (serosa). Selaput lendir hiperemik dan sembab, rongga hidung menyempit didalamnya banyak cairan bercampur lendir.<br />Rhinitis allergica : kontak ber-ulang2 akan menimbulkan reaksi antigen-zat anti sehingga terjadi rhinitis allergica yang manifestasinya sukar dibedakan dengan rhinitis oleh virus.<br />Karena reaksi radang yang ber-ulang2 akan timbul pembesaran fokal selaput lendir yang menonjol disebut polipus nasi.<br />Rhinitis acuta catarrhalis , dapat mengalami infeksi sekunder oleh bakteri , streptokokkus, stapilokokkus, pneumokokkus, hemopilus influenza.<br />Sinusitis, biasanya menyertai rhinitis akuta.<br />Infeksi syphilis (bawaan) atau didapat, tuberkulosa, lepra dapat mengenai rongga hidung.<br />PHARYNGITIS , dapat disebabkan infeksi virus atau bakteri. Selaput lendir tampak sembab dan terjadi hiperplasi jaringan limfoid<br />KARSINOMA ANAPLASTIK NASOPHARYNX merupakan tumor ganas yang sering ditemukan pada pria berusia 40 tahun.<br />LARYNGITIS mudah menjalar kebawah dan sebaliknya radang bronkhus dapat mencapai laryng.<br />LARYNGITIS SIMPLEKS, radang mendadak, disebabkan oleh sebagai bagian dari common cold, bagian dari infeksi sistemik seperti morbili, rangsangan gas beracun atau uap panas<br />LARYNGITIS KRONIKA, disebabkan oleh banyak merokok,banyak minum alkohol,banyak menggunakan pita suara..Laryngitis diphtherica, laryngitis tuberculosa.<br /><br />ATELEKTASE : adalah kollapsnya sebuah alveolus, dimana alveolus tidak mengandung udara sehingga tidak ikut serta dalam pertukaran gas. <br />Atelektase primer : terjadi sejak bayi lahir.<br />Atelektase sekunder : sebelumnya alveolus normal/terbuka kemudian kollaps.<br /><br />HIPOKSEMIA : terjadi penurunan konsentrasi oksigen dalam darah arteri. Hipoksemia timbul bila terjadi penurunan oksigen di udara (hipoksia), terjadi hipoventilasi akibat penurunan udara dalam paru, atau atelektase.Hipoksemia disebabkan karena penurunan aliran darah ke alveolus ( hiperfusi), dapat terjadi akibat ambolus paru, hipertensi paru, infark miokardium.<br /><br />SIANOSIS: (kebiruan) terjadi apabila sejumlah besar hemoglobin dalam darah tidak berikatan maksimum dengan oksigen. Apabila konsentrasi hemoglobin dalam darah normal , tapi ketersediaan oksigen akan mengikat hemoglobin berkurang maka molekul2 hemoglobin tidak mengikat maksimum akan oksigen. <br /><br />BRONKHIEKTASI.: dilatasi abnormal bronkhus atau bronkhiolus. Bronkhiektasi dapat terjadi pada obstruksi paru kronik pada saluran napas bagian bawah, karena tumor,infeksi kronik, penimbunan mukus. Bronkhus terisi oleh mukus sehingga terjadi atelektase .<br /><br />INFEKSI SALURAN NAFAS ATAS : adalah infeksi yang disebabkan oleh mikroorganisme . Pada saluran nafas atas ; rongga hidung, faring, laring.Infeksi saluran nafas atas mancakup , commond colt, faringitis, laringitis, radang tenggorokan, flu.Sebagian besar infeksi saluran nafas atas disebabkan oleh virus, meskipun bakteri juga bisa sebagai penyebab baik awal maupun sekunder. Terjadinya reaksi peradangan mengakibatkan peningkatan pembentukan mukus , dengan gejala hidung tersumbat, sputum berlebihan, pilek, nyeri kepala, demam,mual, malaese.<br /><br />EFEK MEROKOK PADA PERTAHANAN RESPIRASI : merokok diketahui mengganggu efektivitas sebagian mekanisme pertahanan respirasi. Produk2 asap rokok diketahui merangsang pembentukan mukus dan menurunkan pergerakan silia. Dengan demikian terjadi penimbunan mukus dan peningkatan resiko pertumbuhan bakteri. Batuk –batuk yang terjadi pada para perokok (smoker’s cough) adalah usaha untuk mengeluarkan mukus kental, yang sulit didorong keluar saluran nafas. Infeksi saluran nafas bawah sering terjadi pada para perokok dan mereka yang perokok pasif, terutama bayi dan anak-anak.<br /><br />PNEUMONIA : adalah infeksi saluran nafas bagian bawah. Penyakit ini adalah infeksi akut jaringan paru oleh mikroorganisme. Sebagian besar pneumonia disebabkan oleh bakteri, yang timbul secara primer atau secara sekunder setelah infeksi virus.<br />Penyebab tersering pneumonia bakterialis adalah bakteri gram positif, sterptococcus pneumoniae, juga bakteri staphyllococcus aureus dan sterptococcus beta-hemoliticus group A. Pneumonia lainnya disebabkan oleh virus, misal ; influenza. Pneumonia mikoplasma , sering dijumpai, disebabkan oleh suatu mikroorganisme diantara bakteri dan virus.Penderita AIDS sering mengalami pneumonia yang pada orang lain sangat jarang terjadi. Pneumocytis carnii. Pada alat pendingin misal; AC, ditempat yang lembab dapat menyebabkan pneumonia Legionella. Pada penderita aspirasi dari muntah atau air akibat tenggelam dapat terkena pneumonia aspirasi.Bahan aspirasi tersebut yang menyebabkan pneumonia bukan mikroorganisme.<br /><br />KLINIS : gejala-gejala serupa untuk semua jenis pneumonia, tetapi yang mencolok pada pneumonia yang disebabkan oleh bakteri. Gejala2 tersebut mencakup : <br />1.demam dan menggigil akibat proses peradangan.<br />2.batuk produktif dan purulen.<br />3.sputum merah karat ( streptococcus pneumoniae), merah muda ( staphyllococcus aureus ), atau kehijauan dengan bau khas ( pneomunia aerugenosa ).<br />4.ronkhi basah.<br />5.rasa lelah akibat reaksi peradangan dan hipoksia apabila infeksinya serius.<br />6.nyeri pleura akibat peradangan dan edema.<br />7.dispnu, perasaan sesak atau kesulitan bernafas , disebabkan penurunan pertukaran gas.<br />8.mungkin timbul tanda-tanda sianosis. Ventilasi berkurang akibat penimbunan mukus, yang dapat menyebabkan atelektasis absorbsi.<br />9.hemoptisis, batuk darah.<br /><br />TUBERKULOSIS.<br />Penyakit saluran nafas bawah, disebabkan mikroorganisme Mycobacterium tuberculosa, yang ditularkan melalui droplet infektion, lesi kulit. <br /> Apabila basil tuberkulosis berhasil menembus mekanisme pertahanan pernafasan dan menginfeksi saluran pernafasan bagian bawah maka akan terjadi respon immun dan peradangan yang kuat. Karena respon immun yang hebat terutana diperantarai oleh sel T, maka hanya sekitar 5% orang terkena basil tersebut menderita tuberkulosis aktif. Yang bersifat menular bagi orang lain adalah mereka yang mengidap infeksi tuberkulosis aktif-<br />Dan hanya pada masa infeksi aktif.<br />Mereka yang beresiko terinfeksi basil tuberkulosis adalah yang tinggal berdekatan dengan orang yang terinfeksi aktif, juga para pekerja kesehatan yang merawat pasien tuberkulosis.Juga terjadi pada orang yang sistem immun lemah misal; kekurangan gizi, orang berusia lanjut atau bayi dan yang mengidap infeksi HIV.<br /><br />PATOFISIOLOGI TUBERKULOSA :<br /> Karena basil Mycobacterium tuberculosis sangat sulit dimatikan apabila sudah mengkolonisasi saluran nafas bagian bawah, maka tujuan respon immun lebih untuk mengepung dan mengisolasi basil bukan untuk mematikan. Makrofag mengelilingi basil , diikuti oleh sel T, dan jaringan fibrosa membungkus kompleks makrofag-basil tersebut. Kompleks basil, makrofag, sel T, dan jaringan parut disebut kompleks Ghon. Kompleks Ghon merupakan fokus perkejuan kecil,berwarna putih kekuningan, berbatas tegas,. Letaknya dapat dimana saja pada paru2, biasanya pada batas lobus atas dan lobus bawah, dekat pleura. Kelenjar limfe regional membesar dan mengalami perkejuan, terbentuklah tuberkel dengan perkejuan di tengah, sel epiteloid, monosit, limfosit, sel plasma dan proliferasi fibroblast. Kelainan serupa ditemukan pula pada kelenjar limfe.<br /> Penderita tuberkulosis primer dapat sembuh atau meninggal. Pada penyembuhan tampak tuberkel mengalami fibrosis, sehingga berubah menjadi jaringan parut, yang sering diikuti perkapuran. Pada kelenjar limfe juga terjadi jaringan parut, tetapi kadang-kadang tetap terdapat fokus perkejuan yang dapat tetap ada selama bertahun-tahun. Dalam hal ini fokus menjadi sumber reinfeksi endogen kelak.<br /> Pada penderita yang lemah atau karena infeksi kuman yang banyak , tuberkel primer dapat mengalami perluasan yang kemudian menyebabkan kematian. Tuberkel ini dapat meluas menjadi banyak kemudian bergabung menjadi satu , kedaan ini disebut pneumonia alba. Tuberkel dapat merusak dinding bronkhus , menimbulkan penyebaran bronkhogen, sehingga kedua paru2 dapat terkena, selain itu saluran pernafasan bagian atas dan juga saluran pencernaan dapat terkena ( kuman tertelan oleh pharyng ). Penyebaran hematogen karena erosi tuberkel pada pembuluh darah, menimbulkan tuberkulosis milier (miliaris) dalam paru-paru dan tuberkulosis pada tubuh lain.<br /><br />BEBERAPA JENIS TUBERKULOSA : <br />1)Tuberkulosis fibrokaseosa khronika, proses perkejuan meluas dan tuberkel membesar sehingga dapat menimbulkan erosi pada dinding bronkhiolus dengan demikian terbetuklah rongga yang disebut kaverne, yang merupaka sumber pengeluaran kuman kedalam saluran pernafasan. Kuman tersebut dapat ditularkan melalui ” droplet infection” melalui batuk.<br />2)Pneumonia tuberkulosa kaseosa akuta, terjadi secara akut pada penderita dengan daya tahan tubuh yang lemah. Tuberkel meluas dengan cepat menimbulkan erosi dinding bronkhus sehingga terjadi penyebaran kuman secara bronkhogen, akibatnya dalam waktu singkat terbentuk tuberkel sekitar percabangan bronkhus, menimbulkan gambaran seperti bronkhopneumonia.<br />3)Tuberkulosis miliaris akuta, penyebaran limfohematogen, sehingga dapat mengenai kedua paru-paru,dan tuberkulosis seluruh tubuh; alat tubuh yang sering terkena ialah hati, limpa, sumsum tulang, mata, ginjal, kelenjar adrenal,tuba fallopii, epididimis dan mening ( selaput Otak ).<br />KLINIS TUBERCULOSA : kesehatan yang terus nenurun, berat badan menurun, anorexi, lekas lelah,suhu subfibril, batuk lebih dari dua minggu, dahak, nyeri dada dan hemoptysis.<br /><br />BRONKHUS : radang dapat mengenai brokhus saja disebut bronkhitis, mengenai bronkhus dan jaringan sekitarnya disebut pneumonia. <br />BRONKHITIS AKUT : radang mendadak pada bronkhus dan biasanya mengenai trakhea dan laryng sehingga disebut laryngotrakheobronkhitis, radang ini dapat timbul pada kelainan jalan nafas sendiri, atau sebagai bagian dari penyakit sistemik misal morbilli,pertusis,diphtheri,typus abdominalis.<br />BRONKHITIS KRONIK : radang bronkhus yang sifatnya menahuin, bukan merupakan bentuk menahun dari bronkhitis akuta. Bronkhitis kronik dapat disebabkab oleh penyakit jantung menahun, infeksi sinus paranasal, dilatasi bronkhus, menghisap rokok.<br />ASMA BRONKHIALE : suatu penyakit yagn ditandai oleh serangan intermiten spasme bronkhus disebabkan oleh rangsangan allergi atau iritatif. Yang khas ialah serangan spasme terjadi tiba2 diselingi periode bebas gejala.<br />Kadang2 seerangan dapat berlangsung selama beberapa hari atau minggu, keadaan ini disebut status asmatikus. Disebabkan oleh allergi, tekanan emosional, herediter, dan debu.<br />KLINIK :ditandai kesukaran bernafas , disertai nafas berbunyi (mengi).<br />Pada serangan tersebut terjadi : 1. spasme otot dinding bronkhus.<br /> 2.lumen bronkhus menyempit.<br /> 3. kesukaran mengeluarkan udara sehingga ekspirasi <br /> memanjang.<br />Serangan ini berlangsung antara satu sampai beberapa jam yang disusul oleh batuk yang lama dengan pengeluaran dahak yang kental.<br />Pada status asmatikus dapat terjadi gangguan pertukaran udara paru-paru sehingga dapat menimbulkan sianosis sampai meninggal.<br />PNEUMOKONIOSIS : penyakit paru-paru yang disebabkan oleh infeksi partikel debu.<br />Partikel debu selalu terdapat dalam udara yang dihisap pada pernafasan, akan tetapi sering menimbulkan pneumokoniasis, oleh karena tubuh mempunyai daya protektip:<br />1.Rambut hidung (dapat menhan kira2 50% debu)<br />2.Rambut getar selaput lendir bronkhus.<br />3.Transudat melalui dinding alveolus.<br />4.Fagositosis sel makrofag.<br />Bila udara mengandung partikel debu terlalu banyak maka debu dapat mencapai jaringan paru-paru dalam jumlah banyak sehingga menimbulkan kerusakan pada jaringan paru-paru.<br />Hal ini bisanya dijumpai pada orang yang bekerja pada tempat tertentu sehingga penyakit ini termasuk penyakit akibat kerja.<br />Ada berbagai jenis pneumokoniasis tergantung pada jenis debu yang dihisap :<br />1 Anthtracosis, yang dihisap debu arang<br />2.Byssinosis, dari debu kapas.<br />3.Bagassosis, dari debu batang tebu.<br />4.Silicosis, dari debu silica (SIO2).<br />5.Fibrosis paru-paru dapat disebabkan oleh debu yang mengandung alluminium, besi, <br /> talk dan mika.<br />Efek debu pada paru2 adalah sebagai berikut. :<br />1.Mengadakan penetrasi pada sel2 paru2.<br />2.Menimbulkan dislokasi sitoplasma sel paru2.<br />3.Menyebabkan degenerasi dan kematian sel paru2.<br />Sehingga terjadi perubahan pada jaringan paru2.<br />Pneumonitis karena zat kimia:<br />Lipid (lipoid) pneumonia :<br /> Aspirasi berbagai jenis minyak dapat menyebabkan bercak2 minyak, minyak bisa berasal dari tumbuh2an atau hewan.<br />Pada anak2 terutama anak kecil, dan anak yang tubuhnya lemah, biasanya minyak ikan (cod liver oil) yang terhirup karena dipaksa minum, pada orang dewasa penggunaan berbagai macam obat yang mengandung minyaqk dapat mengekibatkan lipid pneumonia, misal; obat spray hidung, pencahar, cairan untuk pemerikzsaan radiologi.<br />Pada umumnya minyak hewan lebih toksik dari pada minyak tumbuh2an, karena mengendung gugusan tak jenuh.<br />Luasnya tergantung pada jumlah dan sifat kimiawi minyak. Pada umumnya lesi terdapat bilateral, tetapi sisi kanan lebih banyak, karena bronkhus kanan lebih lurus.<br /><br />INFEKSI PARU-PARU OLEH JAMUR : menimbulkan kelainan paru-paru yang menyerupai tuberkulosis, yaitu karena terbentuknya kaverne dan tuberkel dengan perkejuan.<br />Jenis jamur : Blastomycosis, paling sering dijumpai pada paru-paru, inhalasi langsung atau penyebaran hematogen; Actinomycosis, inhalasi atau penyebaran langsung dari mulut. Nocardiosis, sejenis actinomyces, yang menimbulkan kelainan paru-paru sangat mirip dengan tuberkulosa, karena bersifat tahan asam dan granuloma seperti tuberkel.<br /><br /><br />DAFTAR PUSTAKA :<br /><br />Elisabeth J, Corwin (1997), Buku Patofisiologi, Jakarta : ECG, 2001.<br />FK. UI (2001), Kumpulan kuliah Patofisiologi, Universitas Indonesia, Jakarta 2001.<br />J.E.C. UNDERWOOD (1994), Patologi umum dan Sistemik, Jakarta : ECG, 1999.<br />Sylvia A. Price, Lorraine M, Wilson (1994), Patofisiologi, Jakarta : ECG, 1995.<br /><br /><br /><br /> HAND OUT :Dr. SUPARTUTI,Mkes. 2008.habankhttp://www.blogger.com/profile/09626054388126297040noreply@blogger.com2tag:blogger.com,1999:blog-3909943987252109584.post-35137109828248758882009-03-26T09:29:00.000-07:002009-03-26T09:31:30.957-07:00GANGGUAN PEREDARAN CAIRAN TUBUH ELEKTROLIT DAN DARAHGANGGUAN PEREDARAN CAIRAN TUBUH ELEKTROLIK <br />DAN DARAH<br /><br />Agar fungsi jaringan dapat berjalan normal, maka perlu;<br />1.Sirkulasi darah yang baik;<br />2.Keseimbangan antara cairan tubuh, intra dan ekstra vaskuler;<br />3.Konsentrasi zat-zat dalam cairan yang tetap, termasuk elektrolit elektrolit.<br />Pertukaran Zat antara cairan tubuh dan cairan intra seluler terjadi melalui membran sel. Kelainan- kelainan akibat gangguan peredaran cairan tubuh, darah dan elektrolit berupa;<br />1.Edema;<br />2.Dehidrasi;<br />3.Hiperemi;<br />4.Perdarahan ( Hemoragi);<br />5.SHOCK.<br />Gangguan gangguan yang lain, bersifat obstruktif seperti;<br />1.Trombosis;<br />2.Emboli;<br />3.Infark.<br />******<br /><br />Ad. 1. EDEMA( SEMBAB )<br />Pada umumnya Edema berarti meningkatnya volume cairan ekstraselular dan ekstravaskuler disetrai dengan penimbunan cairan dalam sela sela jaringan dan rongga serosa. Dapat bersifat setempat atau umum.<br />Dalam rongga pleura dan rongga pericard normal terdapat sedikit cairan, bila terjadi cairan dalam rongga serosa sangat berlebihan, maka bisa terjadi;<br />a.Hydrothorax;<br />b.Hydropericardium;<br />c.Hydroperitoneum atau ASCITES.<br />Anasarca dimaksudkan dengan EDEMA UMUM, dengan penimbunan cairan dalam jaringan subcutes dan rongga tubuh. <br /><br />Jenis jenis EDEMA adalah;<br />Edema Setempat;<br />Sering terjadi akibat bertambahnya permiabilitas kapiler yang disebabkan oleh radang, misalnya;<br />1.Reaksi alergi;<br />2.Gigitan atau sengatan serangga;<br />3.Luka besar;<br />4.Infeksi akibat terkena zat kimiawi.<br />Edema Angioneurotik<br />Ialah edema setempat, yang sering timbul dalam waktu yang singkat tanpa sebab jelas. Sering terjadi pada anggota tubuh akibat alergi atau neurogen.<br /><br />Edema Akibat tekanan kapiler yang meninggi dapat terjadi pada;<br />1.Kongesti pasif; akibat obstruksi mekanik pada vena, menyebabkan tekanan darah vena meningkat, misalnya terjadi pada vena iliaca, akibat uterus yang membesar pada kehamilan, dalam hal ini, edema terjadi pada tungkai.<br />2.Edema Kardial; terjadi karena tekanan vena meningkat yang di akibatkan sirkulasi darah terganggu karena payah jantung. Edem ini bersifat sistemik tapi paling nyata terkena bagian bagian paling bawah yaitu pada kaki penderita.<br />3.Obstruksi portal; pada penyakit cirrhosis hepatis tekanan dalam vena portae meningkat, sehingga mengakibatkan cairan dalam rongga peritoneum, yaitu terjadi ascites.<br />4.Edem Postural; pada orang yang berdiri terus menerus untuk waktu yang lama, terjadi edem pada kaki dan pergelangan kaki, udim ini tidak terjadi bila orang bergerak aktif misal berjalan karena aktifitas otot dapat ikut membantu aliran dalam pembuluh limfe.<br /><br />Ad. 2 . DEHIDRASI<br />Dehidrasi adalah suatu gangguan dalam keseimbangan air yang disertai ”output” yang melebihi ”intake”, sehingga jumlah air pada tubuh berkurang. Meskipun yang hilang terutama cairan tubuh, tetapi dehidrasi juga disertai gangguan elektrolit.Dehidrasi dapat terjadi karena;<br /><br />a. Water depletion atau dehidrasi primer<br />Terjadi karena masuknya air sangat terbatas yang dikarenakan; Gangguan yang menghalangi masuknya air, antara lain penyakit mental, hydrophobi pada rabies, sangat lemah, koma. <br />Dehidrasi primer dapat terjadi pada orang yang mengeluarkan peluh sangat banyak tanpa penggantian air, seperti musafir di padang pasir, orang yang terapung apung di laut. Pada dehidrasi primer air akan keluar dari sel sehingga etrjadi dehidrasi intraseluler, hal ini mengakibatkan rasa haus. Gejala gejala khas pada dehidrasi primer yaitu; haus, mulut kering karena air liur sedikit, oliguria( kencingnya sedikit), sangat lemah, gangguan mental seperti halusinasi. <br /><br />b. Sodium Depletion ( dehidrasi sekunder).<br />Dehidrasi terjadi karena tubuh mengandung elektrolik misalnya natrium dan kalium, sodium depletion ini sering terjadi akibat keluarnya cairan dan elektrolik melalui saluran pencernaan, pada keadaan muntah dan diare yang keras. Akibat sodium depletion, terjadi hypotoni ekstraseluler sehingga tekanan osmotik menurun. Akibatnya volume plasma dan cairan interstisium menurun. Selain itu karena terdapat hipotonium ekstraseluler, air akan masuk dalam sel. Pada dehidrasi sodium depletion, karena terjadi hipotoni intraseluler maka tidak menimbulkan rasa haus, gejala gejalanya terdiri atas; muntah, kejang, sakit kepala, lesu dan lelah. Kematian dapat terjadi karena kegagalan aliran perifer.<br /><br />c. Water and Sodium depletion bersama sama.<br /><br />Ad. 3 . HIPEREMI ( Kongesti/ Bendungan)<br />Yang dimaksud dengan hiperemi adalah suatu keadaan yang disertai meningkatnya volume darah dalam pembuluh yang melebar pada suatu alat atau bagian tubuh. Bila keadaan ini terjadi dalam waktu yang singkat, maka disebut hiperemi akut. Dan bila terjadi dalam keadaan berlahan dan berlarut, maka disebut hiperemi kronik. Hiperemi dapat terjadi secara aktif atau pasif, yang akan dijelaskan sebagai berikut;<br />1.Hiperemi Aktif; Hiperemi ini terjadi karena jumlah darah arterial pada sebagian tubuh bertambah biasanya terjadi akut karena, arterial dan kapiler berdilatasi akibat rangsangan saraf. Misal terjadi pada alat tubuh yang sedang berfungsi aktif karena diperlukan jumlah darah lebih banyak, maka arterial melebar; kulit ( karena emosi marah atau malu); radang akut.<br />2.Hiperemi Pasif; terjadi karena aliran darah vena dari satu daerah berkurang, dan disertai dilatasi pembuluh darah vena dan kapiler. Dapat terjadi secara akut atau kronik. <br /><br />Ad. 4 . PERDARAHAN ATAU HEMORAGI<br />Hemoragi adalah suatu pengertian untuk menunjukkan etrdapatnya darah yang keluar dari susunan kardioveskuler. Biasanya hemoragi di hubungkan dengan terdapatnya rukpura pada pembuluh darah atau jantung. Hemoragi di bedakan menjadi eksternal dan internal;<br />1.Hemoragi eksternal; bila terjadi perdarahan sedemikian rupa sehingga darah tampak keluar dari permukaan tubuh.<br />2.Hemoragi Internal; bila darah keluar dari pembuluh darah namun tetap berada dalam tubuh.<br /><br />Istilah- Isilah dalam hemoragi;<br />1.PETECHIAE; Perdarahan di bawah kulit yang kecil-kecil, biasanya terjadi pada kapiler<br />2.ECCHYMOSES; Perdarahan berbercak bercak lebih besar.<br />3.PURPURA; Perdarahan yang timbul spontan, besarnya antara PETECHIAE dan ECCHYMOSES.<br />4.HEMATOMA; Perdarahan setempat yang biasanya telah membeku.<br />5.APOPLEXIA; Penimbunan darah pada suatu alat tubuh biasanya terjadi pada perdarahan otak (appoplexiacerebri) akibat tekanan yang meninggi.<br />6.EPISTAXIS; perdarahan pada hidung.<br />7.HEMOPTYSIS; Perdarahan dalam paru paru yang dibatuk kan ( batuk darah).<br />8.HEMATEMESIS; Muntah darah dari saluran pencernaan.<br />9.MELENA; Berak darah.<br />10.HEMOTHORAX; Perdarahan pada TORAX ( dada).<br />11.HEMATOCELE; Perdarahan kantong tunica vaginalis testis.<br />12.HEMARTHROS; Perdarahan dalam sendi.<br />13.MENORRHAGIA; Perdarahan Endometrium yang abnormal dan banyal, yang terjadi pada masa haid.<br />14.METRORRHAGIA; Perdarahan indometrium yang terjadi diantara masa haid.<br />15.HEMATOCOLPOS; Penimbunan darah pada vagina.<br />16.HEMATOMETRA; Penimbunan darah pada rahim.<br />17.HEMATOSALPINX; Penimbunan darah dalam tuba FALLOPII.<br /><br />Etiologi Perdarahan;<br />1.Kerusakan pembuluh darah;<br />2.Trauma;<br />3.Proses Patologic;<br />4.Penyakit yang berhubungan dengan gangguan pembekuan darah;<br />5.Kelainan pembuluh darah;<br /><br />Ad. 5 . SHOCK<br />Ialah suatu keadaan yang diakibatkan oleh defisiensi sirkulasi akibat ketidakseimbangan antara volume darah dengan ruang susunan vaskuler. Shock sebenarnya suatu keadaan yang terdiri atas kumpulan gejala jadi suatu syndrom, dapat bersifat primer atau sekunder. <br />1.SHOCK PRIMER; Terjadi defisiensi sirkulasi akibat ruang vaskuler membesar karena vaso delatasi yang asalnya neurogen. Peristiwa ini terjadi misalnya pada orang yang mengalami kecelakaan keras, rasa sangat nyeri pada penyakit penyakit yang keras, rasa takut yang mendadak, kesusahan yang sangat, melihat keadaan yang sangat mengerikan. Biasanya SHOCK hanya sebentar.<br />2.SHOCK SEKUNDER; Terjadi defisiensi sirkulasi perifer disertai jumlah volume darah yang menurun, aliran darah berkurang, hemokonsentrasi dan fungsi ginjal terganggu. Sirkulasi yang berkurang tidak terjadi setelah terkena kerusakan tetapi baru beberapa sesudahnya oleh karena itu disebut, delayed shock, gejala gejalanya,; lesu lemah, kulit basah, kolaps vena, nadi cepat dan lemah, tekanan rendah, oligouria, kadang kadang disertai muntah. Apabila keadaan ini terjadi terus maka akan menjadi apatik, kemudian stupor, kemudian koma dan meninggal dunia.<br /><br />Oleh: dr. Supartuti, M.Kes.habankhttp://www.blogger.com/profile/09626054388126297040noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-3909943987252109584.post-3991825692305278112009-03-26T09:28:00.000-07:002009-03-26T09:29:51.849-07:00GANGGUAN METABOLISME PROTEINGANGGUAN METABOLISME PROTEIN. HAND OUT : Dr SUPARTUTI Mkes.<br /><br />Kelebihan protein : hampir tidak dikenal penyakit dengan kelebihan protein.<br /><br />DEFISIENSI PROTEIN. :<br /><br /> Bila pemasukan protein kurang maka akan kekurangan kalori disamping defisiensi asam2 amino yang diperlukan, mineral dan faktor2 lain, missal ; factor lipotropik. Akibatnya pertumbuhan tubuh, pemeliharaan jaringan tubuh, pembentukan zat anti,dan serum protein akan terganggu.<br /> Hal ini nyata pada penderita yang kekurangan protein dalam makanannya , akan mudah terserang penyakit infeksi,luka sukar menyembuh,dan mudah terkena penyakit hati,akibat kurangnya factor lipotropik.<br /><br />HYPOPROTEINEMI :<br /> Biasanya akibat ekskresi protein serum darah berupa albumin yang berlebihan melalui air kemih. Selain itu juga pembentukan albumin yang terganggu,missal akibat penyakit hati, atau absorbsi albumin kurang akibat kelaparan atau karena penyakit usus.<br /> Albumin karena berat molekulnya kecil (69.000) dibandingkan dengan globulin (150.000), mudah keluar dari pembuluh darah yang cedera atau melalui filtrasi glumerulerKarena itu pada penyakit ginjal sering kehilangan albumin sedang globulin tidak. Karena protein darah sangat menurun dan perbandingan albumin –globulin menjadi terbalik Dengan menurunnya kadar protein darah ,maka tekanan osmotic darah turun sehingga timbul edema (batas 4-5 gram per 100 ml darah ) Akibat hypoproteiemi dalam klinik sering ditemukan penyakit ginjal atau hati, dan parah ditemukan gizi buruk.<br /><br />HYPO DAN AGAMAGLOBULIN :<br /> Istilah agamaglobulinemi sebenarnya kurang tepat, karena dalam darah selalu ditemukan gamaglobulin meskipun jumlahnya sangat kecil . Dalam darah biasanya albumin serum dan globulin total normal. Dikenal 3 jenis hypogamaglobulinemi : congenital, didapat, dan sementara.<br /><br />HYPOGAMAGLOBULINEMI KONGENITAL :<br /> Merupakan penyakit herediter, terutama ditemukan pada anak2 berumur 9 bulan sampai 2 tahun. Anak tersebut biasanya mudah menderita infeksi , sering oleh stafilokokkus aureus, pneumokok, streptokok, meningie. Bila diperiksa ternyata plasma darah tidak mengandung gamaglobulin. Kematian sering terjadi akibat infeksi, dan bila diperiksa histologik, tidak ditemui dalam plasma darah. Kelenjar limfe korteksnya tipis dan mengandung limfosit kurang dari normal, lien kecil. Pada penderita sering juga terdapat arthritis kronika yang menyerupai arthritis rheumatoid. Artritis ini mungkin bersifat penyakit hypersensitivitas karena tubuh tidak dapat membentuk immune gammaglobulin. <br /><br />HYPOGAMAGLOBULINEMI DIDAPAT (ACQUIRED) :<br /><br /> Ditemukam pada pria maupun wanita, dan pada semua usia . Penderita mudah terkena infeksi. Selian itu terdapat pula hyperplasi kompensatorik dari pada sel reticulum , sehingga mengakibatkan lymfodenophathia dan splenomegalia dan kadang2 juga terjadi hyperplasi kompensatorik dari kelenjar tymus.<br /><br />HYPOGAMAGLOBULINEMI SEMENTARA :<br /> Hanya ditemukan pada bayi,mungkin merupakan masa peralihan pada waktu gamaglobulin yang didapat dari ibu habis dan anak harus membentuk gamaglobulin sendiri. Masa transisi ini biasanya terjadi pada usia 4 – 12 minggu. Masa ini hanya sebentar, oleh karena anak bisa membentuk gamaglobulin sendiri. Namun pada masa ini dapat menimbulkan infeksi keras yang bisa menyebabkan kematian.<br /><br />GANGGUAN METABOLISME PROTEIN.<br /> Dua penyakit yang berhubungan dengan metabolisme protein ialah : pirai (gout arthritis) dan infark asam urat pada ginjal. Pada kedua kelainan ini terdapat gangguan metabolisme asam urat sehingga serum meninggi dan terjadi pengendapan urat pada berbagai jaringan.Asam urat ini merupakan hasil akhir dari pada metabolisme purin . Berasal dari reruntuhan asam2 nukleat menjadi purin dan akhirnya asam urat. Protein ini berasal dari tubuh sendiri dan dari makanan. Sebagiazn asam urat ini dioksidasi menjadi ureum dan diekskresi.<br /><br />PIRAI (GOUTY ARTHRITIS)<br /> Secara klinis penyakit ini merupakan arthritis akuta yang sering kambuh secara menahun. Pada berbagai jaringan ditemukan endapan2 urat yang merupakan tonjolan2 yang disebut tophus biasanya terdapat disekitar sendi, sering juga tulang rawan daun telinga . Pengendapan juga terdapat pada ginjal juga pada jantung. Penyakit ini lebih sering ditemukan pada pria usia pertengahan atau lebih tua. Penyakit ini juga cenderung timbul secara familial. Dalam satu keluarga, satu diantara lima anggota dapat terkena penyakit ini. Kadang secara klinis tidak tampak manifestasi pirai, tetapi dalam darah terdapat hyperurecaemia. Dasar gangguan metabolic ini tidak diketahui tetapi meningkatnya kadar asam urat darah dapat disebabkan : <br />1.destruksi asam urat dalam tubuh berkurang.<br />2.ekskresinya berkurang.<br />3.pembentukannya berlebihan.<br />Pada payah ginjal adanya reabsorbsi glomeruler, retensi asam urat, adanya metastatik sehingga timbul penimbunan2 urat pada tempat2 tertentu.<br />Kelainan khas disebut tophus :terdiri atas endapan urat,berwarna putih seperti kapur,pada jaringan . Tophus tersebut biasanya dikelilingi zone hyperemic Mula2 kecil tidak teratur<br />Kemudian menjadi satu dan besar,pada permukaan sendi .<br />Endapan kristal urat natrium pada ginjal menimbulkan gouty nephritis biasanya pada piramide.<br /> Pada penderita pirai sering ditemukan pula hipertensi dan penyakit vasculer yang keras seperti arteriosclerosis umum dan arteriosclerosis pembuluh ginjal<br />Pada kasus ini kira2 10% meninggal karena ginjal ; gouty nephritis, nephrosclerosis dan pyelonephritis.<br />ENDAPAN URAT PADA GINJAL :<br /> Pada ujung2 piramide ginjal pada bayi dan pada penderita leukemia dan polisitemia terdapat endapan2 urat.<br />Pada ginjal bisa terjadi infark asam urat . endapan terdapat pada tubulus kontortus ,kemudian epitel peritubuler.<br />Syndrom Nefrotik.<br /> Adalah keluarnya protein lebih dari 3,5 gram melalui urine perhari. Dalam keadaan normal hampir tidak ada protein yang keluar melalui urine . Syndrome nefrotik mengisyaratkan cedera glomerulus yang berat.<br />Hilangnya protein2 plasma menyebabkan hipoalbuminemia dan hipoimmunglobulinemia<br />Manifestasi klinik antara lain adalah mudah infeksi (akibat hipoimmunoglobulin) dan edema anasarka, hiperlipidemia peningkatan lemak2 plasma berkaitan dengan hipoalbuminemia. Penatalaksanaan diet : protein normal, rendah lemak. Garam dibatasi.<br />Bisa diberi diuretik utk pengeluaran cairan. Bisa diberi tambahan protein kecuali apabila dicurigai adanya gagal ginjal ( protein memperburuk gagal ginjal)<br /><br />GANGGUAN METABOLISME LEMAK.<br />Kelebihan lemak (Obesitas) :<br /> Meskipun obesitas bukan merupakan penyakit, tetapi dapat memperkeras atau menyebabkab timbulnya penyakit , misalnya : dibetes mellitus, penyakit jantung, hipertensi dan lain-lain., maka dapat dianggap patologik juga.<br /><br /> Dianggap bahwa obesitas terjadi bila mendapat kalori lebih dari yang dimetabolisasi. Anggapan lain mengatakan bahwa ada orang yang hanya memerlukan metabolisme yang hanya sedikit dan dapat menjadi gemuk, meskipun mendapat diit berkalori rendah.<br /> Hypometabolisme dapat terjadi pada hipopituitarisme dan hipothyroidisme, karena pada penderita tersebut kalori yang dibutuhkan menurun sehingga berat badan naik, meskipun makan yang tidak berlebihan untuk ukuran orang normal.<br /> Pada obesitas lemak berlebihan ditimbun pada jaringan subcutis, retroperitoneum dan peritoneum serta omentum. Jaringan lemak juga dapat berlebihan pada jaringa subepicardium dan pancreas. Juga hati bisa terjadi penimbunan lemak tapi bukan perlemakan pada gizi buruk. Adapula penimbunan lemak subcutis yang tidak merata, menyebabkan semacam tumor yang nyeri tekan, disebut adiposis dolorosa.<br /><br />HIPERLIPEMI :<br /> Pada beberapa keadaan jumlah lipid total dan kolesterol meningkat, yaitu pada diabetes mellitus, hypothyroidisme , cirrosis billiaris xanthoma. <br />Hiperlipemi juga dapat terjadi pada dinding pembuluh darah ( arteri ) disebut arterosklerorik.<br />Pada jaringan subcutis kadang-kadang dapat terjadi penimbunan lemak dalam makrofag disebut sel Xanthoma yang membentuk kelompok sel yang menyerupai tumor.<br />Xanthoma sering terjadi pada kelopak mata , disebut xantholesma, juga bisa terdapat pada lipat paha, siku dll, terutama jaringan longgar.<br /><br />DEFISIENSI LEMAK :<br /> Terjadi pada kelaparan (starvation), gangguan penyerapan ( malabsorption), pada keadaan ini tubuh terpaksa mengambil kalori dari simpanan karena intake yang kurang, yang domobilsasi selain lemak juga karbohidrat, pada gizi buruk yang keras akhirnya diambil protein dari jaringan lemak sehingga vakuol yang ditempati oleh lemak menjadi keriput.,sel menjadi longgar dan diisi oleh transudat., makin banyak lemak yang hilang makin banyak cairan interstitium. <br /> Karena karbohidrat yang disimpan tidak banyak dibanding dengan simpanan lemak, maka turunnya berat badan , merupakan cermin mobilisasi lemak dari depot2nya, dan baru kemudian menyusul protein.<br />Dengan menghilangnya lemak maka alat tubuh mengecil.<br />Alat tubuh dibagi atas 3 golongan :<br />1.Alat tubuh yang kehilangan berat sejajar dengan turunnya berat badan ( pancreas, kelenjar parotis, dan submaxillaris).<br />2.Alat tubuh yang kehilangan berat lebih banyak dibandingkan dengan turunnya berat badan( thymus, limpa dan hati ).<br />3.Alat tubuh yanmg kehilangan berat hanya sedikit dari turunnya berat badan (ginjal, ovarium, testis, thyroid, jantung dan otak.)<br /><br /><br /> GANGGUAN METABOLISME KARBOHYDRAT. (KH)<br /><br />DIABETES MELLITUS (DM)<br /> Merupakan penyakit menahun yang berhubungan dengan gangguan metabolisme karbohydrat.<br /> Dasarnya ialah defisiensi insulin atau gangguan faal insulin. Penyakit ini disertai hyperglycaemia yang ber-larut2 dan glycosuria diikuti oleh gangguan secunder dalam metabolisme protein dan lema, Berdasarkan definisi glukosa darah puasa harus lebih besar daripada 140 mg/ 100 ml.<br />Diabetes adalah kata Yunani, yang berarti mengalirkan atau mengalihkan, Mellitus adalah kata latin untuk madu atau gula. Diabetes Millitus, adalah penyakit dimana seseorang mengeluarkan atau mengalirkan sejumlah besar urine yang terasa manis. Paling sedikit terdapat tiga bentuk Diabetes Millitus ( DM ). DM tipe 1, DM tipe 2, dan Diabetes Gestasional. <br />1.DM Tipe 1;<br />Adalah penyakit hiper glikemi akibat ketiadaan absolut insulin. Penyakit ini disebut DM Dependent Insulin. Pengidap penyakit ini harus mendapat insulin pengganti, DM tipe 1 biasanya dijumpai orang yang tidak gemuk, berusia kurang dari 30 tahun. Laki-laki biasanya lebih banyak dari wanita. Memuncak nya pada usia remaja dini, maka, disebut juga sebagai diabetes juvenilis, namun dapat timbul juga pada segala usia. Diabetes tipe 1, dapat timbul setelah inveksi virus misalnya gondongan (“MUMPS”), Rubela CMV kronik atau Toksin pada golongan nitrosamin yang terdapat dalam daging yang diawetkan, dapat juga pengaruh ginetik / turunan. <br /><br />2.DM tipe 2;<br />Adalah penyakit hiper glikemi akibat insensitivitas sel terhadap insulin, kadar insulin mungkin sedikit menurun atau berada dalam rentan normal. DM tipe 2 , dianggap sebagai non insulin dependent. Biasanya timbul pada orang berusia lebih dari 30 tahun. Disebut sebagai Diabetes Awitan dewasa. Wanita lebih banyak dari pria. Berkaitan dengan kegemukan, pengaruh genetik. Individu mengidap diabetes<br /><br /> Meskipun terdapat banyak kemajuan untuk dapat menegakkan diagnosa dan terapi, tetapi penyakit ini termasuk dalam kelompok penyakit yang paling banyak menimbulkan kematian.<br /> Yang merupakan tantangan ini adalah mencegah komplikasinya. Penyakiy ini kebanyakan ditemukan pada orang- orang berusia 50-60 tahun, tapi dapat juga pada usia lanjut.<br />Pada usia 40 th.th. lebih banyak ditemukan pada wanita (3: 2). Penyakit ini diturunkan secara resesif autosomal. Jika ke dua orang tua menderita DM, maka semua anak akan predisposisi menderita penyakit tersebut. Apabila salah satu orang tua, atau dan kakek menderita DM maka 50% anaknya/keturunannya akan menderita DM pula.<br /><br />Etiologi :<br /> Sebab yang tepat timbulnya penyakit DM belum diketahui , tetapi diantaranya disebabklan oleh timbulnya defisiensi insulin, relatif atau absolut. Jadi dibutuhkan lebih banyak dari pada yang dapat dibentuk oleh tubuh. <br />Insulin dibentukm oleh sel2 beta. Pada sel alpa terdapa faktor hiperglikemik dan glikogenolitik, yaitu glukagon. Glukagon mempunyai efek anti insulin, dapat menimbulkan glikogenolisis, jadi menimbulkan meningkatnya kadar gula dalam darah . <br /><br />KARBOHIDRAT, PROTEIN, DAN LEMAK paska absorbsi usus, melalui vena porta, menjadi monosakarida dari usus halus diubah menjadi glikogen dan disimpan dalan hati (glikogenesis), dari depot glikogen ini , glukose dilepas secara konstan ke dalam darah (glikogenolisis), untuk memenuhi kebutuhan tubuh, sebagian glukose dimetabolisme dalan jaringan untuk menghasilkan panas dan energi, dan sisanya diubah menjadi glikogen disimpan dalam subcutan, menjadi lemak. Hati juga mampu mensintesis protein dan lemak (glukoneogenesis). Fungsi insulin untuk memasukkan glukose dalam sel menghasilkan ATP (adenosin trifosfat) berfungsi menjalankan fungsi sel.<br />Pada DM dimana terjadi defisiensi insulin sehingga glukose tidak dapat masuk sel, maka hati mulai melakukan glukoneogenesis, dari asam amino dan asan lemak bebas dan glikogen yang akan menghasilkan ATP. Pembentukan energi yang hanya mengandalkan asam2 lemak menyebabkan produksi benda2 keton oleh hati meningkat. Keton bersifat asam, menyebabkan Ph plasma turun, ketoniuri, Ph dibawah 7,3 dapat menyebabkan asidosis metabolik menyebabkan pernafasan Kussmaul karena tubuh berusaha mengurangi asidosis dengan mengeluarkan CO2<br /><br />KLINIK :<br />POLYPHAGI : tubuh tak sanggup memetabolisme KH, sehingga akan makan banyak sekali, selain itu POLYDIPSI ;adanya glukosuria terjadi dehidrasi(diuresis osmotik), POLYURIA,selain itu penderita kehilangfan berat badan, cepat lelah, lemah mudah terkena infeksi, tractus urinarius, pruritus, perubahan retina, degenerasi syaraf tepi (neuritis diabetica), gangguan reflex tendo.<br />Pada DM ringan ,stadium dini, gejala-gejala belum jelas, tanpa gejala sama sekali.<br />Untuk menegakkan diagnose, dengan pemeriksaan gula darah puasa, 2jam pp, GTT.<br />KOMPLIKASI :<br />Salah satu komplikasi yang gawat adalah arteriosklerosis, atherosklerosias, dimungkinkan adanya hyperkholesterolemia. Sklerosis pembuluh darah paling nyata ialah aorta, a. koronaria, arteri ginjal, arteri mata(retinitis diabetik), bisa terjadi diabetik gangrenosa.<br /><br /><br />HAND OUT ; Dr. SUPARTUTI,Mkes. 2008.habankhttp://www.blogger.com/profile/09626054388126297040noreply@blogger.com2tag:blogger.com,1999:blog-3909943987252109584.post-9727091982026692412009-03-26T09:25:00.000-07:002009-03-26T09:28:32.802-07:00PENYAKIT ANEMIAA N E M I<br /><br /> Adalah penurunan kuantitas dan kualitas sel- sel darah merah dalam sirkulasi. <br />Dapat disebabkan oleh gangguan pembentukan sel darah merah, peningkatan sel darah merah melalui perdarahan kronik atau akut, lisis . Anemi akibat gangguan dalam kualitas pembentukan sel darah merah ; Sel darah merah berukuran terlalu kecil (mikrositik) atau terlalu besar (makrositik) atau gangguan pembentukan hemoglobin, konsentrasi Hb tinggi (hiperkromik) atau rendah (hipokromik).<br />Jadi kesimpulannya anemi dapat diklasifikasikan menurut morfologi sel darah merah; dan etiologinya.<br />Anemi menurut morfologinya : mikro dan makro menurut ukuran sel darah merah, sedang kromik menunjukkan warna atau konsentrasi Hb.<br />Ada tiga klasifikasi besar : <br /><br />1.Anemi normositik normokhrom, dimana ukuran dan bentuk sel2 darah merah normal, mengandung Hb yang normal. Tetapi individu menderita anemi, penyebab anemi jenis ini adalah : perdarahan akut, hemolisis, gangguan ginjal, gangguan sumsum tulang, penyakit kanker dsb.<br /><br />2.Anemi makrositik normokhrom, berarti ukuran sel darah merah besar, tetapi konsntrasi Hb normal. Hal ini diakibatkan oleh gangguan atau terhentinya sintesis asam nukleat DNA, seperti pada defisiensi B12 dan/atau asam folat, dapat terjadi juga pada kemoterapi kanker.<br /><br />3.Anemi mikrositik hipokhrom, berarti ukuran sel darah merah kecil, konsentrasi Hb rendah/kurang dari normal. Hal ini menggambarkan insufisiensi sintesis hem, seperti anemi defisiensi besi, kehilangan darah kronik, sideroblastik, gangguan sintesis globin seperti pada tallasemia ( penyakit Hb abnormal kongenital)<br />Anemi menurut etiologi :<br />1.Meningkatnya kehilangan sel darah merah.<br />2.Penurunan atau gangguan pembentukan sel darah merah. <br />POLISITEMIA<br />Adalah peningkatan sel darah merah. Dibedakan, primer(vera); ditandai dengan peningkatan jumlah trombosit, granolosit, sel darah merah. <br />Jenis Anemi;<br /><br />a.Anemi aplastika<br />Adalah anemi normokromik normositik disebabkan oleh gangguan sumsum tulang, sehingga sel darah merah yang mati tidak diganti atau mungkin berkaitan dengan defisiensi semua jenis sel darah ( pansitopeni) ; sel darah merah, sel darah putih, trombosit, yang menyebabkan terjadinya infeksi, perdarahan, selain kekurangan darah.<br /> Anemi Aplastika disebabkan oleh banyak hal yang menyangkut dengan sumsum tulang, misal; kanker sumsum tulang, perusakan sumsum tulang oleh proses otoimmun,defisiensi vitamin, berbagai obat, radiasi, kemoterapi.<br /><br />b. Anemi Hemolitik<br />Adalah penurunan sel darah merah akibat destruksi berlebihan sel darah merah, gambaran morfologis, normositik normokromik, pembentukan sel darah merah di sumsum tulang meningkat untuk mengganti sel sel yang mati. Anemi hemolitik disebabkan faktor genetik, obat, radiasi, toksin tertentu, anemi sel sabit, malaria, reaksi tranfusi. <br /><br />c. Anemi Sel Sabit<br />Adalah suatu gangguan genetik, terbentuk hemoglobin HbS, sel darah merah menjadi berbentuk sel sabit. Sehingga kehilangan kemampuannya berubah bentuk, sewaktu melalui pembuluh yang sempit. Aliran darah terganggu karena terjadi sumbatan. Hal ini menyebabkan iskemia dan infark. <br /><br />c. Anemi karena Malaria<br />Disebabkan oleh infeksi parasit pada sel darah merah, oleh suatu protozoa plasmodium yang ditularkan pada manusia melalui liur nyamuk. Parasit pertama kali meng infeksi sel hati kemudian berpindah ke eritrosit, menyebabkan hemolisis berat sel2 darah merah. Penderita dapat sembuh namun bersifat kambuhan. <br /><br />d.Anemi hemolitik pada bayi baru lahir.<br />Anemi hemolitik pada bayi baru lahir akibat ketidak cocokan Rh pada ibunya, bayi Rh pos, ibu Rh neg. Gambaran morfologi : normositik normokromik.<br /><br />e. Anemi karena reaksi transfusi.<br />Reaksi transfusi menyebabkan pengrusakan secara imunologik sel2 darah merah melalui transfusi. Walaupu antigen penjamu dan donor selalu diidentifikasi (ditentukan gol) untuk kecocokan ABO dan Rh sebelum dilakukan transfusi, dapat terjadi kecelakaan berupa kesalahan dalam penentuan jenis sel darah merah atau pencampuran darah yang diberikan.<br /><br />f. Anemi pasca perdarahan.<br />Anemi pasca perdarahan adalah anemi normositik normokromik terjadi akibat kehilangan darah secara mendadak, perdarahan dapat jelas atau samar. Akibat perdarahan mendadak , menyebabkan tekanan darah menurun, yang mengakibatkan , kenaikan kecepatan denyut jantung, peningkatan pelepasan hormon renin dan pelepasan eritropoietin oleh ginjal. Akibatnya; gagal jantung dan gagal ginjal.<br /><br />g.Anemi Pernisiosa.<br />Anemi pernisiosa adalah anemi makrositik-normokromik, akibat defisiensi vitamin B12. Dimana vitamin B12 penting untuk sintesis DNA dalam sel darah merah. Lansia sangat rentan terhadap defisiensi vitamin B12, akibat makanan yang kurang asupan vitamin B12. Setiap lansia yang memperlihatkan tanda-tanda kelelahan, percepatan denyut jantung, dan perlambatan aktifitas mental dan fisik, harus diperiksa kemungkinan defisiensi vitamin B12.<br /><br />h. Anemi defisiensi asam folat.<br />Anemi defisiensi asam folat adalah anemi makrositik-normokromik akibat defisiensi asam folat. Asam folat penting untuk sintesis DNA dan RNA dalam sel darah merah. Asam folat sering terdapat dalam makanan, tetapi defisiensi akibat alkoholik.<br /><br />i.Anemi defisiensi besi.<br />Anemi defisiensi besi adalah anemi mikrositik-hipokromik, yang terjadi akibat defisiensi besi dalam gizi, atau hilangnya sel darah merah secara kronik. Biasanya terdapat pada wanita hamil/menyusui, wanita usia subur, haid, bayi dan balita. Pada laki2 ; terjadi pada ulkus atau penyakit hati yang ditandai denga perdarahan.<br />j.Anemi sideroblastik.<br />Anemi sideroblastik adalah anemi mikrositik-hipokromik yang ditandai oleh sel darah merah yang immatur,dalam sirkulasi dan sumsum tulang. Sel2 ini menyimpan besi dalam mitokhondria bukan dalam hemoglobin, sehingga sel2 darah merah kurang mengandung besi dalam hemoglobin. Penyebab adalah defek genetik kromosom X, atau obat2an tertentu.<br /><br />GAMBARAN KLINIS ANEMI. :<br />1.Peningkatan kecepatan denyut nadi.<br />2.Peningkatan kecepatan pernafasan.<br />3.Pusing.<br />4.Rasa lelah, mudah mengantuk, sulit merespon.<br />5.Konyungtiva dan kulitb pucat.<br />6.Mual; akibat penurunan aliran darah , ke saluran cerna dan susunan saraf pusat.<br />7.Penurunan kualitas rambut dan kulit.<br />KOMPLIKASI.<br />1.GAGAL JANTUNG/DEKOMPENSASIO KORDIS.<br />2.KEMATIAN, akibat infeksi dan perdarahan apabila sel2 lain terkena.<br /><br />POLISITEMIA.<br />POLISITEMIA : adalah peningkatan jumlah sel darah merah. Terdiri dari : polisitemia vera (primer) yang ditandai oleh peningkatan jumlah trombosit, dan granulosit serta sel darah merah ( erytrosit) dan sebagai awal abnormalitas sel.<br />Polisitemia dapat timbul sebagai akibat hipoksia kronik. Hipoksia kronik menyebabkan peningkatan pelepasan hormon ginjal erytropoietin,yang merangsang pembentukan sel darah merah.<br />Orang yang tinggal didaerah yang tinggi atau mengidap penyakit paru kronik sering mengalami polisitemia sekunder.<br /><br />Kelainan apapun sebagai hasil dari hipoksia kronis akan merangsang produksi eritropoietin akan timbul polisitemia sekunder atau sekunda, bronkhitis kronis,emfisema adanya pembentukan ruang yang abnormal, berisi udara berdinding tipis Perokok mempunyai hematokrit lebih banyak dibanding bukan perokok, sebagai akibat adanya karbonmonoksida dalam asap perokok, keadaan ini sering tanpa gejala, tiba2 bisa serangan mendadak, misal stroke, jantung ; infark miokard.<br /><br />TERDAPAT BENTUK POLISITEMIA RELATIF , jika volume plasma dalam pembuluh darah berkurang (hemokonsentrasi) tetapi volume total sel darah merah dalam sirkulasi normal. Karena itu Hmt pada pria meningkat sampai 53%, dan wanita meningkat sampai 46% . Penyebab utama adalah dehidrasi. Keadaan ini dapat timbul karena :<br />1.peningkatan kehilangan cairan seperti pada muntah-berak, pemberian diuretik, luka bakar, demam.<br />2.penurunan asupan cairan.<br />Merokok dapat memperburuk keadaan ini karena kontak dengan karbonmonoksida kronik mempertinggi arytrositosis<br /> POLISITEMIA ABSOLUT, massa sel darah merah yang bersirkulasi benar-benar meningkat. Bisa terjadi pada polisitemia vera ( penduduk yang tinggal didataran tinggi dimana terjadi penurunan atmosfir, juga polisitemia sekunder, berhubungan dengan masalah medis, misal pada penyakit cardiopulmoner yang mengurangi O2 arteri merangsang erytropoiesis, atau tumor ginjal yang merangsang erytropoietin , sehingga pembentukan erytrosit meningkat.<br /> PENGOBATAN : dengan flebotomi.<br /><br />PATOFISIO 2008. YG.<br />Dr. SUPARTUTI,Mkes.habankhttp://www.blogger.com/profile/09626054388126297040noreply@blogger.com0